Mie ayam dan Wonogiri, dua hal yang saling melekat. Namun, menurut sejumlah sumber, sebenarnya sangat sulit untuk mendefinisikan seperti apa karakter khas mie ayam wonogiri.
Hal itu saya jumpai saat melakukan kunjungan khusus untuk melakukan peliputan dokumenter seputar mie ayam di wilayah tersebut. Para pedagang hingga penikmat setia cukup bingung ketika mendefinisikan. Selain itu, setiap warung juga datang dengan konsep dan kekhasannya masing-masing.
Edi Listiyanto (44), pebisnis asal Wonogiri sekaligus lelaki yang mengaku kerap menikmati mie ayam sekitar 4-5 kali dalam sepekan mengaku cita rasa warung-warung di kotanya beragam. Ada yang kuat dengan rasa gurih namun ada juga yang dominan manisnya.
“Kalau secara bumbunya itu beda-beda setiap warung,” ungkapnya.
#1 Tidak ada karakter pakem, resep ditemukan di perantauan
Mie ayam wonogiri kini terkenal seantero Indonesia sebenarnya berangkat dari semangat merantau para warga di Kota Gaplek tersebut. Bahkan, para perantau ini punya julukan sebagai “kaum boro”.
Sejarawan kuliner, Heri Priyatmoko, pernah bercerita bahwa generasi para perantau dari Wonogiri telah banyak ke Jakarta pascakemerdekaan Indonesia. Alasan utamanya lantaran ingin memperbaiki nasib.
“Spirit merantau itu terutama bagi mereka yang tidak punya lahan. Sebab, mata pencaharian utama di desa kan bertani,” ungkapnya kepada Mojok.
Pada masa awal merantau, menurut Heri, banyak pedagang yang tidak langsung membuka usaha. Melainkan bekerja di pengusaha lokal setempat. Salah satunya juga pengusaha keturunan Tionghoa. Dari situlah, para perantau generasi awal belajar meracik mie ayam dan bakso, dua kuliner yang memang akarnya dari budaya Tionghoa.
#2 Karakter bumbu mie ayam menyesuaikan dengan daerah setempat
Saat melawat ke Wonogiri, saya juga sempat mampir ke Solo bertemu Eddy Santoso. Ketua Paguyuban Mie Ayam Tunggal Rasa Wonogiri ini cukup paham soal sejarah kuliner tersebut.
Ada banyak yang bilang bahwa karakter mie wonogiri itu lebih gurih. Namun, praktiknya banyak pedagang dari Wonogiri yang justru memperkuat cita rasa manis. Perihal itu, Eddy punya jawabannya.
“Sebenarnya mie ayam di mana-mana hampir sama. Di Jakarta cenderungnya nggak ada manisnya, tapi lidah orang Solo dan Jogja agak manis, jadi kalau di daerah ini ya dibuat agak manis. Marketing kan mana yang payu (laku) yang ditembus,” papar Eddy.
Cerita Eddy, sebenarnya sejalan dengan pengalaman saya berbincang dengan Karman, pemilik Mie Ayam Om Karman yang cukup terkenal di Bantul. Pemiliknya berasal dari Wonogiri. Namun, cita rasa mienya begitu khas Jogja. Kuahnya coklat kehitaman dengan dominasi rasa manis.
Saat saya tanyai, ia mengakui bahwa ingin buat mie ayam dengan cita rasa manis agar sesuai dengan lidah orang Jogja.
“Kalau saya ngikutin selera Wonogiri ya harusnya dominan gurihnya. Tapi kan saya di sini (Yogyakarta), jadi nyesuaikan tempat juga. Saya tambahkan lada dan jahe agar manisnya pas dan agak pedas sedikit rasanya,” jelas bapak tiga anak tersebut.
#3 Warna gerobak tidak jadi penetu
Selanjutnya, warna gerobak juga tidak bisa jadi patokan soal ciri khas pedagang dari Wonogiri. Sebab, di kota ini saja para pedagang menggunakan beragam warna gerobak. Ada yang biru, coklat, hingga hijau.
Sebenarnya, hal itu kembali ke selera masing-masing pedagang. Namun, pemilihan warna juga terkadang dilandasi alasan fungsional. Warna biru atau coklat misalnya, cenderung tidak mudah kotor sehingga biasa digunakan pedagang keliling.
#4 Mie ayam sering jadi sekadar pelengkap bakso
Saya juga sempat berbincang dengan Kasno (42), warga Desa Bubakan, Wonogiri. Sebuah desa yang sempat viral karena rumah gedongan milik para perantau.
Ia bercerita bahwa para warga desa memang banyak yang sukses merantau. Namun, awalnya memang dari jualan bakso, bukan mie ayam. Menu mie ayam jadi pelengkap atau pendamping. Bakso lah yang jadi menu utama.
#5 Pedagang yang turun temurun
Selanjutnya, memang ada cara paling mudah untuk menandakan warung milik perantau Wonogiri. Biasanya memang warung tersebut ada embel-embel “Wonogiri” di namanya.
Namun, selain itu cara termudah adalah bertanya langsung ke pembelinya. Mengingat, mie ayam Wonogiri memang begitu kaya cita rasanya. Di setiap daerah, ada penyesuaian dengan selera warga setempat.
Satu hal yang jelas. Menurut Kasno, kesuksesanan seorang perantau biasanya memantik perantau lain untuk turut berdagang bakso dan mie ayam di luar kota. “Siklusnya dari dulu misal ada satu orang, yang merantau ke Jakarta dan berhasil di sana, setelah pulang dia ngajak keluarga atau saudara,” pungkasnya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News