Pepatah mengatakan, untuk mendapatkan beasiswa paling tidak harus memenuhi satu dari dua syarat: pintar banget atau miskin banget. Jika berada di tengah-tengah, niscaya sulit mendapatkannya. Kenyataan pilu ini kerap dialami banyak mahasiswa dengan latar belakang orang tua PNS. Sudah beasiswa tak mereka dapat, uang kuliah pun selangit.
Tak hanya diskriminasi dari pihak kampus, teman kuliah pun banyak yang beranggapan kalau anak PNS selalu hidup berkecukupan. Padahal, kenyataannya mereka kudu hidup montang-manting karena sering berkekurangan.
Kondisi itu Rani (23) alami. Mahasiswa Jogja asal Magelang, Jawa Tengah yang tengah menuntaskan skripsinya ini berasal dari latar belakang keluarga PNS–yang serba kekurangan. Ibunya adalah seorang guru PNS yang sudah menjanda selama tujuh tahun. Ayahnya meninggal 2016 lalu. Sejak saat itu, ibunya harus banting tulang sendirian menghidupi dia dan adiknya yang sejak tahun lalu kuliah di salah satu PTN Jogja.
Mahasiswa Jogja ini dapat UKT tinggi yang tak sesuai kondisi keuangan keluarga
Saat menjadi mahasiswa baru prodi kependidikan pada 2019 lalu, Rani mendapat uang kuliah tunggal (UKT) golongan VI. Uang yang harus ia bayar tiap semesternya cukup tinggi, yakni sejumlah Rp4.235.000.
Menurut Rani, angka itu tentu membebani ibunya. Bagaimana tidak; meski seorang PNS, ibunya hanya mendapat upah sekitar Rp3,2 juta per bulan (golongan IIIC). Rani juga tahu kalau ibunya masih punya beberapa pinjaman dan tanggungan lain. “Jangan salah, momen bayar UKT itu juga horor lho buatku,” kata mahasiswa Jogja ini.
Jangankan buat bayar UKT, untuk sehari-hari saja Rani kudu ekstra prihatin. Misalnya saja, ia terpaksa ngekos di sekitar kampus meski jarak dari rumahnya di Magelang sekitar 30 menit. Alasannya, di rumahnya hanya ada dua motor. Satu untuk ibunya pergi bekerja, dan satunya lagi buat adiknya yang baru masuk SMA.
“Padahal kalau aku laju pun masih bisa. Lebih ngirit karena nggak perlu bayar kos. Tapi aku ngalah aja buat adik,” ujarnya.
Selain itu, uang jajan yang ia terima pun juga amat terbatas. Alhasil, tiap akhir pekan Rani harus menyempatkan pulang untuk “perbaikan gizi” dan menyetok ulang beberapa kebutuhannya selama di kos. “Seminggu sekali ngambil beras dari rumah, biar lebih ngirit.”
Mahasisiwa Jogja ini sulit mendapatkan beasiswa karena anak PNS
Selain UKT tinggi, hal lain yang Rani rasa tidak adil adalah sulitnya mendapat beasiswa. Padahal, beasiswa bisa menjadi cara buat meringankan beban ibunya.
Sejak menjadi mahasiswa baru, ia sudah coba mendaftar ke banyak program beasiswa, baik yang negeri maupun swasta. “Tapi selalu gagal karena penghasilan orang tuaku masuk kategori yang mampu,” katanya.
Mahasiswa Jogja ini juga ingat betul, ketika masih SMA, dia bilang ke guru BK-nya untuk mendaftar beasiswa bidikmisi. Namun, niatnya itu mereka tolak mentah-mentah. Bahkan jadi bahan tertawaan seisi ruangan. “Katanya ‘ngapain anak PNS daftar bidikmisi’, suruh kasih kesempatan ke yang beneran miskin.”
Saat memasuki semester dua perkuliahan, Rani kembali mencoba peruntungan dengan mendaftar beasiswa swasta atas rekomendasi seniornya di UKM. Kebetulan, IPK-nya cukup untuk mendaftar; meski tak bagus-bagus amat, setidaknya memenuhi standard. Bahkan, kalau membandingkannya dengan dua teman sekelasnya yang juga ikut mendaftar, nilai Rani sebenarnya paling bagus.
“Tapi waktu pengumuman, aku ditolak. Mereka malah menerima kedua temanku tadi,” kata Rani. “Kata seniorku yang mendampingi pendaftaran beasiswa, aku gagal karena gaji orang tua terlalu tinggi. Sementara teman-temanku ini pada ngisi penghasilan Rp700-800 ribu sebulan. Entah bohong apa beneran itu”
Kegagalan-kegagalan ini bikin Rani kapok mendaftar beasiswa lagi. Baginya tak ada gunanya karena sudah pasti dia akan tertolak juga.
Sering iri dengan mahasiswa penerima beasiswa yang bisa foya-foya
Rani sebenarnya sudah mencoba lapang dada, menerima kenyataan kalau dirinya susah mendapatkan beasiswa. Namun, yang sering bikin dia dongkol adalah fakta di lapangan bahwa penerima beasiswa ternyata enggak semua tepat sasaran.
Misalnya, beberapa teman sekelasnya ada yang sebenarnya tajir. Rani tahu betul apa pekerjaan orang tua mereka, kira-kira berapa besar penghasilannya. Uniknya, mereka ini malah menerima beasiswa bidikmisi. UKT mereka nol rupiah, tiap bulan pun dapat uang saku.
Sialnya adalah, beberapa di antara mereka ada yang bercerita pakai data palsu buat daftar beasiswa. “Bahkan mereka ini terang-terangan, lho. Bilang penghasilan orang tua kecil, pakai foto rumah tetangga buat daftar bidikmisi, dan diterima. Padahal aslinya tajir banget,” ujar Rani.
Yang bikin ia semakin kesal, teman-temannya ini menggunakan uang beasiswa buat foya-foya. Tak sedikit yang langsung membeli ponsel baru dari uang hasil bidikmisi.
“Aku enggak lagi membicarakan penerima bidikmisi yang benar-benar membutuhkan. Aku tahu kok, ada yang tepat sasaran. Tapi, ada juga yang sebenarnya tajir tapi dapat, seperti teman kelasku ini.”
Berusaha meringankan beban ibunya tapi selalu dilarang
Meski hidup dengan penuh keterbatasan, Rani bilang kalau sebenarnya ia tak ingin sepenuhnya berpangku tangan. Saat masih kuliah, ia beberapa kali bekerja secara paruh waktu di tanpa sepengetahuan ibunya. “Begitu ibu tahu langsung dimarah-marahin. Kata dia suruh fokus belajar aja,” ujar mahasiswa Jogja ini.
Bahkan, pada 2022 lalu Rani memutuskan menunda skripsinya dan memilih cuti untuk bekerja. Kepada ibunya ia mengaku sedang ingin istirahat dari hiruk-pikuk perkuliahan. Ibunya pun mengizinkannya cuti.
Padahal, sekali lagi, tanpa sepengetahuan ibunya, Rani bekerja di sebuah toko percetakan dan sablon kaos milik temannya. “Pas udah berhenti baru ngaku sama ibu. Tetap marah-marah. Tapi apapun itu aku cuma pengen meringankan bebannya.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News.