“…Adalah harapan tentang masa depan–dan bukan ketakutan akan kesengsaraan–yang menggerakan manusia.” Ucapan Aristoteles itu menjadi salah satu spirit dalam “Pasar Kolaboraya”.
***
Pasar Kolabaraya 2025 telah dihelat pada November 2025. Pasar tersebut meninggalkan makna penting bagi gerakan warga sipil.
Kolaboraya atau Kolaborasi Raya merupakan platform sekaligus pendekatan gerakan kolektif yang hadir sebagai respons terhadap berbagai krisis global yang manusia hadapi, seperti krisis iklim, krisis pangan, krisis air, krisis energi, dan krisis demokrasi.
Dengan pendekatan ekosistem, Kolaboraya mendorong solusi inovatif dan kolaboratif. Sebab, fenomena poli-krisis menuntut solusi yang melampaui pendekatan konvensional.
Mengutip laman resmi Rumah Isnpirit (Roemi) sebagai penggelar Kolaboraya, ada tiga nilai utama yang menjadi landasan Kolaboraya: Kolaborasi sebagai cara kerja, Eksperimentasi sebagai sikap adaptif, dan Raya sebagai semangat gotong royong berskala luas.
Ketiga nilai tersebut dijalankan lewat tiga pilar: Connect (membangun ruang interaksi), Collaborate (mempercepat inovasi sosial bersama), dan Change (merawat ekosistem-ekosistem perubahan sosial).
Kalobaraya ibarat Pandora
Ghina Prameswari Prabowo, Communication Officer di Roemah Inspirit menyebut, Kolaboraya itu ibarat kotak Pandora.
Ghina menjelaskan, Dalam mitologi Yunani, Pandora dikisahkan sebagai anak manusia yang diciptakan oleh dewa api: Hephaestus.
Ketika Pandora lahir, para dewa datang untuk memberinya hadiah. Aphrodite memberkahi Pandora dengan rasa kasih, Hermes memberinya kecakapan berbahasa, Athena membuat tangannya terampil, Apollo memberinya nama, dan Zeus menghadiahkan Pandora rasa keingintahuan besar beserta kotak yang tidak diizinkan dibuka oleh anak manusia.
Namun, karena rasa penasaran, Pandora membuka kotak pemberian Zeus. Pandora tak tahu kalau kotak itu sebenarnya alat bagi Zeus untuk menahan makhluk-makhluk jahat yang lahir dari kesengsaraan di dunia.
Makhluk-makhluk dan suara mengerikan kemudian meruak dari kotak itu, mengelilingi Pandora dengan rasa takut. Hanya ketika ia melihat kembali ke dalam kotak pemberian Zeus, Pandora melihat secercah cahaya yang menenangkan hatinya. Di dasar dari penderitaan, Pandora menemukan harapan.
“Pada tahun yang begitu turbulen ini, pikiranku melayang kepada salah satu mitologi Yunani paling populer tentang harapan; kisah Pandora. Seperti kotak pemberian Zeus. Tahun 2025 menangkap begitu banyak peristiwa menyedihkan dari seluruh penjuru dunia,” ucap Ghina dalam keterangan tertulisnya kepada Mojok, Senin (22/12/2025).
“Di Indonesia dan banyak wilayah di Asia Tenggara, iklim sosial-politik kita berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Ruang sipil diokupasi oleh kekuasaan, keserakahan dipertontonkan secara gamblang, dan warga dibiar hidup dalam ketakutan. Ketika setiap hari kengerian bertengger di daun pintu, bagaimana seharusnya kita melawan?,” tutur Ghina.
Pasar Kolaboraya: Lentera di tengah pusaran gelap
Penggagas komunikasi berbasis harapan (hope-based communication) sekaligus aktivis, Thomas Coombes menjelaskan, nilai seperti keadilan, kebebasan, dan kesetaraan adalah konsep yang subjektif. Dengan demikian, pesan harus dirangkai sejelas mungkin untuk memastikan audiens bukan hanya memahami, namun tergerak untuk melakukan sesuatu.
