Tiga puluh tahun lalu, ketenangan Kampung Panaruban, Desa Cicadas, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang, pecah oleh kepakan sayap besar yang melintas rendah di atas pekarangan warga. Seekor elang, yang berukuran nyaris dua kali ayam kampung, tiba-tiba menukik, mencengkeram seekor ayam, lalu lenyap ke arah hutan.
Kejadian itu pun mengundang amarah. Bagi warga desa saat itu, ayam adalah harta, dan predator yang datang dari rimba tadi, dianggap sebagai ancamannya.
Tanpa pengetahuan bahwa satwa itu dilindungi, warga bereaksi spontan. Beberapa orang masuk hutan, membawa jaring dan alat seadanya, berniat memburu sang pencuri ternak.
Namun, berhari-hari pencarian tak membuahkan hasil. Elang itu seolah menelan dirinya sendiri ke dalam lebatnya hutan.
“Dulu itu namanya warga nggak tahu. Ada yang ingin memburu. Ada yang bawa jaring,” kenang Udung (83), warga Kampung Panaruban, menceritakan kejadian tiga dekade lalu itu kepada Mojok, Sabtu (13/12/2025).
Waktu berjalan. Amarah juga mulai mereda. Suatu hari, tatkala berjalan-jalan menyusuri hutan, Udung justru menemukan sesuatu yang membuatnya berhenti melangkah: sebuah sarang besar di atas pohon tinggi. Dari situ, Udung paham yang ia lihat adalah sarang elang.
“Kalau saya kasih tahu warga, pasti elangnya bakal diburu lagi,” ungkapnya.
Kabar belum sempat ramai di telinga warga, sekelompok peneliti dari IPB dan Unpad mendatangi Udung. Mereka menjelaskan bahwa elang yang dilihat warga adalah Elang Jawa (Nisaetus bartelsi), satwa endemik yang dilindungi. Tidak boleh diburu.
Lebih dari itu, mereka meminta bantuan Udung untuk menunjukkan lokasi-lokasi sarang lain di dalam hutan.

Pertemuan itu menjadi titik balik. Udung belajar dua hal. Pertama, kehidupan Elang Jawa bukan untuk diusik, tapi dilestarikan. Kedua, dari pengalaman menyaksikan langsung bagaimana elang menerkam mangsa, ia mulai memahami bahwa serangan itu bukan tindakan serampangan, melainkan hasil perhitungan yang presisi.
Apa yang dilihat Udung puluhan tahun lalu: elang melayang tenang, lalu menukik dalam sekejap, adalah gambaran kecerdasan predator puncak itu dalam mencari mangsa.
Cara berburu itu bukan kebetulan, melainkan strategi yang diasah oleh evolusi dan ketergantungan penuh pada hutan. Kekaguman itulah yang kini relevan, ketika Elang Jawa kian terdesak oleh perubahan bentang alam Pulau Jawa.
Balada berburu Elang Jawa
Di balik kanopi hutan yang rimbun, Elang Jawa memegang peranan vital sebagai predator puncak. Kehadirannya bukan sekadar penghias langit, melainkan penjaga keseimbangan ekosistem.
Ia mengontrol populasi tikus, kelelawar, burung kecil, hingga predator tingkat menengah (mesopredator). Namun, “peran agung” itu paling nyata saat ia memulai ritual perburuan.
“Cara berburu Elang Jawa itu sangat bergantung pada kecerdasan membaca lanskap,” kata Biodiversity and Conservation Officer Burung Indonesia Achmad Ridha Junaid, saat ditemui Mojok, Jumat (12/12/2025).
Menurut Ridha, berburu bukan sekadar soal kekuatan. Ia adalah kombinasi strategi, efisiensi energi, dan kemampuan mengambil keputusan dalam hitungan detik.

Ketika matahari meninggi dan udara mulai memanas, panggung bagi Elang Jawa terbuka. Panas bumi menciptakan arus termal, kolom udara hangat naik perlahan ke atas. Elang Jawa memanfaatkannya seperti seorang pelaut membaca arah angin. Tanpa perlu mengepakkan sayap, ia melayang, berputar, dan naik setahap demi setahap.
Teknik terbang melayang ini disebut soaring. Namun, bagi Ridha, soaring ini bukan sekadar indah, melainkan strategi. Setiap kepakan sayap adalah energi yang mahal. Dengan menumpang arus termal, Elang Jawa menghemat tenaga untuk satu momen yang menentukan: serangan.
“Mencari mangsa adalah tugas berat, sehingga mereka menghemat tenaga dengan terbang tanpa mengepakkan sayap sembari memindai area di bawahnya,” jelas Ridha.
Dari ketinggian, ia memindai lanskap layaknya operator drone. Ketinggian terbang disesuaikan dengan kontur wilayah. Di dataran rendah, ia naik tinggi agar sudut pandangnya luas. Di pegunungan, ia terbang lebih rendah, mengikuti lekuk lereng dan punggungan hutan.
Senjata utamanya bukan otot, melainkan mata dan otak. Mata Elang Jawa menghadap ke depan, memungkinkan penglihatan binocular vision–sebuah sistem bidik yang membantu menghitung jarak, kecepatan, dan arah gerak mangsa. Tikus yang berhenti sepersekian detik di balik semak, atau burung kecil yang salah memilih dahan, cukup untuk memicu respons.
Begitu target terkunci, Elang Jawa tidak langsung menyerang. Ia menunggu. Tubuhnya tetap melayang, sayap terbuka, seolah tak tertarik pada apa pun di bawahnya. Kesabaran ini bagian dari kecerdasan berburu.
Saat momen tiba, semuanya berubah dalam hitungan detik. Dari posisi tenang, Elang Jawa menukik tajam. Udara terbelah oleh tubuhnya yang melesat turun. Cakar terbuka tepat sebelum menyentuh sasaran. Adegan ini persis seperti yang pernah disaksikan Udung secara langsung.
“Jika mangsanya besar, cakar menjadi andalan. Jika sedang terbang atau kecil, paruh pun bisa digunakan,” kata Ridha.
Bagi yang menyaksikan, misalnya oleh Udung, serangan itu nyaris tanpa suara. Ia seperti sebuah operasi senyap yang selesai bahkan sebelum mangsanya menyadari bahaya.

