Organisasi massa (Ormas) Muhammadiyah tengah jadi sorotan atas isu izin tambang. Jika isu tersebut benar, Muhammadiyah bisa dibilang tutup telinga atas suara-suara dari bawah, yang mendesak agar Persyarikatan tak menyusul PBNU.
***
Tempo menjadi yang paling awal menaikkan berita bahwa Persyarikatan sudah memutuskan menerima izin tambang dari pemerintah untuk ormas pada Kamis (25/7/2024). Dalam beritanya, Tempo mewawancara langsung Anwar Abbas selaku Pengurus PP Muhammadiyah.
Anwar Abbas menyebut, dalam rapat pleno Persyarikatan, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut telah memutuskan menerima izin tambang. Setidaknya begitulah kata Abbas. Tentu dengan catatan, di antaranya yakni berkomitmen untuk meminimalisir kerusakan lingkungan.
Berita Tempo yang telah tayang lebih dulu tersebut sontak membuat gempar jagad media sosial. Kata kunci “Muhammadiyah” trending topic di X. Komentar negatif memborbardir ormas berlogo matahari terbit itu. Bahkan—seperti yang PBNU alami sebelumnya—logo Muhammadiyah turut diubah dengan atribut pertambangan.
Muhammadiyah belum resmi bersikap
Satu jam usai Tempo menaikkan berita, website resmi Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah menyusul menaikkan berita dengan judul “Muhammadiyah Terima Izin Usaha Pertambangan dari Pemerintah! Apa Dampaknya?”. Namun, beberapa jam kemudian, link berita tersebut jika diklik sudah tak muncul beritanya lagi.
Ternyata, sebenarnya Persyarikatan masih belum resmi mengambil sikap. Belum ketok palu. Setidaknya begitulah keterangan dari Ketua PP Muhammadiyah, Dahlan Rais.
“Memang ada kecenderungan menerima. Tapi belum ada keputusan. Sikap orang-orang di internal masih berbeda-beda,” jelasnya kepada awak media, Kamis (25/7/2024).
Atas kegaduhan yang sudah menyebar luas, para petinggi Persyarikatan meminta publik dan awak media untuk menunggu pernyataan resmi dari Pimpinan Pusat. Jangan terburu-buru menyimpulkan seolah-olah Persyarikatan sudah fiks mengambil konsesi tambang.
Namun, saat artikel ini tayang, Persyarikatan memang belum memberi pernyataan secara resmi dan belum membocorkan kapan akan memberi pernyataan.
Tanda-tanda susul PBNU sudah terbaca sejak lama
Sejak Juni 2024 lalu, tak lama setelah PBNU mengambil izin tambang, Muhammadiyah memang menunjukkan kecenderungan akan menyusul. Bedanya dengan PBNU, Persyarikatan tidak mau buru-buru.
“Justru kalau ingin menunjukkan uswah hasanah (teladan baik), kita harus menunjukkan bahwa kita bisa. Jadi ini soal kebijakan,” ungkap Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengomentari polemik ormas mengelola tambang dalam Sidang Senat Terbuka Milad ke-21 di Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI) Kamis, (13/6/2024), seperti terdokumentasikan dalam website resmi Persyarikatan.
Dalam kesempatan tersebut Haedar menjelaskan bahwa umat Islam harus berdaya, di antaranya dengan bisa mengelola sumber daya alam sendiri. Penjelasan yang saat itu sudah terbaca sebagai tanda-tanda Persyarikatan bakal menyusul PBNU. Meski saat itu memang masih belum bersikap secara tegas.
Suara-suara yang tak terdengar ke petinggi Muhammadiyah
Sejak PBNU resmi mengambil izin tambang, meski Persyarikatan belum bersikap, sebenarnya banyak kalangan di Muhammadiyah yang mendesak agar Pimpinan Pusat menolak.
Bahkan Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) melalui website resminya secara konsisten menerbitkan tulisan-tulisan untuk mempertegas desakan tersebut.
Karena jika misalnya Muhammadiyah mengambil izin tambang, maka bertentangan dengan Keputusan Muktamar ke 44 tahun 2000 dan Muktamar ke 48 tahun 2022. Isinya secara ringkas yakni penegasan bahwa Persyarikatan menentang segala bentuk pengrusakan alam.
