Ada tiga kawasan di Jakarta Barat yang paling keras bagi para perantau asal luar daerah. Di tiga kawasan ini, mereka dikoyak, dicabik-cabik, dan dihantam oleh kerasnya kehidupan di perantauan. Ada yang sampai harus memulung, tinggal di lingkungan preman, bahkan berbagi tempat tidur dengan tikus dan kecoa.
***
Kalau menukil laporan BPS pada 2023 lalu, sebenarnya Jakarta Barat menjadi kabupaten/kota dengan persentase kemiskinan terendah kedua di Jakarta. Persentase kemiskinan 4 persen hanya kalah kecil dari Jakarta Selatan di urutan terbaik.
Sayangnya, itu hanyalah data di atas kertas. Adalah fakta bahwa Jakarta Barat menjadi kawasan terpadat kedua di bekas daerah khusus ibukota itu, setelah Kabupaten Pulau Seribu. Apalagi, di tengah kepadatan penduduk itu, beberapa titik di Jakarta Barat dinobatkan sebagai kawasan kumuh.
Di kawasan kumuh inilah orang-orang miskin yang disebut “cuma” 4 persen tadi, bergelut dengan nasib. Mereka hidup, berbagi ruang, dan bahkan saling sikut dengan perantau asal luar daerah untuk bertahan hidup.
Alhasil, kawasan-kawasan itu menjelma menjadi “arena adu nasib” yang keras. Bahkan, kata salah satu perantau yang sudah 7 tahun tinggal di Jakarta Barat, Oki (25), kawasan ini ibarat neraka rasa surga: “terlalu keras buat ditinggali, tapi terlalu sayang buat ditinggalkan”.
#1 Tambora, tempat perantau asal Jawa Barat 7 tahun berbagi ruang dengan tikus dan kecoa
Oki adalah satu dari banyak perantau yang kehidupannya jauh dari kata layak di Jakarta Barat. Pertama datang pada 2017 lalu buat kuliah, lelaki asal Cirebon langsung tinggal di salah satu gang paling sibuk di Tambora.
Tak cuma sibuk, gang ini juga terkenal kumuh. Lokasinya dekat perlintasan rel kereta. Tiap tahun ia juga jadi langganan banjir. Bermodalkan mahar Rp350 ribu, ia berhasil mendapatkan kos-kosan di Tambora.
Sebagaimana papatah “ada harga, ada rupa”; bentuk kos yang ia tempati pun cukup memprihatinkan. Ukurannya 2×3 meter, berlantai plesteran yang belum dihaluskan, dan asbes menjadi pembatas antarkamar kos.
“Kalau malam ASMR-ku ada dua. Kalau nggak suara kereta ya suara tetangga lagi bercinta. Karena memang sepadat dan sesempit itu,” ujarnya, saat diwawancarai Mojok, Minggu (22/7/2024) lalu.
Oki memang tak punya banyak pilihan. Selain murah, kosnya dekat dengan kampus. Di kawasan tersebut juga terkenal sebagai tempat tinggal perantau asal Sunda. Ia mendapatkan kos tersebut juga berkat rekomendasi saudaranya yang sudah lebih dulu merantau di Jakarta Barat.
Seburuk apapun kondisinya, Oki tetap legowo. Bahkan, menurut cerita dia yang pernah Mojok muat dalam artikel “Kerasnya Hidup di Tambora Jakarta Barat”, ia mengaku sudah biasa tidur kelonan bareng tikus dan kecoa.
“Makan dan tidur bareng mereka [tikus dan kecoa]. Tidur dihinggapi kecoa. Kaki digigitin tikus. Ah, itu sih biasa,” kelakarnya.
Setelah lulus kuliah, Oki memutuskan bekerja di Jakarta Barat. Ia pun belum meninggalkan kos kumuhnya. Sebab, selain murah, ia sudah terlanjur krasan.
#2 Cengkareng menjadi saksi perantau asal Jawa Tengah bertahan hidup berkat jadi pemulung
Tak jauh dari Tambora, ada kawasan bernama Cengkareng. Memang kecamatan terluas kedua di Jakarta Barat ini tak sepadat dan sekumuh Tambora. Namun, di dalamnya juga ada kisah nyesek dari para perantaunya.
Salah satunya dialami Ridwan (26), perantau asal Jawa Tengah yang pernah tiga setengah tahun bekerja di Cengkareng. Awalnya, pada 2019 lalu, ia meninggalkan kampung halaman untuk bekerja di sebuah distribution center. Tawaran gaji Rp3,5 juta per bulan plus bonus jauh lebih besar ketimbang yang ia dapatkan sebelumnya, yakni Rp1,7 juta.
Pada mulanya, semua berjalan lancar. Namun, baru empat bulan kerja, pandemi melanda. Banyak perusahaan merumahkan pekerjanya, termasuk perusahaan tempat Ridwan bekerja.
Tak mau menyerah, ia berusaha bertahan di ibu kota. Namun apa daya, kerasnya kehidupan justru membawanya ke sebuah pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: menjadi pemulung.
“Akhir 2020, pas pandemi kenceng-kencengnya, aku bareng ‘teman seperjuangan mutusin mulung. Saat itu kami ngekos bareng di Kapuk,” kata perantau ini, yang kisahnya pernah dimuat dalam liputan “Pahitnya Nasib Perantau di Cengkareng Jakarta Barat” pada Selasa (6/8/2024) kemarin.
Tentu, profesi ini tak diketahui oleh orang tuanya di desa. Kepada bapak-ibunya, ia mengaku masih kerja di perusahaan jasa ekspedisi tadi, hanya saja gajinya dipotong.
Meski pilu, nyatanya Ridwan tak pernah menyesali keputusannya memulung barang-barang bekas di jalanan Jakarta Barat itu. Sebab, berkat memulung, ia bisa bertahan hidup di kerasnya ibu kota sebelum akhirnya pulang kampung pada lebaran 2022 lalu–dan tak kembali sampai sekarang.
#3 Bertetangga dengan para kriminal di Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Cerita lain datang dari Febrian (23), perantau yang kini bekerja di salah satu pasar kawasan Jakarta Barat. Boleh dibilang, nasibnya masih jauh lebih baik ketimbang Oki dan Ridwan. Meski sama-sama ngekos di daerah kumuh, setidaknya ia masih berpenghasilan. Upah hariannya dari berdagang di pasar lebih dari cukup buat hidup.
Masalahnya hanya satu, Febrian tinggal di salah satu kawasan Kebon Jeruk yang terkenal keras. Kata keras di sini terasosiasi dengan masyarakatnya yang “bekerja di kegelapan”.
“Maaf kalau kurang sopan, tapi di kawasan kosku kalau mau bisa makan yang perempuan pada punya ‘bisnis sampingan’, Bang. Nggak semua, tapi banyak yang open BO,” ungkap Febrian.
“Sementara narkoboy udah bukan hal tabu lagi. Salah pergaulan kita bisa ikut nyebur,” imbuhnya.
Sebenarnya, ia cukup ngeri-ngeri sedap tinggal di lingkungan tersebut. Apalagi sejak pertama tinggal di sana pada 2021 lalu, Febrian menjumpai banyak preman di sana kena grebek karena mengedarkan narkoba.
“Tapi nggak punya banyak pilihan. Kos di sini murah, dekat tempat kerja. Jadi uang bisa disisihin buat nabung. Tinggal nguatin iman aja.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News