Sudah tak terhitung Fauzan (26) “dilabrak” oleh orang tua siswa. Perkaranya, guru di salah satu SMP swasta di Sidoarjo, Jawa Timur, tersebut memang kerap memberi “hukuman” pada siswa-siswanya yang melanggar ketertiban sekolah.
Semakin ke sini dia makin dilema. Mencoba tetap tegas pada siswa yang tidak disiplin takut dipenjarakan. Tapi kalau dibiarkan, siswa-siswa di sekolahnya bisa tidak tahu aturan.
***
Hari masih terlampau pagi ketika rekan guru di SMP tempat Fauzan mengajar menghampirinya. Rekan gurunya itu memberitahu bahwa Fauzan telah ditunggu oleh ibu dari salah satu siswanya di lobi sekolah.
Tidak ada reaksi lain selain menghela nafas panjang. Fauzan sudah bisa menebak, pasti ada orang tua siswa yang tidak terima dengan cara Fauzan mendisiplinkan siswa.
Fauzan memang terbilang masih muda. Namun, lantaran ketelatenannya, sejak 2022 lalu dia mendapat promosi jabatan dari guru mata pelajaran menjadi Wakil Kepala (Waka) Bidang Kesiswaan. Salah satu tanggung jawabnya adalah, bersama guru BK, dia menegakkan kedisiplinan siswa-siswa di SMP swasta Sidoarjo tersebut.
Orang tua siswa tidak terima anak dimarahi di sekolah
Wajah si ibu orang tua siswa itu tampak bersungut-sungut saat mendapati Fauzan mendekat. Belum sempat menyapa dengan penuh keramahan, belum juga pantat Fauzan sepenuhnya menduduki kursi, si ibu tersebut langsung melayangkan protes agak keras.
“Pak, anak saya kok dimarahin habis-habisan. Padahal posisinya sedang sekit di UKS.” Begitu ujar si ibu orang tua siswa itu.
Fauzan sontak terhenyak. Dia mencoba mengingat-ingat. Perasaan, dalam beberapa hari terakhir sebelum si ibu itu datang, Fauzan merasa tidak memarahi atau bahkan membentak keras seorang pun siswa di SMP swasta Sidoarjo tempatnya mengajar.
“Saya yang orang tuanya saja tidak pernah sama sekali memarahi atau membentak anak saya loh, Pak.” Lanjut si ibu. Fauzan pun makin bingung.
Kebohongan yang memantik kesalahpahaman
Sehari sebelumnya, seperti di hari-hari aktif kegiatan belajar mengajar (KBM) berlangsung, Fauzan menyisir dari sudut ke sudut SMP swasta Sidoarjo itu. Memastikan bahwa siswa-siswa tertib mengikuti jam KBM. Menertibkan siswa-siswa yang ketahuan meninggalkan kelas tanpa izin.
Setiba di ruang Unit Kesehatan Siswa (UKS), dia melihat seorang siswa dengan santai tidur di sana. Fauzan pun menghampirinya. Setelah dipastikan, ternyata siswa tersebut tidak sakit. Dia sengaja kabur dari pelajaran.
“Dia tidak izin ke guru mapel atau penanggung jawab UKS. Jadi saya tegur, jangan gunakan UKS untuk bolos. Nada saya memang tegas, tapi nggak membentak,” ungkap Fauzan dalam ceritanya kepada Mojok, Kamis (31/10/2024) pagi WIB.
Tak tahunya, sepulang dari sekolah, siswa tersebut melapor ke orang tuanya dengan narasi berbeda: menyebut dimarahi dan dibentak habis-habisan oleh Fauzan padahal sedang istirahat karena sakit. Sontak saja keesokan paginya ibunya langsung datang ke sekolah dengan protes seperti tertulis di atas.
Fauzan sempat menjelaskan apa yang sebenar-benarnya terjadi. Namun, si ibu itu tetap tidak terima. Dia lebih percaya kata-kata anaknya. Sampai akhirnya Fauzan memanggil si siswa untuk memberi keterangan secara jujur. Dari situ lah si ibu siswa akhirnya tahu kebenarannya dan mulai menurunkan nada bicaranya pada Fauzan.
Siswa yang tak mengakui kesalahan
Ada banyak pengalaman serupa yang Fauzan alami selama menjabat sebagai Waka Bidang Kesiswaan di SMP swasta Sidoarjo itu. Satu contoh lain adalah ketika menjelang libur semester genap di penghujung 2023 silam.
Pada momen class meeting, dua tim futsal antarkelas yang bertanding terlibat adu pukul di lapangan. Fauzan yang kebetulan tidak jauh dari lapangan futsal sekolah pun langsung berlari untuk mengendalikan situasi.
Fauzan lantas memberi hukuman pada sepuluh anak dari dua kelas yang baru saja adu pukul itu. Hukumannya yakni berjalan jongkok mengitari sebuah pohon sebanyak 20 putaran.
“Sembilan dari sepuluh anak itu, setelah saya hukum justru berbalik ke arah saya untuk minta maaf lantaran sudah membuat kegaduhan. Tapi ada satu yang malah lapor orang tua, merasa diperlakukan secara tidak semestinya,” tutur Fauzan.
Keesokan harinya, orang tua satu siswa itu mendatangi Fauzan: menyampaikan ketidakterimaannya pada Fauzan. Narasinya persis seperti insiden UKS sebelumnya: orang tua merasa tidak pernah menghukum keras anaknya. Jadi, dia tidak terima jika sang anak dihukum secara keras di sekolah.