KHM juga menerbitkan dokumen Kertas Posisi mendesak Pimpinan Pusat menolak tambang, yang mencakup poin-poin berikut:
- Menolak kebijakan pemerintah memberikan izin kepada organisasi masyarakat keagamaan untuk mengelola pertambangan seperti ekstraksi batubara karena akan merusak alam dan organisasi masyarakat keagamaan yang seharusnya menjaga marwah sebagai institusi yang bermoral.
- Pemberian izin tambang pada ormas keagamaan, berpotensi hanya akan menjadi sumber konflik interest dan menguntungkan segelintir elit ormas, menghilangkan tradisi kritis ormas, dan pada akhirnya melemahkan organisasi keagamaan sebagai bagian dari kekuatan masyarakat sipil yang bisa mengontrol dan mengawasi pemerintah.
- Mendesak PP Muhammadiyah bersikap tegas untuk menolak kebijakan pengelolaan tambang untuk ormas keagamaan dan membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah ditawarkan pemerintahan Jokowi karena akan menjerumuskan Muhammadiyah pada kubangan dosa sosial dan ekologis.
- Mendesak PP Muhammadiyah agar kembali khittah perjuangan dan tidak menerima tawaran konsesi tambang, yang kemudian hari akan membuat Muhammadiyah terkooptasi menjadi bagian dari alat pemerintah untuk mengontrol masyarakat, serta terus mendorong penggunaan energi terbarukan.
- Meminta Muhammadiyah untuk menata organisasi secara lebih baik dan profesional dengan mendayagunakan potensi yang ada demi kemandirian ekonomi tanpa harus masuk dalam bisnis kotor tambang yang akan menjadi warisan kesesatan historis.
- Muhammadiyah untuk semua, milik banyak orang—Pimpinan Wilayah, Daerah, Cabang, Ranting hingga individu-individu yang berkhidmat pada Muhamadiyah—bukan hanya milik Pimpinan Pusat dan elite-elitnya. Kita semua punya caranya sendiri mencintai Muhammadiyah sebagai wadah untuk menjaga kelestarian lingkungan.
- Menyerukan seluruh Pimpinan Wilayah, Daerah, Cabang hingga Ranting Muhammadiyah serta seluruh elemen masyarakat untuk berkonsolidasi dan terus berupaya membatalkan peraturan yang rawan menyebabkan kebangkrutan sosial dan ekologi.
Sayangnya, KHM merasa bahwa suara-suara dari bawah tak benar-benar didengar oleh orang-orang pusat Persyarikatan.
“Nampaknya, peringatan “keras” ini tidak mendapatkan atensi lebih dari para elite Muhammadiyah. Prof. Haedar Nashir bahkan dalam artikelnya di situs Muhammadiyah.or.id berjudul “Pengaruh Ideologi Kiri LSM” melabeli gerakan yang kritis dan anti dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk dalam pengelolaan minerba, adalah LSM radikal-kiri beraliran Marxisme dan Neo-Marxisme,” keluh KHM dalam dokumen resminya baru-baru ini.
Imbas dari artikel Haedar, KHM menyebut ada sekitar 1.340 anak muda Persyarikatan dari lintas badan otonom yang bergerak bersama mendesak Pimpinan Pusat menolak tawaran tambang. Salah satunya melalui gerakan #alleyesonmuhammadiyah. Menyusul kemudian terbitanya Surat Terbuka dari Kader Berau oleh Rahmatullah Al-Barawi di KHM.
“Apakah jika Muhammadiyah menerima tambang, ini akan membuat Muhammadiyah keluar dari khittahnya sebagai organisasi kemasyarakatan dakwah amar ma’ruf nahi munkar? Sebab penambangan lebih banyak bermuara pada kemunkaran dan mafsadat daripada yang ma’ruf dan maslahat,” demikian bunyi salah satu baris kalimat dalam surat tersebut.
Ini belum termasuk suara-suara dari kader-kader Muhammadiyah lain yang mayoritas mendesak Pimpinan Pusat menolak tambang. Jika pada akhirnya ternyata menyusul PBNU, suara-suara itu seperti tak terdengar.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA: Pahitnya Jadi Anggota Banser, Tulus Berbuat Baik dan Tak Rugikan Orang tapi Kerap Dicaci Maki
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.