Arifin (29) merasa amat gondok. Padahal, awalnya dia sangat antusias dengan pengumuman upah minimum provinsi (UMP) di Provinsi DIY 2025 akan naik. Namun, setelah mengetahui angkanya, dia merasa seperti tak ada yang berubah.
“Hampir sepuluh tahun jadi buruh di Jogja. Nggak pernah ngerasain yang namanya ‘dapat gaji’. Teman-temanku di Jabar, sama-sama buruh, udah ada yang empat, lima, atau enam juta, lah aku stuck di dua juta nggak kemana-kemana,” kesalnya saat Mojok temui, Kamis (12/12/2024).
“Kalau ditanya apa pengen keluar Jogja, ya pengen. Tapi nggak bisa ninggalin keluarga di sini. Makanya coba berdamai aja sama gaji yang nggak kemana-kemana,” imbuhnya.
View this post on Instagram
Per Rabu (11/12/2024) kemarin, Pemda DIY mengumumkan penetapan UMP untuk tahun 2025 mendatang. Pengumuman ini merupakan tindak lanjut dari Permenaker Nomor 16 Tahun 2024 yang terbit seminggu sebelumnya.
Dalam Permenaker tersebut, dijelaskan nilai kenaikan UMP 2025 adalah sebesar 6,5 persen dari UMP tahun sebelumnya. Dengan demikian, angka ini juga berlaku dalam penetapan upah minimum di DIY.
“Besaran upah minimum provinsi Tahun 2025, ditetapkan sebesar Rp2.264.080,95. Mengalami kenaikan sebesar 6,5 persen atau sebesar Rp138.183,34,” kata Sekda DIY Beny Suharsono dalam penetapannya.
Penetapan UMP DIY 2025 sendiri tertuang dalam Keputusan Gubernur DIY Nomor 477/KEP/2024 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi Tahun 2025 dan Keputusan Gubernur DIY Nomor 478/KEP/2024 tentang Penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi Tahun 2025.
Perhitungan kenaikan UMP tanpa dasar formula yang jelas
Buruh di Jogja sendiri mengaku kurang senang dengan kenaikan UMP DIY 2025 sebesar 6,5 persen. Anggota Serikat Merdeka Sejahtera (SEMESTA) Jogja, Bagas Damarjati, sebelum membahas soal angka kenaikan, ada masalah fundamental lain yang perlu dipertanyakan, yakni sisi prosedur.
Menurut penjelasan Bagas, Permenaker Nomor 16 Tahun 2024 telah mengatur bahwa penetapan UMP dilakukan oleh Gubernur. Harusnya sama seperti tahun-tahun sebelumnya, di mana Gubernur tetap mempertimbangkan masukan dari Dewan Pengupahan Provinsi.
“Namun tahun ini penetapan langsung serentak ditangani oleh pemerintah pusat,” jelas Bagas saat dihubungi Mojok, Kamis (12/12/2024).
Dengan demikian, imbuh Bagas, hal tersebut berarti tidak ada ketetapan hukum dalam prosedur penetapan, dan membuahkan angka 6,5 persen–sesuai ketetapan pusat.
“Yang sebenarnya kita sendiri juga tidak yakin darimana asalnya (angka 6,5 persen),” ungkapnya.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli sendiri blak-blakan terkait alasan menetapkan UMP 2025 sebesar 6,5 persen. Dia mengaku penetapan angka tersebut tanpa melalui dasar formula perhitungan yang pasti.
Menurut Yassierli, hal tersebut disebabkan karena rentang waktu pembahasan UMP yang sangat mepet karena harus ditetapkan sebelum tahun 2024 berakhir.
“Saya sering katakan ini adalah pengecualian ya, kami harus keluar dengan (kebijakan) simpel karena waktunya juga sudah mepet,” ujar Yassierli, Senin (9/12/2024) lalu, seperti dikutip Mojok.
Dengan demikian, Yassierli menyebutkan pemerintah pusat akhirnya memilih opsi untuk memukul rata kenaikan UMP sebesar 6,5 persen di semua provinsi. Hal ini untuk mengantisipasi pembahasan yang berlarut-larut di tingkat daerah terkait besaran UMP 2025.
Angka kenaikan kurang ideal
Menurut Bagas, kalau mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, bisa jadi angka 6,5 dalam kenaikan UMP DIY memang masuk akal–dari sudut pandang pemerintah.
Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi DIY tercatat 0,09 persen (mtm) atau secara tahunan mengalami inflasi sebesar 1,57 persen (yoy). Sedangkan, pertumbuhan ekonomi YoY November sekitar 5,1 persen.
Namun, menurut Bagas, serikat merasa tidak yakin dengan kenaikan 6,5 persen ini karena tidak ada alasan jelas mengenai kenaikan upah.
“Persoalan ideal atau tidaknya, tergantung bagaimana pemerintah dapat mengatur harga komponen kehidupan layak. Namun, melihat realita harga sekarang, tentu saja kenaikan ini sangat tidak ideal,” jelasnya.
PR pemda selain menaikkan UMP DIY 2025
Bagi Bagas, kenaikan UMP DIY sendiri hanya salah satu komponen pemerintah daerah untuk memberikan kepastian hidup kepada buruh di Jogja. Meski, dia jujur, “kalau cuma naik 6,5 persen, tidak bisa mencapai hidup layak.”
Dia pun juga menjelaskan bahwa ada banyak pekerjaan pemerintah yang mungkin selama ini masih belum dilakukan. Seperti misalnya, kontrol harga kebutuhan, utamanya sandang, pangan, papan, sebagai kebutuhan pokok manusia.
Belum lagi kalau membicarakan soal harga hunian di Jogja yang semakin hari semakin naik. Bagi Bagas, ini adalah PR Pemda DIY yang perlu diselesaikan selain kenaikan UMP DIY. Sebab, punya rumah hanya akan menjadi mimpi yang tidak akan tercapai jika intervensi pemerintah daerah dalam mengontrol harga properti tidak tegas.
“Mosok wong Jogja meh tinggal neng daerahe dewe kangelan, kudu tuku omah subsidi neng daerah Gunungkidul po Kulonprogo. [Masa orang Jogja mau tinggal di daerahnya sendiri saja kesusahan, harus beli rumah subsidi di Gunungkidul atau Kulonporogo],” tegasnya.
Selain hunian, PR lain yang harus segera dikerjakan adalah transportasi umum yang aksesibel (tidak hanya untuk keperluan pariwisata saja) dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh semua masyarakat Jogja, tidak cuma para investor yang punya properti sewa di kota Jogja.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News