Baru beberapa bulan tinggal di Jogja, dibikin nangis nyaris setiap saat. Bukan karena homesick. Bukan juga karena tak nyaman. Tapi terlalu banyak pemandangan yang mengiris hati yang tersaji di banyak sudut dan jalanan Kota Pelajar.
***
Bukan tanpa alasan kenapa Febri (27) memutuskan meninggalkan Surabaya dan lanjut S2 di Jogja. Padahal, usai lulus S1 di Surabaya, dia punya banyak pilihan kampus-kampus top di kota tersebut.
Dalam bayangannya, Jogja dengan label Kota Pelajar akan lebih bisa menjawab dahaga intelektualnya. Selain itu, media sosial kelewat meromantisasi Jogja sebagai kota istimewa. Itu membentuk persepsi Febri bahwa Jogja adalah tujuan yang lebih baik ketimbang Surabaya.
Namun, baru dua bulan tinggal di Jogja di masa awalnya pindah pada 2022 silam, dia mendapati persoalan-persoalan yang mengiris hati.
Gelandangan di banyak sudut Jogja
Rasa-rasanya terlalu lumrah jika melihat gelandangan di sebuah kota. Apalagi kota yang jadi jujukan banyak pendatang dari berbagai daerah.
Begitulah kesan pertama Febri saat sesekali mendapati sepasang laki-laki dan perempuan tertidur beralas kardus di samping gerobaknya. Akan tetapi, seiring mobilitas Febri yang makin luas, dia kaget betul karena nyaris di setiap sudut Jogja ada saja gelandangan.
“Di Surabaya, titik paling banyak setahuku di kawasan ITS. Kalau perumahan kumuh dan padat, banyak. Tapi setidaknya ada rumah untuk bernaung. Aku bisa keliru. Tapi sepengalamanku di Surabaya seperti itu,” tutur Febri, Senin (7/4/2025).
“Tapi di Jogja, di Malioboro, di kawasan UGM, di bawah kolong-kolong flyover seperti di daerah Jombor, di trotoar-trotoar jalan. Banyak sekali (gelandangan),” ungkapnya.
Silakan saja bicara teori-teori soal kemiskinan struktural. Namun, sebelum ke sana, respons pertama nurani Febri selalu pada perasaan “tak tega”.
Apalagi misalnya saat dia berjalan ke arah Jalan Kaliurang. Kerap kali dia mendapati seorang ibu ditemani anaknya menggendong sekarung berisi sampah-sampah kardus dan plastik. Barangkali untuk diserahkan pada pengepul rongsokan.
“Aku lebih ke nggak tega pada anaknya. Di umur segitu, atas nikmat Tuhan, aku bisa tinggal di rumah. Tahunya jajan dan makan. Sementara anak itu harus menghadapi kerasnya dunia,” sambungnya.
Tak pelak, setiap mendapati pemandangan seperti itu, hatinya langsung seperti teriris. Air matanya selalu ingin tumpah. Dan itu masih sering dia rasakan hingga sekarang.
Ingin lampu merah cepat berlalu karena tak tahan dengan situasinya
Belakangan, setiap tiba di lampu merah perempatan MM UGM, Febri kerap menemui seorang bocah laki-laki yang menjajakan tisu. Tidak sendiri, bocah itu menggendong adiknya yang masih kecil.
Bocah itu, kata Febri, nyaris tidak pernah bersuara dalam menawarkan tisu-tisunya. Hanya menyodorkan dengan wajah melas. Sialnya, nyaris tidak ada yang peduli. Para pengendara yang menanti lampu hijau memilih acuh.
Jika lampu apil menunjukkan warna hijau, para pengendara langsung menancap gas, lalu bocah itu akan berjalan lesu ke pinggir jalan. Duduk melamun. Sesekali menatap nanar sang adik yang tertidur di dalam gendongan.
“Belum kalau ada orangtua jualan koran. Di era seperti sekarang, siapa yang berminat pada koran?,” ungkap pemuda asal Pasuruan, Jawa Timur tersebut.
Sialnya, dia sendiri tidak bisa berbuat banyak. Hanya perasaan tak tega yang memancing air matanya. Selebihnya adalah tamparan agar dia mensyukuri kehidupan yang dia jalani sekarang, sekalipun dia kerap merasa kurang.
“Pekerjaan sia-sia”
Hadya (26) malah lebih baru tinggal di Jogja. Baru sejak Januari 2025 lalu, untuk bekerja. Artinya baru beranjak empat bulan ini. Namun, alih-alih rasa nyaman, Jogja ternyata lebih banyak memberinya kegelisahan.
Hadya pada dasarnya tahu belaka, satu isu yang menghantui pekerja di Jogja adalah UMR yang begitu rendah. Tapi dia pun tak punya pilihan lain. Dari banyak lamaran yang dia kirim ke beberapa kota, nyantolnya di Jogja.
“Aku masih untung karena dapat Rp2 jutaan. Sejak di Jogja, tiga bulan ini aku mendengar banyak keluhan para pekerja yang menerima gaji di bawah itu, dengan beban kerja yang sama denganku. Bahkan (beban kerja) lebih berat pun ada,” ungkapnya.
Hadya bukannya tidak pernah sama sekali ke Jogja. Dulu dia sering ke sini. Dan sebagaimana umumnya orang luar yang memandang Jogja, daerah ini terasa istimewa. Banyak wisata. Orangnya ramah-ramah. Kultur Jawa dan denyut kebudayaan yang masih kental di sini pun menambah kesan indah.
Akan tetapi, setelah kini akhirnya melihat Jogja secara lebih utuh, entah kenapa dia sering merasa gelisah.
“Di Malioboro misalnya. Ada banyak penarik andong dan becak. Tapi mereka banyak nganggurnya. Jarang ada wisatawan yang pakai jasa mereka. Lalu pemasukan dari mana?” tutur Hadya.
“Aku juga sering nggak tega sama pengamen-pengamen di lampu merah. Suaranya bagus-bagus. Mereka ngamennya niat. Tapi nggak banyak juga yang ngasih. Kayak sia-sia nyanyi bagusnya,” imbuhnya.
Hadya juga mengamini apa yang diceritakan oleh Febri. Banyak gelandangan yang dia dapati. Pemandangan yang selalu berhasil “mengiris hati”.
Kematian tukang-tukang becak di Jogja
Hati Febri dan Hadya mungkin akan lebih teriris membaca laporan yang sempat ditulis oleh reporter Mojok berjudul Jogja (Nggak) Istimewa karena Ada Banyak Lansia yang Makan, Tidur, dan Mati di dalam Becaknya.
Laporan tersebut adalah potret kehidupan para lansia yang hidup dan menunggu maut di becaknya. Mereka kebanyakan memang tidak punya tempat tinggal. Di becak itulah mereka berteduh.
Kini, tidak ada banyak harapan dari para tukang becak tersebut. Berharap mendapat penumpang dan hidup sejahtera terdengar muluk-muluk.
Untuk makan, banyak dari para tukang becak itu mengandalkan kebaikan dari orang lain. Jika tidak kunjung mendapat makanan, ujungnya hanya satu: mati kelaparan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Keluar Stasiun Lempuyangan Langsung Disuguhi Ketimpangan Hidup Warga Jogja atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan