Kasus bunuh diri menjadi perhatian serius dalam debat pertama Pilkada Jawa Timur 2024. Salah satu pasangan calon, menyebut agama dapat menjadi solusi atas permasalahan tersebut. Lantas, benarkah agama dapat diutilisasi untuk mencegah bunuh diri?
Peringatan: Artikel ini tidak dimaksudkan untuk menginspirasi siapa pun melakukan tindakan bunuh diri. Mojok menyarankan kamu berhenti membaca jika merasa tidak nyaman. Dan, jika kamu mengalami depresi atau mulai berpikir untuk bunuh diri, segera konsultasikan kepada tenaga profesional, seperti psikolog atau psikiater.
***
Jawa Timur didapuk sebagai provinsi dengan angka bunuh diri tertinggi kedua di Indonesia. Laporan Katadata menyebutkan, per 2019 angka bunuh diri di provinsi tersebut mencapai 549 kasus. Sementara sepanjang 2023 lalu, ada sekitar 148 kasus terjadi.
Tingginya angka bunuh diri menarik perhatian para kandidat gubernur dan wakil gubernur yang akan bertarung di Pilkada Jatim 2024. Cawagub nomor urut 1, Lukmanul Khakim, meminta pemerintah dan masyarakat memberikan atensi pada permasalahan ini, khususnya pada kasus bunuh diri kaum muda.
”Ada beberapa peristiwa anak muda bunuh diri sehingga perlu atensi tentang kesehatan mental masyarakat,” kata Lukman dalam debat pertama Pilkada Jatim, Jumat (18/10/2024) lalu.
Lebih lanjut, Lukman menyebut pihaknya akan membuat layanan hotline khusus untuk kesehatan mental warga jika terpilih nanti. Tujuannya, menekan potensi kasus bunuh diri.
Banyak netizen meyakini agama adalah solusi atas bunuh diri
Dalam debat itu juga, dua paslon lain membahas peran pondok pesantren dalam menguatkan ketahanan sosial. Baik cawagub nomor urut dua, Emil Dardak maupun cawagub nomor urut tiga, Zahrul Azhar Asumta, percaya pentingnya nilai-nilai yang diajarkan pondok pesantren untuk menempa karakter anak muda.
Sejak statement itu keluar, perdebatan di media sosial terbelah: ada netizen yang percaya agama bisa mencegah bunuh diri, tapi tak sedikit juga yang skeptis.
Bagi yang percaya, mereka percaya bahwa dogma “orang bunuh diri pasti masuk neraka” dalam agama, cukup ampuh untuk menghalangi niat bunuh diri.
Sementara bagi yang tak percaya, mereka menganggap bahwa motif orang bunuh diri punya banyak lapisan. Termasuk psikis, ekonomi, sosial, terlepas dari agama yang mereka anut.
Saya sendiri mencoba membawa perdebatan ini ke ranah real life. Beberapa teman coba saya tanyai soal posisi mereka. Dan, hasilnya tetap terbelah, meski mayoritas percaya pada statement pertama: agama bisa mencegah bunuh diri.
Agama memang cukup mumpuni buat cegah bunuh diri, kok!
Dalam berbagai kajian dan literatur, kita harus sepakat satu hal: semua agama memang menentang bunuh diri. Oleh karenanya, ia dianggap sebagai “kunci” dalam mencegah bunuh diri.
Namun, yang perlu digaris bawahi, bukti empiris tentang peran agama dalam pencegahan bunuh diri itu tidak konsisten.
Penelitian Ryan E. Lawrence berjudul “Religion and Suicide Risk: A Systematic Review” dalam Archives of Suicide Research (2020) mampu menjelaskannya. Menurut Ryan, menganut agama tertentu tidak selalu melindungi seseorang dari memiliki ide bunuh diri. Akan tetapi, ia juga terbukti melindungi seseorang dari percobaan atau tindakan bunuh diri. Manfaat serupa ditemukan pada mereka yang menjalankan praktik keagamaan.
Kesimpulan yang dipaparkan Ryan, mereka yang beragama dan menjalankan praktik keagamaan secara rutin, tetap bisa memiliki niat bundir. Namun, saat akan melakukan tindakan atau percobaan bunuh diri yang bisa menyebabkan kematian, mereka yang beragama bakal punya pertimbangan lebih kuat untuk tidak melakukan upaya itu.
Pengalaman “selamat” gara-gara ingat ingat sembahyang
Mojok juga pernah berbincang dengan Dona* (26), buruh di Jogja yang selama beberapa tahun terakhir berjuang dari niat bunuh diri yang selalu muncul di kepalanya. Kebetulan, Dona berasal dari Jawa Timur.
Masalah keluarga, asmara, hingga perasaan insecure soal masa depan, beberapa kali membuatnya berpikir untuk mengakhiri hidup. Namun, setiap kali akan bertindak, ia selalu mengurungkan niatnya karena masih ingat agama.
“Di agamaku ‘kan diajarkan, setelah mati ada kehidupan lagi. Dan kalau aku mati bunuh diri, dijamin masuk neraka. Ya akhirnya ragu-ragu,” jelasnya.
“Tiap kali punya niat bundir, aku pasti nangis, terus sembahyang minta ampun ke Tuhan.”
Kini, Dona berhasil melewati fase kritis hidupnya itu setelah beberapa kali datang ke psikiater.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA DIY Sudah Punya Perda Kesehatan Jiwa, tapi Banyak Kasus Bunuh Diri
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News