Meski program bergengsi dari Kemendikbudristek, sebagian mahasiswa mengaku “patah hati” setelah mengikuti pertukaran mahasiswa Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Alasannya beragam, mulai dari penolakan dosen hingga pengakuan SKS tidak sesuai kesepakatan yang berakibat kuliah molor.
***
Sejak awal masuk kuliah di sebuah PTN pada 2021 silam, Brian* (20) sudah mendapat berbagai wejangan soal program Kampus Merdeka. Di ospek, ketua program studi (kaprodi) sudah menekankan pentingnya proyek besar dari Kemendikbud ini.
Sebagai mahasiswa yang punya dorongan untuk aktif berkegiatan, Brian pun ingin ambil bagian dalam program tersebut. Terlebih, program tersebut juga punya skema insentif cukup menarik bagi mahasiswa.
MBKM punya beberapa program unggulan seperti Magang Merdeka, Kampus Mengajar, Wirausaha Merdeka, IISMA, sampai Pertukaran Mahasiswa Merdeka. Brian paling tertarik untuk ikut program yang terakhir.
Pemuda yang tumbuh besar hingga menempuh studi di Pulau Jawa ini ingin punya pengalaman hidup di Pulau Sumatra. Tempat ayahnya dilahirkan.
“Ada perasaan pengin bertemu lingkungan yang jadi akar saya. Selain itu, pengin juga memaksimalkan kesempatan belajar yang beragam selama kuliah,” ungkapnya saat berbincang dengan Mojok.
Keinginan itu jadi agak pupus saat program studinya melakukan sosialisasi secara daring lewat Zoom. Kaprodi yang sejak ospek mengajak untuk ikut program, tiba-tiba menyarankan agar mahasiswa tidak perlu mengikuti sebagian program Kampus Merdeka.
“Salah satu yang menurutnya tidak perlu itu pertukaran mahasiswa. Katanya tidak relevan dengan profil lulusan prodi kami,” tuturnya.
Keinginannya pun agak surut. Menjelang semester lima, ia mencoba mencari pengalaman lain dengan mendaftar sebagai tutor bimbingan belajar paruh waktu. Rencana itu ia sampaikan ke kaprodinya.
Di luar dugaan, kaprodi kembali mengubah pernyataannya. Ia memberi saran kepada Brian untuk ikut program Kampus Merdeka saja alih-alih bekerja. Program tersebut juga menawarkan insentif atau biaya hidup bagi mahasiswa.
Patah hati akibat pertukaran mahasiswa Kampus Merdeka
Berhubung penutupan pendaftaran kegiatan Pertukaran Mahasiswa Merdeka semakin dekat, Brian langsung mempersiapkan diri. Ada rangkaian tes ketat agar bisa lolos. Mulai dari tes kebhinekaan, tes kecerdasan emosional, hingga pembelajaran terkait pencegahan tindakan seksual yang tidak diinginkan.
Pertukaran mahasiswa selama satu semester bisa mendapat 20 SKS. 4 di antaranya merupakan program Modul Nusantara. Di kampus tujuan, mahasiswa disarankan mengambil program studi yang sesuai dengan latar belakangnya.
Mengingat Brian mendaftar menjelang tenggat penutupan, akhirnya pilihan kampus yang tersedia di daerah tujuan tinggal sedikit. Hanya tersisa PTS yang secara kualitas berada di bawah PTN tempatnya menempuh studi.
Namun, saat itu Brian sudah telanjur meninggalkan kesempatannya untuk bekerja. Meski ia paham kualitas kampus yang ia tuju tidak terlalu baik, akhirnya ia yakinkan untuk menyelesaikan proses seleksi. Hingga, ia dinyatakan lolos.
Beberapa hari menjelang akomodasi tiket keberangkatan dari Kemendikbud keluar, ia menyampaikan ke dosennya tentang kelanjutan kabar Pertukaran Mahasiswa Merdeka. “Beliau tiba-tiba bilang, ‘Kamu yakin jadi mau ikut ini? Nanti belajarnya nggak maksimal di sana nggak dapat apa-apa’,” kata Brian menirukan dosennya.
“Beliau bahkan bilang kalau ini kampus ecek-ecek,” imbuhnya.
Perasaan bimbang mendera Brian. Ia langsung menelfon orang tua untuk meminta pertimbangan. Namun, keputusan bulat untuk tetap berangkat pertukaran mahasiswa harus ia ambil lantaran tiket keberangkatan sudah terbit.
“Kalau saya batal, harus mengganti ke Kemdikbud. Tapi ya rasanya agak patah hati awalnya dapat dukungan prodi tapi berakhir begini. Dosen juga bilang kalau belum bisa menjamin konversi SKS bisa maksimal,” curhatnya.
Ia pun terbang ke salah satu PTS di Pulau Sumatra. Di sana, ia mendapat biaya hidup dari Kemdikbud sebesar Rp1,5 juta per bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan.
Kualitas kampus tujuan pertukaran mahasiswa MBKM memang tidak setara
Berangkat program Pertukaran Mahasiswa Merdeka dengan perasaan bimbang, di sana Brian harus langsung beradaptasi. Memang, ia menyadari bahwa pembelajaran di PTS yang jadi tempatnya studi selama satu semester saat MBKM kualitasnya berbeda dengan kampus asalnya.
Dosen sering mengubah jadwal di luar ketetapan adalah salah satu contoh yang jarang ia dapat di kampus asalnya. Sebenarnya, hal itu agak ia sayangkan.
Belum lagi adaptasi budaya yang juga cukup menantang. Ia harus membiasakan diri dengan gaya komunikasi di sana yang cenderung “keras” dan blak-blakan.
“Awalnya saya kira kok marah-marah terus. Tapi ya setelah terbiasa sadar memang cara komunikasinya seperti itu,” ungkapnya.
Kendati prosesnya cukup banyak tantangan, Brian akhirnya menyelesaikan rangkaian proses selama satu semester dengan lancar. Sampai menjelang jadwal kepulangan, ia belum bisa memastikan, apakah konversi SKS dari pertukaran mahasiswa dapat benar-benar maksimal sejumlah 20 SKS dan nilainya setara.
“Terakhir bicara soal rekognisi nilai saat di hendak berangkat. Sampai sekarang belum ada kepastian mengingat dosen saya kurang antusias. Proses keberangkatan ini memang terbilang nekat,” tuturnya.
Baca selanjutnya…
Harus rela menambah semester kuliah, bayar lebih banyak