Uniknya, imbuh Ridha, Elang Jawa bukan predator ceroboh. Ia tahu kapan harus menyerang dan kapan membatalkan. Jika mangsa terlalu besar atau lingkungan terlalu terbuka, serangan bisa dihentikan.
“Itu bentuk pengambilan keputusan. Mereka tidak nekat,” kata Ridha.
Kemampuan ini membuat Elang Jawa cukup adaptif. Meski identik dengan hutan, wilayah jelajahnya bisa sampai ke hutan sekunder, perkebunan, bahkan pinggir pemukiman. Di tempat-tempat ini, mereka mengincar tikus atau ternak kecil.

Predator udara terganas semakin rentan
Namun adaptasi punya batas. Sebab, hutan primer tetap menjadi jantung kehidupan Elang Jawa. Bagi Elang Jawa, hutan alami dengan pohon besar di lereng curam bukan sekadar tempat singgah. Di sanalah mereka bersarang, berkembang biak, dan membesarkan anak.
Pasangan Elang Jawa dikenal monogami, setia satu sama lain sepanjang hidup. Mereka sering kembali ke sarang yang sama, menandainya dengan ranting-ranting baru berdaun hijau.
“Kalau salah satu mati, yang tersisa tidak akan berkembang biak,” kata Usep Suparman, peneliti Elang Jawa dari Raptor Conservation Society (RCS) yang telah lebih dari 30 tahun meneliti raptor di Jawa.

Kepada Mojok, Usep menjelaskan bahwa kesetiaan ini, di satu sisi, menunjukkan ikatan kuat. Sayangnya, di sisi lain, menjadikannya rentan.
Elang Jawa hanya bertelur satu butir dalam satu siklus reproduksi, dan itu pun tidak setiap tahun. Biasanya dua tahun sekali. Telur tunggal itu adalah masa depan satu keluarga, bahkan satu populasi.
“Ada beberapa kasus telur tidak menetas. Indikasinya macam-macam, salah satunya karena tercemar pestisida,” ujar Usep. Cangkang telur menjadi tipis dan tidak matang, membuat embrio gagal berkembang.
Menurut Usep, pestisida bekerja sebagai pembunuh senyap. Tikus di ladang memakan tanaman yang terpapar racun, lalu dimangsa elang. Racun kemudian terakumulasi dalam tubuh predator puncak, dan memengaruhi sistem reproduksi mereka.
Selain pestisida, perubahan iklim ikut berperan. Musim kawin yang biasanya bertepatan dengan kemarau kini kerap terganggu oleh hujan yang datang lebih cepat. Perubahan suhu dan kelembapan memengaruhi proses pengeraman dan perkembangan embrio.
Habitat yang menyempit
Meski ada faktor lain, bagi Usep, ancaman terbesar Elang Jawa tetaplah hilangnya habitat. Pulau Jawa terus menyempit bagi satwa liar. Hutan berubah menjadi perkebunan, perumahan, dan infrastruktur.
“Habitat Elang Jawa sekarang semakin rendah, pendek, dan sempit,” kata Usep. Tempat berburu, bertengger, melatih anak, hingga bersarang, perlahan hilang.
Perburuan ilegal juga belum sepenuhnya berhenti. Sebagian masih mengincar Elang Jawa untuk dipelihara atau diperjualbelikan, meski statusnya dilindungi.
Alhasil, upaya konservasi pun tak bisa setengah hati. Menurut Usep, pemulihan ekosistem hutan menjadi kunci. Bukan sekadar menanam pohon, tetapi menanam jenis yang disukai Elang Jawa untuk bersarang dan bertengger.
“Salah satu tantangan adalah alih fungsi lahan. Habitat yang dulu aman, sekarang berubah jadi ancaman,” ujarnya.
Menjawab tantangan ini, Kementerian Kehutanan tengah memproses penetapan tujuh kawasan konservasi baru yang bisa menjadi penopang keberlangsungan habitat Elang Jawa. Tambahan kawasan konservasi itu berupa Taman Nasional (TN) dan Taman Hutan Raya (Tahura).

Tujuh kawasan konservasi baru yang diusulkan meliputi Tahura di Gunung Muria, Taman Nasional Gunung Slamet, Tahura Gunung Lawu, dan Taman Nasional Gunung Sanggabuana di Kabupaten Karawang. Adapun Tahura lain di Jawa Barat yakni Gunung Wayang di Kabupaten Bandung, Gunung Cikuray di Kabupaten Garut, dan Gunung Cibungur di Kabupaten Purwakarta.
Tak hanya dari sisi pemerintah, sektor swasta juga turut berperan. Salah satunya dari Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF). Program Director BLDF, Jemmy Chayadi, menyebut semula pihaknya fokus konservasi Macan Tutul Jawa di Gunung Muria.
Dalam perjalanannya, ternyata Gunung Muria juga menjadi rumah bagi Elang Jawa. Temuan itulah yang mendorong Djarum Foundation bekerja bersama para pegiat konservasi burung pemangsa, seperti tim Burung Indonesia hingga para ahli lapangan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Mempertaruhkan Nasib Sang Garuda di Sisa Hutan Purba atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan















