Kuliah bikin pusing dan “belajar dalam bayang-bayang ancaman kematian”Â
Sejak 2020, Royan mengambil D3 Keperawatan di salah satu Akper di Jawa Tengah. Saat itu, meski berita soal Covid-19 mulai dominan, kampusnya masih menerapkan kuliah tatap muka. Bahkan selama dua semester ke depan, ia masih harus pergi ke kampus dengan protokol kesehatan yang ketat.
Kuliah di jurusan yang sama sekali asing tak pernah mudah bagi Royan. Butuh waktu tak sebentar baginya buat menyerap istilah-istilah baru di dunia kesehatan. Terlebih, saat itu nuence-nya sedang pandemi. Belajar tak bisa 100 persen fokus karena ada rasa khawatir tertular virus.
“Kuliah dalam ketakutan sih istilahnya. Di dalam kelas kami belajar teori kesehatan, tapi di luar sana banyak orang nggak sehat meninggal tiap harinya,” kata Royan. “Gimana mau efektif coba kalau kita belajar di tengah-tengah ancaman kena virus.”
Hal yang ia takutkan akhirnya kejadian. Memasuki praktik di beberapa rumah sakit yang punya relasi dengan kampusnya, Royan sudah harus berhadapan dengan pasien-pasien Covid-19. Saat itu pandemi sedang parah-parahnya. Di rumah sakit tempat Royan praktik, pasien silih berganti datang, dirawat, dan tak sedikit yang meninggal.
Karena rumah sakit amat kerepotan, mereka terpaksa menggunakan tenaga tambahan seperti mahasiswa-mahasiswa semester empat dari kampus Royan yang sedang praktik. “Jadi nih, dulu waktu praktik, harusnya kita belajar A, B, C, harus handle kerjaan X bahkan Z. Kerjaan kita udah seperti nakes lain,” jelas Royan, menceritakan pengalamannya.
“Banyak teman-temanku tumbang karena kena Covid. Aku ini satu dari sedikit mahasiswa yang bertahan, meski nggak tahu aku udah ketularan berapa kali. Yang kutahu kita praktik dalam bayang-bayang kematian lho waktu itu.”
Saat kerja pun dapat gaji yang tak seberapa
Setelah tiga tahun Royan berhasil melewati masa perkuliahannya yang “menyeramkan” itu. Setelah lulus, ia bisa langsung bekerja di sebuah rumah sakit yang memang jadi destinasi bagi lulusan keperawatan di kampusnya. Cita-cita orang tuanya melihat sang anak jadi perawat pun terwujud.
Sayangnya, menjadi perawat nyatanya tak seindah bayangan ortunya. Sudah kuliah mahal-mahal, belum termasuk biaya pelatihan BTCLS, nyatanya Royan dapat gaji di bawah UMR. Per 2023 lalu, saat Royan pertama kali lulus dan dapat kerja, UMR di kota tersebut sekitar Rp1,9 juta. Sementara gajinya per bulan hanya Rp1,7 juta.
“Katanya sih itu gaji karena awal-awal kerja aja, nanti bakal ada penyesuaian. Nyatanya sekarang tetap aja cuma naik seuprit. Cuma 2 juta lebih dikit setelah setahun kerja.”
Padahal, Royan harus kerja keras bagai kuda. Kalau masuk pagi ketemu sore, kalau masuk sore bahkan bisa pulang pagi.
“Shifting kita itu udah gila-gilaan melebihi pabrik. Tetangga enak banget ngomong kerja di tempat bersih, AC, nggak panas, tapi kerjaan di sini nggak pernah nyantai. Makan sering telat, belum stresnya numpuk-numpuk,” keluhnya.
Pada lebaran kemarin, saya bertemu dengan Royan. Dalam obrolan kami, ia mengatakan punya niat transfer kuliahnya ke S1 Keperawatan. Harapannya, sih, dapat gelar sarjana bisa membantu kariernya ke depan.
“Kalau dibilang menyesal, pasti ada sesal. Aku nggak mau munafik. Tapi kan semua udah telanjur, jalanku juga udah terlalu jauh. Yang ada cuma jalani aja dan cari cari buat jadi lebih baik.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News