Seorang bocah lulusan SD asal Wonosari, Jogja, memilih tak lanjut SMP untuk jualan bakwan kawi. Bukan karena ia malas sekolah. Tapi di atas pundaknya, ia memikul tanggung jawab sebagai seorang kakak yang harus turut mengurus adik-adiknya.
***
Sepulang dari kantor di Perum Sukoharjo Indah, Ngaglik, saya kerap berjalan random di sekitaran Ngaglik. Tentu jika tidak sedang ada agenda liputan keluar Ngaglik, Sleman.
Jalan random tersebut sering kali mempertemukan saya dengan “sosok-sosok tak terduga”. Sosok-sosok dengan cerita-cerita menyentuh dan inspiratif.
Seperti misalnya sore itu, Rabu (12/6/2024). Saya akhirnya punya kesempatan ngobrol panjang dengan Radit (16), bocah asal Wonosari, Jogja, yang jualan bakwan kawi di Jalan Besi Jangkang.
Seminggu sebelumnya, sebenarnya saya sudah berniat mampir di tempat mangkal Radit. Saya sudah kerap melihat bocah itu tiap kali melintas di Jalan Besi Jangkang. Namun, seminggu lalu ia tak terlihat ada di sana.
“Oh seminggu kemarin saya pulang, Mas, ke Wonosari,” ujar Radit saat kemudian saya tanya kenapa seminggu lalu tak terlihat.
Ngaglik baru saja diguyur hujan bulan Juni sejak siang. Lalu menyisakan gerimis yang cukup awet. Suasana yang sangat cocok untuk menikmati bakwan kawi.
Bocah Wonosari Jogja yang terlatih kerja sejak SD
Sembari menyantap bakwan kawi, saya mengajak Radit duduk di dekat saya untuk ngobrol-ngobrol. Ia tampak gugup. Terlihat dari caranya menyulut rokok yang agak tak santai.
Tapi lama-lama ia mulai nyaman berbicara. Malah ada bagian-bagian yang tanpa saya tanya pun ia justru cerita sendiri.
“Dulu saya SD-nya malah di Magelang (Jawa Tengah), Mas. Waktu itu ikut bapak. Karena bapak jualannya di sana,” ungkap bocah asal Wonosari, Jogja, tersebut.
Bapak Radit juga jualan bakwan kawi. Sementara sang ibu adalah ibu rumah tangga biasa.
Dulu bapak Radit memang jualan kawi di Magelang. Tapi setelah Radit lulus SD dan karena ada suatu hal, bapak Radit pun akhirnya balik ke Jogja dan sekarang jualan bakwan kawi di sekitaran Cangkringan, Jogja.
“Dulu tinggal sama bapak ya bareng sama orang-orang jualan bakwan. Dari situ ikut berlatih cara membuat bakwan kawi,” terang Radit.
Sebagai informasi, umumnya para penjual bakwan kawi memang tinggal dalam satu kontrakan. Atau kalau kos ya dalam satu kompleks kos-kosan. Mereka akan membuat bakwan kawi bareng-bareng di malam hari sebelum kemudian dijual esok harinya.
“Kalau saya mangkalnya jam 10 pagi sampai jam 5 sore, Mas. Upahnya paling sering ya di angka Rp80 ribu per hari,” kata bocah asal Wonosari, Jogja, tersebut.
Sengaja tak lanjut sekolah SMP
Radit lulus SD pada 2021 silam. Setelah itu ia memang sudah mantap tak lanjut SMP.
Ibu Radit sebenarnya sudah mencoba mendaftarkan Radit ke sebuah SMP di Wonosari, Jogja. Namun, bocah itu tetap pada pilihannya: tak mau lanjut SMP.
Radit menjelaskan kalau ia ingin bekerja saja, jualan bakwan kawi. Mendengar itu, orang tua Radit tak mempermasalahkan.
“Juragannya saudara sendiri, jadi saya ikut,” ucap Radit. Rokoknya habis. Ia lalu menyeruput segelas kopi yang ada di depannya.
Bocah asal Wonosari, Jogja, itu mengaku kalau di antara para penjual bakwan kawi yang ikut saudara Radit (juragan), ia lah yang paling bocah. Sisanya pemuda-pemuda usia 20-an hingga bapak-bapak pun ada.
“Kalau bapak tinggalnya di Cangkringan. Sering juga main ke sini,” ucap Radit sambil menyulut kembali rokoknya.
Perihal alasan kenapa ia memilih putus sekolah, awalnya Radit tak menjelaskan terus terang. Bocah asal Wonosari, Jogja, itu hanya bilang kalau ia memang tidak pengin sekolah. Ia pengin cari uang saja. Sebata situ.
Bocah Wonosari Jogja yang berkorban untuk adik-adiknya
Saat obrolan kami makin dalam, Radit lalu bercerita kalau ia adalah anak pertama. Ia punya empat orang adik. Satu sekolah SMP, satu SD, lalu dua sisanya masih kecil.
Saya lalu mulai mengerti atas keputusan Radit putus sekolah dan memilih jualan bakwan kawi. Karena saya pun anak pertama. Bagi anak pertama, selalu ada keinginan untuk berkorban terhadap keluarga.
“Upah jualan bakwan kawi bukan cuma buat saya. Jadi memang sengaja saya bagi. Kalau pulang ada bagian yang saya kasih ke ibu,” tutur Radit. Jawabannya itu sudah cukup menjelaskan kenapa bocah asal Wonosari, Jogja, itu memilih putus sekolah.
Di zaman sekarang, seorang bocah putus sekolah setelah SD memang menjadi hal tak lazim. Itulah kenapa Radit mengaku ada lah beberapa orang di daerahnya yang memandangnya dengan cara aneh. Seperti hendak bilang, “Nggak mau sekolah nanti mau jadi apa?”.
Meski begitu, Radit tak terlalu memasukkannya ke hati. Terserah apa kata orang. Yang penting baginya saat ini adalah mengurangi beban orang tua dan syukur-syukur bisa membantu keduanya.
Saat hendak lanjut jalan, saya sengaja memberi uang lebih pada Radit. Bukan karena kasihan atas kondisinya. Tapi sebagai ucapan terimakasih karena sudah menemani saya ngobrol di tengah gerimis sore itu. Namun ia mengejar saya, mengembalikan kelebihan uang yang saya berikan.
“Nggak usah, Mas, bayar sesuai pesanan saja,” kata bocah asal Wonosari, Jogja, itu dengan wajah sungkan. Saya menerimanya kembali. Tapi saya bilang padanya kalau saya akan lebih sering makan bakwan kawi di tempatnya mangkal.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Orang-Orang yang Bernasib Sial di Depok Jogja, Harus Lewati Malam dengan Ngenes dan Sendu
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.