Coombes menambahkan, penyampaian pesan berbasis nilai (value-based messaging) menyentuh lebih dari level permukaan. Pesan berbasis nilai tidak hanya membuat orang mawas–berbagai krisis global membuktikan bahwa kemawasan tidak selalu membuat orang peduli–namun ‘menyentuh’ mereka untuk mendorong perubahan struktural.

“‘Nilai’ mampu menyentuh, menggerakan, dan beresonansi. Ketika komunikasi dilakukan berdasarkan nilai-nilai yang menghubungkan dan menguatkan–seperti harapan–perubahan menjadi lebih mungkin untuk dilakukan.”
Berangkat dari keyakinan ini, juga dibekali kekuatan merancang interaksi dan merakit narasi, kata Ghina, Roemah Inspirit (Roemi) kemudian membangun Pasar Kolaboraya.
“Yakni sebuah ruang pertemuan yang diharapkan dapat menjadi lentera di tengah pusaran gelap,” jelas Ghina.
Bukan sekadar kenduri sehari-dua hari
Pasar Kolaboraya tidak dirancang untuk sekadar menjadi kenduri satu atau dua hari.
“Tentu aspek perayaan tetap penting, karena di ruang ini seluruh perjuangan yang dilalui di balik layar dapat menginspirasi dan diapresiasi oleh banyak orang. Namun demikian, proses merakit Pasar Kolaboraya menjadi bagian yang lebih krusial dalam upaya Roemi merawat gerakan,” ujar Ghina.
Pertemuan dengan ragam penggerak perubahan dalam perjalanan menuju Pasar Kolaboraya 2025, ungkap Ghina, mengajarkan Roemi banyak hal tentang ketiga prinsip Kolaboraya (kolaborasi, eksperimentasi, dan raya).
“Kami seakan diajak menyelami kembali makna kolaborasi: Apa yang kita definisikan sebagai sebuah kolaborasi yang berhasil? Bagaimana seharusnya kolaborasi diorkestrasi? Pertemuan-pertemuan itu juga mendorong Roemi merefleksikan hipotesis utama kami: Bahwa kolaborasi membuat segalanya lebih mudah,” beber Ghina.
Melatih kolaborasi, melepas paham yang usang
Di kemudian hari, Roemi juga menyadari bahwa pembelajaran terbaik tidak datang ketika sebuah hipotesis terbukti benar. Tapi justru ketika ia terbukti keliru.
Kolaborasi di satu sisi, membuat beban yang semula berat menjadi lebih ringan. Juga membuat mungkin sesuatu yang sebelumnya mustahil.
“Namun ia juga adalah otot yang perlu dilatih. Kolaborasi kompleks, menuntut kemampuan mendengar yang sama lihainya dengan kemampuan mempercakapkan. Kami menyadari kolaborasi dapat pula memecah apa yang sebelumnya utuh. Namun. dengan kebijaksanaan yang datang seiring waktu, kolaborasi dapat mengumpulkan lagi keping-keping itu sebagai hal yang baru,” papar Ghina.

Dari para penggerak perubahan, Roemi kemudian belajar tentang kesediaan melepas paham yang usang. Untuk melonggarkan genggaman pada keyakinan yang sudah tak lagi relevan, yang apabila dicengkeram semakin erat justru akan membuat laju menjadi lambat.
Dari komunitas orang muda di NTT, pejuang lingkungan di Palu, dan sekelompok seniman di Kalimantan, Roemi belajar tentang ragam wujud resiliensi. Bagaimana perlawanan tak selalu muram dan abu-abu, namun dapat bercahaya, berwarna, dan dilakukan dengan riang gembira.
“Tugas besar selanjutnya adalah untuk memastikan setiap temuan ini, wajah-wajah yang kami temui di jalan, cerita-cerita mereka, terkomunikasikan secara utuh dan menggugah ketika waktu perayaan itu datang. Dalam hal ini, Pasar Kolaboraya bertransformasi dari sekadar ruang temu menjadi sebuah ‘Ruang Antara’. Ruang Antara bagi Roemi adalah sebuah periode transisi. Di mana gelap bertransisi menjadi terang, dan rasa takut bertransisi menjadi harap,” jabar Ghina.
