Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Catatan

Duka Setelah Merantau: Ketika Rumah Menjadi Tempat yang Asing untuk Pulang

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
16 September 2025
A A
pulang ke rumah, merantau.MOJOK.CO

Ilustrasi - Duka Setelah Merantau: Ketika Rumah Menjadi Tempat Asing untuk Pulang (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Saya masih ingat perjalanan pulang setelah dua tahun merantau. Itu tahun 2021. Dan, sudah sejak 2018 saya belum bertemu lagi dengan keluarga di rumah.

Sepanjang jalan, bayangan kampung halaman tak henti-hentinya muncul di kepala. Saya membayangkan aroma tanah basah selepas hujan, suara bising gergaji mesin tetangga, atau tawa anak-anak kecil yang suka bermain di halaman rumput setiap sore. 

Dalam ingatan itu, semuanya terasa hangat. Ada kerinduan yang menebal, seolah-olah dengan pulang, saya bisa mengisi kembali rongga kosong yang ditinggalkan jarak.

Namun, begitu kaki menjejak halaman rumah, ada sesuatu yang berbeda. Warung kecil Mbah Tini, tempat saya biasa membeli gorengan tiap malam, sudah lama tutup, digantikan bangunan pabrik plastik dengan pekerjanya tak saya kenali.

Jalan yang dulu penuh lubang dan debu, kini mulus beraspal, yang malah membuatnya terasa seperti jalan kota yang asing. Bahkan kamar saya sendiri tak lagi seperti dulu: dipenuhi kardus dan perabot tak terpakai, lebih menyerupai gudang ketimbang ruang yang pernah jadi tempat saya menaruh mimpi-mimpi remaja.

“Kemana ya poster-poster band metal yang dulu pernah kupasang di sini,” tanyaku dalam hati.

Saat duduk di ruang tamu, saya merasa seperti tamu di rumah sendiri. Dindingnya masih sama, tetapi ada rasa hampa yang sulit dijelaskan. Obrolan keluarga mengalir, tapi saya lebih banyak diam, menyadari betapa saya tak lagi sepenuhnya menjadi bagian dari ritme di dalamnya.

Perasaan lega karena pulang tak benar-benar datang. Yang ada justru kerinduan baru—rindu pada rumah yang sudah hilang, rindu pada versi diri saya yang dulu hidup di sana.

Dua sisi nostalgia

Pengalaman semacam ini ternyata tidak hanya saya alami. Banyak perantau, baik mahasiswa di kota besar, pekerja migran, atau diaspora yang kembali setelah puluhan tahun, sering merasakan hal serupa. Mereka pulang ke rumah, tapi merasa rumah itu tak lagi pulang kepada mereka.

Psikolog Constantine Sedikides dan Tim Wildschut pernah menulis esai berjudul “Conceptual Issues and Existential Functions” dalam salah satu bab buku Handbook of Experimental Existential Psychology (2004).

Kata mereka, “Nostalgia adalah jangkar yang membuat identitas kita tetap stabil, meskipun dunia di sekitar berubah.” Nostalgia bekerja seperti pengingat bahwa kita pernah punya rumah, keluarga, dan kebiasaan yang melekat. Ia bisa memberi rasa hangat, mengurangi kesepian, bahkan memperkuat makna hidup.

Namun, nostalgia juga punya sisi pahit. Ketika ekspektasi masa lalu itu berhadapan dengan realitas yang berubah, benturan bisa menimbulkan kehilangan ganda: kehilangan atas masa lalu, sekaligus kehilangan karena masa kini tidak sesuai harapan. 

“Nostalgia memang memberi penghiburan, tetapi juga bisa mengundang rasa sakit ketika kenyataan tidak sejalan dengan ingatan,” tulis Sedikides dan Wildschut.

Rasa asing itu dalam dunia psikologi sering disebut “alienasi”. Ia muncul ketika tempat yang dulu akrab tiba-tiba terasa jauh, atau ketika diri kita yang baru tidak lagi cocok dengan lingkungan lama. 

Iklan

Maurice Eisenbruch dalam Social Science & Medicine (1991) menyebut pengalaman ini sebagai cultural bereavement. Menurutnya, migran sering kali merasa seolah-olah mereka kehilangan rumah, bahasa, bahkan sebagian jiwanya. Duka budaya ini membuat seseorang seperti hidup di antara dua dunia, tanpa bisa sepenuhnya pulang ke salah satunya.

Saya merasakannya ketika kembali bercakap dengan teman masa kecil. Obrolan kami terasa janggal: dia sibuk mengurus anak dan pekerjaannya, sementara saya terbiasa berbicara soal kehidupan kota, dunia digital, politik, dan isu-isu yang terdengar asing baginya. 

