Jalan rute Tuban-Jombang tak rata dan berkelok
Saya dan istri cukup bisa menangani kondisi panas dalam bus. Meski rasanya seperti diungkep. Namun, kondisi jalanan rute Jombang-Tuban nyaris membuat kami kalah, seiring satu-dua penumpang yang mulai “bertumbangan”.
Dulu saat naik bus Bagong, bus melaju lamban. Sehingga kontur jalan yang tak rata tak membuat penumpang terguncang-guncang.
Sementara Rabu (2/4/2025) itu, bus Widji yang kami tumpangi melaju cukup kencang untuk jalanan sesempit itu. Apalagi jalanannya tidak ramai-ramai amat. Sehingga bisa lebih leluasa.
Efeknya, kontur jalanan rute Tuban-Jombang begitu terasa. Tubuh para penumpang diguncang-guncang tanpa henti. Sesekali ketika roda bus melibas gelombang besar, guncangan makin keras, membuat para penumpang kompak beteriak dan mengeluh.
Belum lagi ada sangat banyak kelokan di rute ini. Bus terasa goyang kanan-goyang kiri berkali-kali.
Ketika bus Widji memasuki Ngimbang, Lamongan—ketika guncangan terasa makin parah—seorang penumpang terdengar mual. Di depan kami persis, seorang penumpang juga mengeluh mau muntah. Penumpang yang duduk di sampingnya langsung mengoles-oleskan minyak kayu putih di tengkuk, perut, dan dahinya.
Guncangan bus membuat perut seperti dikocok. Wajar jika isi perut lantas memberontak keluar. Ditambah kelokan demi kelokan yang membuat kepala jadi pening.
Saya dan istri bernasib sama. Kepala terasa berat sekali. Begitu juga perut yang mulai terasa mules. Solusinya, kami mencoba bergantian tidur. Tidak lucu kalau sampai muntah.
Kondektur bus galak
Sejauh pengalaman saya naik bus, rasa-rasanya hanya bus jalur selatan (Surabaya-Jogja) yang cenderung lebih enak diajak ngobrol. Jarang marah-marah. Lebih sering bercanda.
Beda misalnya di pantura (Surabaya-Semarang). Jangan harap ada keramahan di sana. Pantura kelewat keras.
Ketidakramahan ternyata saya dapati juga di level bus AKDP seperti bus Widji rute Tuban-Jombang. Sedari kami naik, setiap ada penumpang masuk, si kondektur dengan galak meminta penumpang terus ke tengah. Biar tidak usel-uselan di belakang.
Tak hanya itu. Sepanjang perjalanan, tak terhitung pula terjadi saling bentak antara sopir dengan si kondektur.
Misalnya, ketika sopir melihat calon penumpang, maka dia meminta kondektur untuk mengangkut. Sementara karena kondektur tahu bus sudah penuh sesak, sontak saja dia marah-marah: mau dijejal kayak bagaimana lagi?
Motoran lebih menyenangkan
Saat masih merantau di Surabaya, saya cukup sering motoran di rute Tuban-Jombang. Tentu saja terasa jauh lebih menyenangkan ketimbang naik bus Bagong atau Widji.
Motor bisa meliuk-liuk secara leluasa. Bisa memilah jalan bergelombang atau tidak. Tidak perlu berdesak-desakan pula.
Jika motoran siang, panas menyengat mungkin akan terasa di titik-titik keramaian seperti Pasar Babat, Pasar Ngimbang, dan Ploso. Tapi sesekali kawasan hutan memberikan oase karena semilir anginnya langsung bersentuhan dengan tubuh.
Motoran pun tak perlu khawatir kehabisan bensin. Karena jarak antar-pom bensin di rute Tuban-Jombang tidak merentang jauh. Mungkin agak waswas jika ban bocor. Karena jarak antar-tukang tambal ban cenderung jauh.
Saya terbangun ketika bus memasuki Ploso, Jombang. Di luar panas menyala. Di dalam bus sumuk menyengat.
“Tadi coba nggak ke Jombang. Kan enak tidur di rumah, seger pakai kipas angin. Nggak perlu panas-panasan dan desak-desakan gini,” seloroh seorang bapak pada anaknya.
“Ayo pulang aja, Yah,” timpal si anak dengan wajah lelah. Sisa perjalanan menuju Terminal Jombang itu akhirnya berisi rintihan dari si anak yang merengek agar pulang saja ke Babat.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Apes saat Naik Bus Eka dan Sumber Selamat, Lengah Dikit Dompet hingga Laptop Lenyap Ditukar Batu Bata atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