Lupakan puluhan salindia rumit
Pasar Kolaboraya 2025–yang berlangsung 22-23 November 2025 lalu di JNM Bloc Jogja–mengumpulkan lebih dari 80 Ecosystem Builders dan 300 Kreator Perubahan Sosial untuk bersama merayakan kekuatan gerakan masyarakat sipil.
Selama dua hari, Builders diajak merakit komunikasi bermakna yang dapat mendorong publik dan kreator terlibat lebih jauh dalam aksi kolektif mereka. Di sini, seluruh paham yang sebelumnya dimiliki tentang “presentasi” dibongkar total.
“Lupakan puluhan salindia dengan kata-kata rumit. Para Builders dipasangkan dengan mentor seniman dan penggerak komunitas yang biasa berjibaku dengan rasa, bukan angka atau statistik,” tegas Ghina.
Dari kokreasi para Builders dan mentor itu lalu lahir pertunjukkan yang istimewa. Berbagai medium dieksplorasi mulai dari film, visual, hingga teater.
Proses ini mengajak penonton untuk mengimajinasikan kembali apa yang bisa mereka lakukan dengan komunikasi ketika ia dilihat sebagai lebih dari alat: Melainkan cara hidup atau a way of being.
Menyampaikan pesan krusial tanpa ndakik-ndakik
Pesan tentang pangan lokal dituangkan dalam goresan tinta tegas pada bendera-bendera kain. Menuliskan kalimat-kalimat satire yang menggelitik: “Tanam Padi Tumbuh Sawit”, “Gizi apa Gengsi?”.
Pesan tentang ekonomi restoratif tidak disampaikan dalam konferensi eksklusif yang ndakik-ndakik, namun alunan melodi dan lirik nan catchy; “Kami ingin tetap mandiri / untuk hari esok lebih baik lagi”.
“Topik-topik yang terasa jauh dilebur dan dibincangkan kembali. Kluster teknologi mengajak kita merenungkan bagaimana teknologi modern harus dirancang dengan mempertimbangkan pengetahuan lokal. Kluster budaya tidak diisi oleh aktor yang “itu-itu saja”, namun datang dari ragam disiplin dan latar belakang yang saling mengisi. Lalu dua kluster terakhir, sosial dan politik, yang mendengar judulnya saja sudah memunculkan gemuruh di dalam perut,” papar Ghina.

Dengan piawai surat-surat perlawanan juga disampaikan lewat penampilan teater dan film pendek. Penampilan dimulai dengan mengheningkan cipta untuk ratusan warga sipil yang masih ditahan pasca demonstrasi Agustus 2025 lalu.
“Dalam beberapa waktu, Ruang Antara ini mungkin bisa terasa sendu, namun tak pernah tanpa harapan. Penampilan demi penampilan, percakapan demi percakapan, setiap orang yang hadir di Ruang Antara itu tak pernah membiarkannya kosong dengan rasa takut. Setiap celah diisi cahaya dan keyakinan akan esok yang lebih membahagiakan,” ucap Ghina.
Ghina, kembali mengutip kata Coombes: Bahwa komunikasi (memang) mampu menghadirkan “realitas baru”.
Jika mimpi ambisius mewujudkan ekosistem gerakan masyarakat sipil yang kuat dan terhubung masih perlu waktu, setidaknya bagi Ghina, perhelatan Pasar Kolaboraya 2025 telah berhasil menciptakan realitas baru itu.
“Sebuah kondisi di mana, mengutip Coombes (lagi), setiap orang memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari solusi dan merealisasikan solusi itu bersama,” tutup Ghina. ***(Adv)
BACA JUGA: Perjalanan Nanang, Tunanetra yang Diusir karena Buka Jasa Pijat di Malioboro hingga Menjadi Seniman Raba atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan














