Berawal dari iseng-iseng, Rubaiah (20), wanita asal Bandung, Jawa Barat justru terlempar jauh ke Padang, Sumatera Barat. Kondisi yang membuatnya kerap kali merasa tersiksa. Semua barawal dari penolakan-penolakan yang Rubaiah terima saat mendaftar di beberapa PTN dan PTS di Bandung.
Saat lulus SMA pada 2022 lalu, Rubaiah sebenarnya berniat untuk kuliah di PTN di Bandung saja, seperti teman-temannya pada umumnya. Sayangnya, perjalanan Rubaiah tak semulus teman-temannya yang lain. Ia tak lolos satupun PTN di Bandung. Mencoba mendaftar PTS pun hasilnya sama. Alhasil, Rubaiah sempat tak berhasarat unuk lanjut kuliah.
Sampai akhirnya, seorang teman akrab Rubaiah mengajaknya mendaftar di salah satu PTN di Padang. Rubaiah sebenarnya mendaftarnya dengan ogah-ogahan. Penolakan demi penolakan membuatnya menjadi pesimis.
Namun, kata Rubaiah, nasib memang penuh dengan kejutan. Ia keterima di salah satu PTN di Padang tersebut. Ia keterima di program studi Sastra Indonesia.
“Aku sama sekali nggak tahu tentang Padang. Tapi setelah diskusi dengan keluarga dan pertimbangan daripada nggak kuliah, ya sudah aku akhirnya berangkat,” ujar Rubaiah saat Mojok hubungi, Selasa (2/3/2024) siang WIB.
Plonga-plongo kuliah di Padang
Sebagai orang Bandung yang kuliah di Padang, tentu tidak mudah bagi Rubaiah. Lebih-lebih ia sangat minim pengetahuan tentang Padang. Tak ada kerabat pula di sana. Ia benar-benar harus beradaptasi sendiri sejak awal menginjakkan kaki di kota tersebut.
Dalam perkuliahan kerap kali Rubaiah menjadi plonga-plongo lantaran banyak dosen yang membahas mengenai Sumatera Barat. Apalagi kalau ada teman atau dosen yang menggunakan bahasa Minang, Rubaiah jadi mempertanyakaan keputusannya untuk kuliah di Padang.
“Jujur, semester pertama sangat berat untuk dilalui. Perbedaan kultur di kampung halaman dan disini sangat terasa, sehingga saya harus ekstra untuk beradaptasi,” ujarnya.
Belum lagi perbedaan-perbedaan lain seperti cuaca, di mana Padang tentu lebih panas ketimbang di Bandung. Perbedaan tersebut jelas membuat Rubaiah agak tersiksa. Lalu soal makanan yang mana lidah Rubaiah masih sulit menerima makanan-makanan Padang.
“Mana selama empat semester ini nggak nemu seblak lagi,” ucap Rubaiah.
“Culture shcok juga dengan suara orang-orang yang cenderung pakai nada tinggi. Awalnya kupikir kasar dan emosian. Ternyata nada bicaranya memang seperti itu,” sambung perempuan asli Bandung tersebut.
Tersiksa setiap hendak pulang ke Bandung
Jarak yang membentang begitu jauh antara Bandung-Padang pun turut membuat Rubaiah merasa tersiksa. Sebab, dengan jarak tempuh sejauh itu, ia akhirnya tak bisa leluasa untuk pulang kampung.
Ia hanya bisa pulang di momen libur semester atau libur lebaran saja. Itu pun masih tak pasti karena mempertimbangkan ongkos yang cukup mahal.
Sekali bisa pulang, Rubaiah yang sering memilih jalur darat: naik bus dari Padang ke Bandung (juga sebaliknya) harus mengalami “siksaan perjalanan” yang membuatnya lagi-lagi menyalahkan keputusannya kuliah di Padang.
“Perjalanan dua hari dalam bus membuat badanku terasa remuk,” keluh Rubaiah.
“Terus kalau sudah di kapal, rasanya nggak tahan. Kepala pusing, akhirnya muntah,” sambungnya.
Penderitaan pulang kampung dari Padang ke Bandung tersebut, kata Rubaiah, masih terus berlanjut. Sebab, setiba di Bandung pun ia masih harus melewati perjalanan panjang lagi untuk sampai di kampung halamannya di ujung Bandung Barat.
“Aku harus naik ojek dua kali untuk sampai di rumah,” jelas Rubaiah.
“Sudahlah badan remuk dua hari dalam bus, ditambah dua kali naik ojek dengan durasi dua jam. Jalanan yang aku lewati nggak mulus pula,” bebernya.
Tetap ingin tuntaskan kuliah di Padang
Hingga empat semester ini, sudah tak terhitung berapa kali Rubaiah menyesali keputusannya kuliah di Padang dan berpikir untuk berhenti saja; balik ke Bandung.
Ia sudah tidak tak tahan. Apalagi ia merasa jarak Padang-Bandung yang kelewat jauh itu membuatnya kehilangan banyak momen penting bersama keluarga dan orang-orang terdekat.
“Aku sangat sedih ketika harus melewatkan hari bahagia saudara dan teman misalnya ketika mereka menikah. Aku cuma bisa melihat foto aja,” gerutu Rubaiah.
Rubaiah akan merasa sangat-sangat sedih jika berkaitkan dengan sang adik. Rubaiah merasa nyesek karena harus berpisah dengan sang adik yang saat ini masih berusia dua tahun. Ia merasa kehilangan momen penting melihat sang adik tumbuh dan berkembang.
“Tetapi, mau bagaimana lagi, berhenti di tengah jalan malah membuat semakin rumit,” ungkap Rubaiah.
Oleh karena itu, Rubaiah saat ini masih terus mencoba membetah-betahkan diri kuliah di Padang. Ia bertekad akan menuntaskan apa yang ia pilih tersebut. Meski sesekali sambil menyesal dan menganggapnya sebagai keputusan yang salah.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News