Jika waktu bisa diputar, keinginan Royan (23) cuma satu, yakni melanjutkan kuliahnya yang sudah jalan dua semester di UNY. Bagaimana tidak, sudah mati-matian buat lolos PTN di jurusan favoritnya, orang tuanya malah menyuruh dia pindah kuliah ke kampus keperawatan. Sesal makin menjadi-jadi karena setelah selesai kuliah, kehidupan lulusan keperawatan tak semulus bayangan orang tuanya.
Pada 2019 lalu, perempuan asal Wonogiri, Jawa Tengah ini lolos SNBT (dulu SBMPTN) di pilihan pertamanya. Selama SMA, Royan memang sudah bercita-cita menjadi guru. Makanya, saat seleski masuk PTN, ia menempatkan salah satu jurusan kependidikan di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UNY itu di pilihan pertamanya.
“Saat itu guru-guru SMA mendukung. Orang tua awalnya juga tak mempermasalahkan aku masuk keguruan di UNY,” kata Royan kepada Mojok, Senin (22/4/2024).
Kebahagian pun menghampirinya, bahkan berlipat ganda. Bayangkan saja, Royan lolos SNBT di jurusan favoritnya; dapat UKT pun tak tinggi-tinggi amat, sekitar Rp1,6 jutaan per semester; dan lingkungan perkuliahan pun juga asyik. Di kampusnya, ia punya banyak teman nongkrong. Sejak awal semester dua, ia akhirnya juga punya pacar, yakni mahasiswa lain yang masih satu fakultas.
“Pokoknya menikmati banget kuliah di UNY. IPK-ku juga bagus, dua semester cumlaude. Pokoknya aku melihatnya saat itu kehidupan kuliahku ideal banget bagi seorang mahasiswa,” tegasnya.
Tak ada angin tak ada hujan, ortu minta dia pindah ke keperawatan
Sayangnya, kebahagiaan Royan cuma bertahan setahun. Saat libur semester dua menuju semester tiga, ayah dan ibunya memintanya buat pindah kampus. Lebih syoknya lagi, dia diminta pindah ke jurusan yang sama sekali asing baginya, keperawatan.
Bagaimana tak asing, keluarga besar Royan tak ada yang punya background kerja di bidang kesehatan. Tetangga di desanya atau teman-teman dekatnya selama SMA, yang ia tahu, tak ada juga yang jadi perawat.
“Makanya aku heran, bingung banget kenapa ortu nyuruh aku pindah ke keperawatan,” ujarnya Royan, menceritakan kebingungannya.
Saat bertanya ke orang tuanya, mereka beralasan kalau keperawatan lebih menjanjikan di masa depan. Pendeknya, prospek kerjanya luas. Ortu Royan menyebut, jadi guru tak akan memberikannya masa depan yang cerah. Sementara kalau jadi perawata, pasti bakal “jadi orang”.
“Nggak tahu siapa yang ngomporin mereka, katanya sih saat kondisi pageblug [saat itu pandemi Covid-19] perawat-perawat bakal banyak dibutuhin. Di kotaku konon lulusan keperawatan langsung dapat kerja,” kata Royan, menjelaskan alasan ortunya. Saat itu, situasi Indonesia memang sedang ancang-ancang menuju krisis pandemi. Virus belum menyebar luas, tapi ketakutannya sudah ada di mana-mana.
Alhasil, tak ada pilihan lain bagi Royan selain mengiyakan keputusan ortu. Ia pada akhirnya harus mengubur mimpinya menjadi guru, meninggalkan teman-temannya di Jogja, dan LDR dengan pacarnya–saat ini sudah tunangan.
Baca halaman selanjutnya…