Gubernur Jogja, Sri Sultan Hamengku Buwono X memang telah mengeluarkan Instruksi Gubernur (Ingub) DIY Nomor 5 Tahun 2024 tentang Optimalisasi Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Namun, jika ingin benar-benar menekan peredaran miras di Jogja, agaknya Ingub saja tak cukup.
***
Sejak Juli 2024 lalu, gelombang penolakan terhadap minuman keras (miras) sebenarnya sudah mulai muncul. Saat itu, Mojok mengambil sampel penolakan yang terjadi di daerah Berbah, Sleman.
Pemicunya, banyak anak-anak usia sekolah (SMP-SMA) yang kedapatan mengonsumsi miras. Mereka bisa dengan leluasa membeli miras di outlet yang buka di tengah permukiman.
Setelahnya, gelombang penolakan miras di Sleman mulai masif disuarakan. Terutama oleh berbagai ormas Islam.
Penusukan santri Krapyak sebagai puncak kejengahan
Oktober 2024, penolakan miras menggelombang di berbagai daerah di Jogja. Kasus penusukan santri Krapyak menjadi puncak kejengahan sebagian banyak masyarakat Jogja terhadap peredaran miras.
Diketahui, pada Selasa (22/10/2024) beberapa santri Krapyak dikeroyok hingga ditusuk oleh sejumlah pemuda yang diduga dalam pengarus miras alias mabuk. Persisnya di kawasan Prawirotaman, Kota Jogja.
Peristiwa itu lantas memicu aksi damai bertajuk “Aksi Solidaritas Santri Jogja” pada Selasa (29/10/2024). Ada sekitar 11.000 massa santri yang memadati lapangan Mapolda DIY.
Mereka tak hanya mendesak agar pelaku penusukan diproses hukum, tapi juga mendesak agar penegak hukum menertibkan para penjual miras, termasuk para bekingan dan pembelinya agar kasus serupa tak terjadi lagi.
Pada Rabu (30/10/2024), Gubernur Jogja merespons dengan mengeluarkan Ingub yang mengatur inventarisasi peredaran miras, mengoptimalkan peran pemerintah daerah, hingga larangan penjualan secara daring dan pesan antar.
Atasi masalah miras di Jogja tak cukup dengan Ingub
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Derajad Sulistyo menyebut, pada dasarnya Gubernur Jogja sudah cukup responsif atas polemik miras yang berkembang di tengah masyarakat. Meskipun, bagi Derajad, respons tersebut terbilang terlambat.
Sebab, seharusnya Pemerintah Provonsi (Pemprov) DIY sudah sejak awal melakukan langkah-langkah antisipasi dalam rangka pengendalian penyebaran miras di Jogja.
Menurut Derajad, Ingub tersebut memang relevan untuk pengendalian di ranah formal. Namun, yang perlu dicatat, ranah informal seharusnya juga mendapat pengawasan khusus.
Pasalnya, ranah informal lah yang berperan besar menggerakkan industri miras di Jogja. Ingub hanya mengatur pengendalian atas industri yang tampak di permukaan. Sementara miras adalah underground economy.
“Kalau dilihat masalah miras ini tidak hanya dari jual-belinya saja, tapi sebagian besar penduduk Jogja kan bukan penduduk asli. Barang bebas masuk dari mana saja,” ujar Derajad dalam keterangan tertulisnya, Kamis (7/11/2024).
90% outlet miras di Jogja jual produk ilegal
“Ia (miras) memang underground economy, jadi sulit pengawasannya. Selain peredarannya, produknya itu sendiri juga perlu diawasi,” tutur Derajad.
“Mungkin produk yang resmi beredar bisa terdata, tapi bagaimana dengan produk oplosan, misalnya?,” sambungnya.
Keresahan Derajad itu bukan tanpa dasar. Merujuk temuan dari Polresta Yogyakarta, ada lebih dari 90% outlet miras di Jogja terbukti menjual produk ilegal.
Outlet-outlet tersebut memang telah ditutup secara massal. Akan tetapi, begitu lah gambaran gunung es industri miras di Jogja.
Jika hanya sektor formal saja yang mendapat perhatian, ada sektor-sektor informal yang tak kalah “mengerikan” dan memerlukan pengawasan khusus nan serius.
Legalkan dan pusatkan
Lebih lanjut, Derajad memberi tawaran solusi untuk pengendalian miras di Jogja. Bukan dengan menekan peredarannya, tapi mengatur penjualan miras agar terpusat.
Jual beli miras secara terpusat, terang Derajad, akan sangat membantu pemerintah mengawasi industri tersebut. Termasuk untuk mengimplementasi regulasi yang sudah berlaku.
“Sarannya saya kira justru legalkan, tapi penjualannya terpusat. Kalau begitu nanti kita bisa tahu siapa penjualnya, siapa yang beli, perputaran uangnya ke mana. Itu jelas,” ucap Derajad.
Perlu badan khusus pengawasan
Dalam penilaian Derajad, Ingub masih belum mengatur pihak yang bertanggung jawab untuk mengawasi miras secara khusus. Hal ini menyebabkan regulasi yang berlaku justru sulit diimplementasikan.
Maka, lanjut Derajad, fungsi pengawasan harus dilakukan oleh dua pihak. Pertama, elemen masyarakat perlu dilibatkan secara ad hoc. Khususnya mereka yang memiliki keahlian mengenali jenis-jenis miras yang beredar.
Pasalnya, banyak ditemukan kasus miras diracik sendiri oleh oknum-oknum tertentu dan diperjualbelikan secara bebas. Elemen masyarakat tentu akan lebih mengenal dan mengetahui distribusi dari produk miras tersebut.
Kedua, harus ada lembaga yang mampu mengawasi secara terus menerus dan berlapis. Mulai dari jenis produk sampai perputaran ekonominya.
“Perlu diawasi dari segi produknya juga. Kalau kita bicara anggur (miras) itu kan bermacam-macam kadar alkoholnya. Banyak pakar dan elemen perhotelan itu saya kira lebih tahu. Mereka juga perlu dilibatkan,” tutup Derajad.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Miras di Balik Dunia Mahasiswa, Katanya buat Bonding dan Teman Diskusi
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News