Bagi Rofiq (26), salah satu mahasiswa UNY yang baru saja lulus, tak ada pilihan lain kecuali melipir dari keramaian saat prosesi wisuda. Menurutnya, tradisi perayaan kelulusan itu seolah tak ada artinya lagi, selain hanya untuk menyenangkan kedua orang tuanya yang ingin melihat dia rampung kuliah.
Di tengah keramaian acara wisuda UNY, Sabtu (24/2/2024), mahasiswa Fakultas Bahasa, Seni dan Budaya (FBSB) ini justru terlihat menyendiri di sudut teras Museum Pendidikan Indonesia (MPI). Fyi, tempat dia duduk, tepat di belakang Rektorat UNY, lokasi di mana ribuan orang berselebrasi dan berfoto.
Awalnya, saya sempat ragu buat mendatangi Rofiq. Takut mengusik me time dia, pikirku dalam hati. Namun, melihatnya mengeluarkan sebatang rokok dan membakarnya, akhirnya saya ada alasan untuk sekadar menyapa dan berbasa-basi.
Rofiq, yang tak mengendaki Mojok menulis nama lengkapnya, merupakan mahasiswa UNY angkatan 2016. Kelulusan, bagi dia, adalah mukjizat mengingat ia sebenarnya sudah mepet di batas maksimal studi 14 semester.
Begitupun wisuda hari itu, satu momen pun tak ada yang terbayang di benaknya akan terjadi. “Aku ini sebenarnya udah niat drop out saja. Tapi lanjut lagi demi orang tua,” kata wisudawan UNY itu.
Sudah niat berhenti kuliah, tapi lanjut lagi dengan setengah terpaksa
Pada 2022 lalu, Rofiq sengaja tak mendaftar ulang. Padahal, beberapa temannya sedang giat-giatnya mengerjakan skripsi. Sebagian lagi malah sudah lulus.
Namun, ia sudah kehilangan semangat kuliah karena menganggapnya tak menarik lagi. Terlebih, sepanjang pandemi Covid-19 ia berkali-kali dikecewakan kampus, salah satunya upaya penurunan UKT yang menemui kegagalan. Sejak semester sebelumnya pun ia sama sekali tak hadir ke kampus meski sudah setor judul skripsi.
“Kuliah udah enggak menarik. Teman angkatan sudah enggak ada, harus bayar mahal pula. Ujung-ujungnya lulus pun jadi guru,” ujar alumnus UNY ini, amat menohok.
Saat tidak kuliah itulah dia mengambil pekerjaan sebagai freelance desainer grafis, sesuatu yang amat ia cintai. Rofiq mengaku membuat banyak desain kaos, ilustrasi untuk event, bahkan memenangkan beberapa sayembara dari tangan kreatifnya.
Meskipun amat menikmati masa-masa bebas itu, orang tuanya mewanti-wanti Rofiq buat menamatkan studinya. Alasannya sederhana, tapi cukup bikin emosional hingga bikin deep talk keluarga kecil penuh derai air mata.
“Ibu bilang kalau dia sudah tua, usia hanya Tuhan yang tahu. Katanya, ia ingin lihat anak-anaknya lulus sarjana,” kisahnya.
Rofiq bagai tersambar petir. Kalau sudah begini, tak ada pilihan lain selain lanjut kuliah. Secara teknis, ia masih ada dua semester lagi agar mission completed. Kalau setahun itu gagal, artinya dia akan DO dan pupuslah harapan kedua orang tuanya.
Mahasiswa UNY ini mengerjakan skripsi setengah mati
Tak menginjakkan kaki di UNY selama setahun lebih, nyatanya bikin Rofiq mengalami culture shock. Salah satunya, yang ia anggap paling lucu sekaligus menyebalkan, dia harus berada sekelas dengan mahasiswa baru di mata kuliah yang mengulang.
“Bisa kamu bayangkan, saya paling tua di situ. Mereka baru lulus SMA sementara saya udah om-om,” kelakarnya. Jujur, ada perasaan minder dan malu. Apalagi kalau tugas kelompok, Rofiq serasa menjadi abang-abangan.
Namun, yang bikin Rofiq lebih mengkis-mengkis lagi sebenarnya saat mengerjakan skripsi. Bagaimana tidak, tugas akhirnya ini dia kerjakan dengan setengah hati. Mulai dari saat pemilihan tema dan judul, meriset, hingga menulis, kata Rofiq, “yang penting rampung, bagus jelek belakangan”.
Karena tak ada persiapan matang itu akhirnya dia cukup kesulitan. Apalagi semua serba dia kerjakan sendiri. Rofiq juga mengaku bukan tipe mahasiswa yang pandai menulis. “Kalau disuruh menggambar, 100 halaman pun aku bikin,” kata mahasiswa UNY ini.
Sudah mengerjakannya ngos-ngosan, dosen yang membimbingnya pun tipikal killer. Rofiq, yang dianggap sudah ketinggalan jauh, selalu merasa selalu diburu-buru saat mengerjakan. Kalau saja tidak ingat wajah ibunya yang dulu nangis-nangis, rasanya dia ingin berhenti saja.
Butuh ganti semester lagi baginya untuk menuntaskan tugas akhir itu. Amat mepet, sudah di jurang DO. Apapun hasilnya, berapapun nilainya, skripsi yang rampung ini bikin dia bernapas lega.
Baca halaman selanjutnya…
Mahasiswa UNY ini punya beberapa alasan mengapa dia enggan mengabari teman-temannya saat wisuda.