Wajahnya sama, tetapi percakapan itu seolah mempertemukan dua orang yang benar-benar berbeda. Dari situ saya menyadari: yang asing bukan hanya tempat, melainkan juga jarak di antara diri kami yang lama dengan diri kami yang sekarang.

Banyak perantau merasa asing saat pulang ke rumah

Fenomena ini makin terasa ketika mudik Lebaran. Pulang kampung adalah perayaan besar: jalanan macet, stasiun penuh, bandara sesak, semua demi kembali ke kampung halaman.

Data dari Kementerian Perhubungan mencatat, pada arus mudik 2025 terdapat lebih dari 155 juta pergerakan orang di seluruh Indonesia. Angka itu menunjukkan betapa kuatnya ikatan emosional masyarakat pada tradisi pulang, meski ongkos, jarak, dan waktu yang dikorbankan tidak sedikit.

Bagi banyak orang, mudik adalah nostalgia kolektif—merangkul keluarga, mencium tangan orang tua, dan kembali pada akar budaya.

Namun di balik euforia itu, ada lapisan sunyi: jalan kampung yang kini dipenuhi bangunan permanen, sawah yang dulu terbentang kini jadi perumahan, bahkan suasana rumah sendiri yang terasa sempit setelah terbiasa hidup di rantau. Tak jarang, pulang justru menegaskan betapa jauhnya jarak antara diri kita yang dulu dengan diri kita sekarang.

Seorang kawan pernah bercerita, …

Baca halaman selanjutnya…

Rumah bukan hanya soal pulang ke alamat tertentu, tetapi soal merasa diterima, dikenali, dan dirangkul.

Halaman 1 dari 2
12Next

Terakhir diperbarui pada 17 September 2025 oleh

Tags: alienasiasing di rumahMudiknostalgiapilihan redaksipulang ke rumahrumah
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

Elang Jawa terbang bebas di Gunung Gede Pangrango, tapi masih berada dalam ancaman MOJOK.CO
Ragam

Balada Berburu Si Elang Jawa, Predator Udara Terganas dan Terlangka

19 Desember 2025
elang jawa.MOJOK.CO
Ragam

Mempertaruhkan Nasib Sang Garuda di Sisa Hutan Purba

18 Desember 2025
Drama sepasang pekerja kabupaten (menikah sesama karyawan Indomaret): jarang ketemu karena beda shift, tak sempat bikin momongan MOJOK.CO
Ragam

Menikah dengan Sesama Karyawan Indomaret: Tak Seperti Berumah Tangga Gara-gara Beda Shift Kerja, Ketemunya di Jalan Bukan di Ranjang

17 Desember 2025
Elang Jawa terbang bebas di Gunung Gede Pangrango, tapi masih berada dalam ancaman MOJOK.CO
Aktual

Elang Jawa Terbang Bebas di Gunung Gede Pangrango, Tapi Masih Berada dalam Ancaman

13 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Pulau Bawean Begitu Indah, tapi Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri MOJOK.CO

Pengalaman Saya Tinggal Selama 6 Bulan di Pulau Bawean: Pulau Indah yang Warganya Terpaksa Mandiri karena Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri

15 Desember 2025
Berantas topeng monyet. MOJOK.CO

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

15 Desember 2025
Safari Christmas Joy jadi program spesial Solo Safari di masa liburan Natal dan Tahun Baru (libur Nataru) MOJOK.CO

Liburan Nataru di Solo Safari: Ada “Safari Christmas Joy” yang Bakal Manjakan Pengunjung dengan Beragam Sensasi

20 Desember 2025
Gedung Sarekat Islam, saksi sejarah dan merwah Semarang sebagai Kota Pergerakan MOJOK.CO

Upaya Merawat Gedung Sarekat Islam Semarang: Saksi Sejarah & Simbol Marwah yang bakal Jadi Ruang Publik

20 Desember 2025
Sirilus Siko (24). Jadi kurir JNE di Surabaya, dapat beasiswa kuliah kampus swasta, dan mengejar mimpi menjadi pemain sepak bola amputasi MOJOK.CO

Hanya Punya 1 Kaki, Jadi Kurir JNE untuk Hidup Mandiri hingga Bisa Kuliah dan Jadi Atlet Berprestasi

16 Desember 2025
Atlet panahan asal Semarang bertanding di Kota Kudus saat hujan. MOJOK.CO

Memanah di Tengah Hujan, Ujian Atlet Panahan Menyiasati Alam dan Menaklukkan Gentar agar Anak Panah Terbidik di Sasaran

19 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.