Seorang kawan pernah bercerita, ia selalu menangis setiap kali mudik. Bukan karena bahagia, melainkan karena setiap kali pulang ia merasa ditinggalkan. Rumahnya masih berdiri, orang tuanya masih ada, tapi suasananya tak pernah lagi sama.
Riset lain menguatkan perasaan semacam itu. Menurut penelitian Adinda Barwin dkk. berjudul “The Effect of Sense of Belonging on Homesickness in Rantau Students in Makassar City” (2024), menemukan bahwa sense of belonging berpengaruh secara signifikan terhadap homesickness. Artinya, perantau yang merasa punya ikatan emosional yang kuat dengan lingkungan baru cenderung lebih sedikit mengalami rasa kehilangan terhadap rumah asa.
Meskipun subjek penelitian tersebut adalah mahasiswa rantau di Makassar, fenomena itu sejatinya universal: pulang ke rumah tidak otomatis berarti kembali pada rasa memiliki yang sama.
Menghargai akar, merawat nostalgia
Penelitian Setiawan dan Wibisono dalam Jurnal Sosiologi Reflektif (2017) mencatat bahwa mudik tidak sekadar perjalanan fisik, melainkan ritus identitas yang menghubungkan perantau dengan kampung halaman, meskipun jarak emosional kadang membuatnya penuh ambiguitas. Pulang adalah negosiasi antara diri lama dengan diri baru, antara nostalgia dengan kenyataan.
Barangkali cara terbaik untuk berdamai dengan rasa asing itu adalah dengan memaknai ulang nostalgia. Alih-alih menjadikannya penjara, kita bisa melihatnya sebagai jembatan.
Seperti ditulis Svetlana Boym dalam The Future of Nostalgia (2001), kerinduan akan masa lalu bukanlah undangan untuk kembali, melainkan peringatan bahwa kita pernah memiliki.
“Nostalgia bisa menuntun kita menghargai akar, tapi ia tidak bisa membawa kita pulang ke kondisi yang identik,” tulisnya.
Mengakui bahwa perubahan adalah keniscayaan juga bisa membantu. Kita berubah, lingkungan berubah, hubungan sosial pun ikut berubah. Alih-alih mencari rumah lama yang tak lagi ada, kita bisa membangun makna baru dari rumah yang sekarang.
Rumah mungkin tidak lagi sebatas bangunan atau lokasi geografis. Rumah bisa berarti orang-orang yang menerima kita, momen kebersamaan yang hangat, atau sekadar perasaan bahwa kita dikenali.
Saya teringat kata-kata penyair Warsan Shire: “Home is not always a place, it is sometimes a person.”
Rumah, pada akhirnya, bukan hanya soal pulang ke alamat tertentu, tetapi soal merasa diterima, dikenali, dan dirangkul. Maka ketika rumah tak lagi sama, mungkin bukan berarti kita kehilangan rumah. Bisa jadi, kita sedang dipanggil untuk menemukan arti rumah yang baru—di antara perubahan, di dalam diri sendiri, atau pada orang-orang yang tetap menyisakan ruang untuk kita.
Pulang, dengan segala rasa asingnya, justru menjadi kesempatan untuk memahami bahwa rumah bukan tempat untuk kembali, melainkan ruang yang terus kita maknai ulang.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kisah Keluarga dari Jogja Merantau ke Magelang, 53 Tahun Tinggal di Tengah Hutan Terpencil di Perbukitan Borobudur atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












