Cara terbaik untuk mengatasi bencana nasional keracunan massal hari ini adalah menutup dapur MBG dan menggantinya dengan kantin sekolah.
***
Tangis Khanifah pecah di depan ruang IGD RSUD dr. R. Koesma Tuban. Tangan kanannya menggenggam erat jemari anaknya, Hijrayatun Nasyi’in (15), yang kembali muntah-muntah setelah baru dua hari dipulangkan dari rumah sakit.
“Katanya sudah sembuh, kok sakit lagi,” lirihnya.
Di bangsal sebelah, ada siswa lain, Siti Khairun Nisa (16), yang terbaring lemas dengan gejala serupa. Sebagaimana informasi yang dihimpun Mojok, Nasyi’in dan Nisa adalah dua siswa yang keracunan setelah mengkonsumsi menu makanan yang sama: MBG.
Namun, kisah di Tuban bukanlah kejadian tunggal. Sejak Januari hingga 12 Oktober 2025, 11.566 korban diduga mengalami keracunan akibat program MBG. Bahkan, tambahan 1.084 orang lainnya hanya dalam sepekan, 6–12 Oktober 2025.
Dua provinsi baru terpapar sepanjang pekan itu. Antara lain Kalimantan Selatan (Kabupaten Banjar) dan Gorontalo (Kota Gorontalo), yang sebelumnya tak pernah mencatat kasus keracunan MBG.
Korban keracunan tidak lagi terbatas siswa sekolah. Laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bahkan menyebut guru, ibu hamil, balita, hingga anggota keluarga ikut terserang melalui makanan yang dibawa pulang atau disalurkan melalui posyandu. Kasus-kasus muncul di Bima, Ketapang, dan Timor Tengah Selatan.
Ambisi politik yang berbuah krisis nasional
MBG diluncurkan sebagai solusi nasional terhadap masalah gizi buruk. Skemanya, anak sekolah menerima paket makanan bernutrisi secara cuma-cuma. Namun ketika pengolahan, penyimpanan, distribusi, dan pengawasan gagal, makanan yang seharusnya penyelamat malah berpotensi jadi racun.
Kasus di Tuban, misalnya, menjadi ilustrasi nyata bahwa distribusi menu yang harus segera dikonsumsi, jarak antara dapur pusat ke sekolah yang jauh, dan kontrol kualitas yang lemah menjadikan titik rentan.
Sementara di banyak daerah, operasional SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) yang bertanggung jawab atas MBG sempat dihentikan menyusul dugaan pelanggaran standar keamanan pangan.
JPPI bahkan menuduh negara membiarkan dapur MBG tetap berjalan meski korban terus bertambah.
“Setiap pekan ribuan anak tumbang karena MBG, tapi negara justru membiarkan dapur-dapur tetap beroperasi. Ini bukan sekadar kelalaian, ini adalah krisis tanggung jawab publik,” ujar Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, dalam keterangannya kepada Mojok, Senin (13/10/2025).
Selain kegagalan teknis, aspek struktural menjadi titik kritis: konflik kepentingan, rancangan regulasi yang tertutup, lemahnya partisipasi publik dalam penyusunan aturan.
JPPI menyebut bahwa draf Perpres terkait MBG masih tertutup bagi masyarakat sipil. Alhasil, ia berpotensi membuka peluang “anggaran triliunan mengalir tanpa kontrol publik.”
Pelibatan kantin sekolah adalah solusi?
Di tengah desakan agar MBG dibenahi, sebuah gagasan diajukan oleh JPPI. Yakni memasukkan kantin sekolah sebagai pusat penyedia makanan, bukan kembali ke dapur besar (baca: SPPG) yang “jauh” dari mata masyarakat.
Bagi JPPI, melibatkan kantin dan usaha lokal bukan sekadar strategi teknis, melainkan langkah etis untuk menyelamatkan anak-anak dari kegagalan sistemik.
“Ketika masyarakat lokal terlibat, setiap sendok nasi yang masuk ke piring anak punya nama dan wajah di baliknya,” kata Ubaid Matraji.
Dengan melibatkan kantin sekolah, JPPI yakin potensi keracunan massal dapat ditekan. Karena pengawasan menjadi lebih dekat, rantai pasok lebih pendek, dan pelaku langsung bertanggung jawab di komunitas sekolah–bukan lagi melalui rantai proyek nasional.
Beberapa daerah juga sudah menyuarakan model ini. Di Tangerang, misalnya, pemerintah mengusulkan agar dapur sekolah dilibatkan dalam MBG agar pengawasan bisa lebih dekat dan manfaat ekonomi langsung dirasakan warga sekitar.
Mojok sendiri pernah membuat liputan soal dampak penurunan omzet kantin sekolah setelah berjalannya program MBG. Padahal, sejak lama, kantin merupakan “penyelamat” para siswa dan guru. Liputan tersebut dapat dibaca dalam artikel berjudul “Kedermawanan Ibu Kantin Sekolah, Penolong Siswa Sebelum Ada Program Makan Bergizi Gratis”
Model kantin ini juga mendapat perhatian dari DPR. Pada September 2025, Banggar DPR mengusulkan agar kantin sekolah diubah menjadi dapur MBG untuk memudahkan kontrol dan menekan risiko keracunan.
Bubarkan Dapur MBG
Program MBG memiliki niat luhur, yakni memberikan gizi bagi anak-anak. Namun, bagi JPPI, ketika ribuan anak jatuh sakit, maka kebijakan itu sudah melewati batas toleransi. Korban bukan sekadar statistik, tapi nyawa manusia.
Data menunjukkan bahwa Jawa Barat adalah provinsi dengan korban terbesar hingga 12 Oktober 2025: sekitar 4.125 orang. Kemunculan kasus keracunan di wilayah seperti NTT dan Jawa Timur, yang sebelumnya tidak masuk daftar, juga mulai melonjak. Keracunan MBG menjadi krisis nasional terbesar dalam dunia kesehatan setelah pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, JPPI mendesak agar semua dapur MBG ditutup sementara hingga audit independen selesai, dan regulasi MBG dibuka untuk partisipasi publik. Bagi Ubaid, tanpa transparansi dan akuntabilitas, masyarakat seperti berjalan di jurang eksperimen kebijakan dengan nyawa di ujungnya.
“Menjalankan program dengan ribuan korban setiap minggu adalah bentuk kelalaian sistemik yang mendekati kejahatan kebijakan,” kata Ubaid.
“Setiap sendok nasi dari MBG yang berujung keracunan adalah bukti nyata gagalnya negara menyehatkan rakyatnya,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: MBG, Hidangan Negara yang Bikin Anak-Anak Tumbang: Gratis di Piring, Mahal di Nyawa atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