“Sialnya, sering kali siswa hanya lapor pada bagian dihukumnya saja. Tapi tidak cerita dia habis berbuat salah apa di sekolah. Jadi wajar saja jika orang tua langsung emosi,” ucap Fauzan. Karena seolah-olah siswa dihukum tanpa sebab.
Guru SMP yang jadi incaran preman
Kasus siswa yang tidak mengakui kesalahannya dan mengadu ke orang tua hanya pada bagian saat dihukum saja pernah membawa Fauzan pada situasi menegangkan.
Fauzan pernah memberi hukuman cukur botak pada salah satu siswa di SMP swasta Sidoarjo tempatnya mengajar. Pasalnya, siswa tersebut kerap lompat pagar: kabur dari sekolah.
Tak lama berselang, si ayah siswa yang punya banyak teman preman mengepung area sekolah. Ayah siswa berhadapan langsung dengan Fauzan. Sementara teman-teman premannya bersiap di area luar.
“Saya kan menjelaskan bahwa memang ada aturannya, kesalahan apa dihukum apa di sekolah ini. Dan itu sudah dijelaskan sejak siswa dititipkan sekolah di sini. Tapi tetap si ayah tidak menerima penjelasan,” ungkap Fauzan.
Hari itu, mengutip perkataan si ayah siswa, Fauzan masih diampuni. Namun, si ayah siswa menegaskan sudah menandai wajah Fauzan. Sehingga, kalau ada kabar-kabar tidak enak lagi, maka Fauzan akan dihabisi.
“Tapi sekarang sudah keluar si siswa itu. Keluar aja, nggak ada pamit ke pihak kami. Karena pada dasarnya memang ogah sekolah,” jelas Fauzan.
Dilema guru SMP saat berhadapan dengan siswa
Fauzan sebenarnya punya dua pendekatan kaitannya dengan hukuman pada siswa yang melanggar ketertiban sekolah.
Pertama, sejak awal masuk, dia sudah menjelaskan regulasi-regulasi yang berlaku di SMP swasta Sidoarjo tempatnya mengajar. Misalnya, jika melanggar A hukumannya apa, jika melanggar B bakal bagaimana, dan seterusnya.
Kedua, untuk kasus-kasus pelanggaran ketertiban yang regulasinya tidak tertulis, Fauzan biasanya akan memberi tawaran kepada siswa.
“Biasanya saya suruh milih, mau nulis misalnya surat Yasin sebanyak berapa kali atau melakukan apa. Prinsipnya tidak mencelakai mereka. Dan mereka dihukum sesuai kesanggupan mereka berdasarkan yang mereka pilih,” beber Fauzan.
Banyak siswa dan orang tuanya memahami sekaligus sepakat dengan metode yang Fauzan terapkan. Sayangnya, tidak sedikit pula yang mungkin “terlalu sayang”—untuk tidak menyebut terlalu memanjakan—pada anaknya.
Sehingga, orang tua jenis ini akan menampik fakta bahwa anaknya melanggar regulasi di sekolah. Alhasil, upaya seorang guru, seperti Fauzan, melakukan pendidikan karakter pada siswa menemui tembok dengan kawat berduri.
“Sekarang malah makin dilema. Karena kalau baca berita, kini orang tua gampang banget memenjarakan guru,” keluh Fauzan.
“Jadi guru emang harus tabah. Siswa nggak pinter, nggak berakhlak, kami yang kena. Tapi giliran kami sedang berupaya membuat siswa berakhlak, kami juga yang rentan kena (dipolisikan orang tua siswa),” sambungya parau.
Yang harus guru dan orang tua siswa pahami
Apa yang Fauzan lakukan sebenarnya sama seperti tawaran jalan tengah dari Holy Ichda Wahyuni, akademisi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS).
Dalam wawancara bersama Mojok sebelumnya, Rabu (30/10/2024), dia menyebut perlu adanya transparansi kode etik atau regulias sekolah sejak awal. Sehingga, dari situ orang tua tahu jika kelak anaknya dihukum, maka berarti ada pelanggaran yang dilakukan.
“Batasannya jelas. Jika guru melakukan kekerasan verbal maupun non verbal dan melanggar kode etik, maka tidak dibenarkan,” tegas Holy.
Namun, jika masih sesuai kode etik dan regulasi yang berlaku, maka guru pun berhak melakukan pendisiplinan pada siswa bermasalah di sekolah.
Sementara Edi Subkhan, akademisi dari Universitas Negeri Semarang (UNNES), meminta orang tua melakukan konfirmasi secara berimbang. Tidak serta merta mendengar satu arah dari laporan anak saja, tapi juga harus mendengar keterangan dari pihak sekolah.
“Orang tua harus konfirmasi dulu ke sekolah. Jangan malah asal laporkan guru ke Polisi. Karena bisa jadi ketika anak melapor ke orang tua, ada potensi bohong. Misalnya, dia berantem dengan temannya, tapi bilangnya berantem sama gurunya. Nah, itu kan bahaya,” tutur Subkhan.
Sama seperti Holy, Subkhan juga menekankan, pendisiplinan memang sudah menjadi keharusan terhadap siswa-siswa bermasalah. Namun, dalam melakukannya, guru pun tidak boleh keterlaluan atau kelewat batas.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News