Pemilik Warung Tahu Guling Mbah Joyo di Pasar Godean, Joyo Sudiono berkali-kali menolak ajakan Soeharto dan kerabatnya untuk ke Jakarta. Padahal kalau mau, hidupnya jadi lebih enak.
***
Sejak Tahu Guling Mbah Joyo boyongan ke Pasar Godean sementara pada 2022 silam, saya belum lagi menikmati salah satu kuliner legendaris asal Jogja ini.
Pekan lalu saya datang agak siangan selepas tengah hari. Warungnya sudah sepi. Penjaga parkir di pasar sementara itu menyampaikan kalau pemilik sudah pulang karena sudah habis.
Senin, awal pekan ini saya datang agak pagian. Kembali saya tidak berjodoh untuk menyantap kuliner yang ada sejak awal tahun 1940-an. “Warungnya tutup, Mas, ada tetangganya yang meninggal dunia,” kata tukang parkir.
Hasrat untuk menyantap tahu guling akhirnya tertuntaskan di pagi hari, Kamis (22/2/2024). Lasirah, 70 tahun, atau akrab dengan panggilan Bu Lis menyambut saya dengan senyumnya. Ia membenarkan hari Senin memang tutup karena tetangga dekat rumahnya di daerah Sidomoyo, Godean meninggal dunia. Sudah selayaknya orang kampung, ia membantu di rumah orang yang meninggal dunia.
“Gurih opo pedes?” tanyanya. Di sini menu masakannya cuma satu, tahu guling. Gurih adalah tahu guling tanpa ulekan cabai, sedangkan pedas untuk yang suka pada rasa pedas. Dulu, saat belum renovasi, Warung Tahu Guling Mbah Joyo sangat sederhana. Berbaur dengan pedagang sayur dan ayam.
Cerita awal jadi langganan keluarga Presiden Soeharto
Kini di pasar sementara, ia menempati lokasi yang juga tak kalah sederhana. Berukuran sekitar 3 meter x 3 meter, warungnya menempati sisi utara pasar, paling pinggir sehingga mudah bagi orang yang ingin mencarinya. “Kemarin itu dapatnya sebenarnya di tengah, tapi saya nggak mau, nanti nggak kelihatan,” katanya.
“Lombok-nya piro?” tanya Bu Lis.
“Kalih mawon, Bu?”
Ia lantas mengambil cabai segar dan bawang putih di piring, kemudian menguleknya. Setelah halus ia menuangkan kuah gula dan kecap. Kuah gula dan kecap ini yang Bu Lis sebut membuat tahu guling resep dari Mbah Joyo terasa enak. “Kuah gulanya direbus dengan rempah-rempah. Kecapnya kecap asin, buatan sendiri,” kata Bu Lis.
Bu Lasirah atau Bu Lis adalah generasi kedua dari Tahu Guling Mbah Joyo yang berdiri sejak 1942. Sejak tahun 1988, Bu Lis membantu ayahnya, Joyo Sudiono untuk jualan tahu guling.
Resep dan cara menyajikan tahu guling menurut Bu Lis sama dengan apa yang Mbah Joyo. Ketika ayahnya, Mbah Joyo meninggal dunia pada tahun 2000, ia meneruskan estafet usaha keluarga tersebut.
Di dalam warung tampak sebuah foto editan bergambar foto Presiden Soeharto dan Mbah Joyo. Maka meluncurlah cerita dari Bu Lis dengan lancarnya tentang bagaimana mereka kemudian jadi salah satu kuliner langganan Presiden Soeharto dan kerabatnya.
“Jadi awalnya, setiap ada tamu dari Jakarta, Pak Lurah Noto Suwito (adik Soeharto-red) selalu memesan tahu guling Mbah Joyo. Nah, ternyata Pak Harto suka,” kata Bu Lis.
Pak Harto kemudian meminta Noto Suwito agar Tahu Guling Mbah Joyo mau di bawa ke Jakarta untuk sebuah acara di keluarga presiden.
Baca halaman selanjutnya…
Mbah Joyo menolak keinginan Soeharto meski sudah dibujuk