Malam sampai subuh ngopi, kuliah berantakan
“Gini. Ormek tempatku bergiat nggak punya banyak program. Seringnya diskusi-diskusi aja. Jadi menurutku nggak ada alasan buat nggak masuk kuliah hingga molor kuliah,” keluh Amran.
Persoalannya, para seniornya yang sudah semester tua itu banyak yang mengulang hingga molor. Alasannya, jarang masuk kuliah karena bangun kesiangan atau kesorean. Karena malam sampai subuh dihabiskan di warung kopi.
Lebih-lebih kerap kali Amran—saat sedang satu kelas dengan senior ormeknya yang mengulang mata kuliah—dia menyaksikan sendiri bagaimana si senior melempem di kelas. Tidak “segarang” ketika di forum diskusi bareng mahasiswa baru.
“Tugas-tugas dari dosen pun kesulitan. Itu malah membuat citra organisasinya jadi buruk kan. Dianggap organisasi gradak-gruduk yang kadernya nggak jelas prestasinya,” ucap Amran.
Padahal, Amran juga tahu, ada banyak mahasiswa senior di organisasi kampus lain yang balance: organisatoris, tapi juga intelektual. Di organisasi bener, di perkuliahan pun juga bener.
Itulah kenapa, kata Amran, beberapa temannya memutuskan keluar dari ormek tersebut. Sementara Amran masih bertahan karena kepentingan “relasi” tadi.
Minta bantuan relasi buat kerja, relasi dari organisasi mahasiswa (ormek) saja nggak lulus-lulus
Di liputan edisi sebelumnya, Amran mengaku kesulitan cari kerja kendati setelah lulus kuliah (tepat waktu).
Sebelum memutuskan berdagang di tempat asalnya di Blitar, Jawa Timur, Amran sempat mencoba mendaftar di beberapa lowongan. CPNS pun dia ikuti. Sayangnya, dia selalu tidak beruntung.
Di titik itulah dia menganggap narasi “relasi bakal bantu cari kerja” adalah omong kosong belaka. Sejumlah senior dari organisasi mahasiswa yang dia ikuti—dan sudah lulus—memang sudah bekerja. Tapi, kebanyakan posisinya tidak strategis. Sehingga tidak membantu apapun saat Amran berkeluh kesah susah cari kerja.
“Malah berujung adu nasib,” ujar Amran disertai gelak tawa.
“Terus sisanya yang lain nggak lulus-lulus. Pada nggak kerja juga,” sambungnya.
Mirisnya, alih-alih lekas menuntaskan kuliah, Amran sering melihat beberapa seniornya masih sering menghabiskan malam-malam di warung kopi: diskusi, main game. Entah bagaimana urusan kuliahnya.
Gabung yang praksis-praksis aja
Beda cerita dengan Kamal (28), sarjana asal Kediri, Jawa Timur, yang sebelumnya juga Mojok wawancara perihal susahnya sarjana UIN cari kerja.
Seperti disinggung dalam wawancara sebelumnya, Kamal menyebut mahasiswa perlu memiliki inisiatif (kesadaran dalam diri) untuk berkembang. Sebab, modal ijazah saja tidak cukup untuk berebut lapangan pekerjaan.
Oleh karena itu, sejak kuliah pada 2016 silam, Kamal memutuskan menghindari hal-hal yang tidak praksis dan tidak produktif
“Kuliah di UIN sudah full teori, sementara ada skill yang perlu diasah buat bekal setelah lulus,” ungkapnya.
Ada banyak pilihan organisasi mahasiswa. Baik intra maupun ormek. Akan tetapi, Kamal lebih memilih gabung Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
“Karena aku suka desain dan foto, aku gabung pers mahasiswa. Ngembangin lagi skill itu,” ucapnya.
Selain itu, Kamal juga sering mengikuti kursus fotografi di luar kampus. Modal-modal itulah yang kemudian membuatnya merintis usaha wedding photography.
“Nggak ada yang salah dengan ikut ormek misalnya. Diskusi-diskusi. Itu passion. Bergantung pada ijazah atau relasi baut prospek setelah lulus pun boleh-boleh saja. Tapi ya jangan bergantung sepenuhnya. Kita harus mempersenjatai diri dengan skill yang bakal menjadi daya tawar kita nanti,” tutupnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Menyesal Kuliah di UIN Lalu Minta Hapus Jurusan Itu Nggak Masuk Akal: Respons terhadap Liputan Mojok tentang Jurusan UIN yang Baiknya Dihapus Saja atau liputan Muchamad Aly Reza lainnya di rubrik Liputan












