MOJOK.CO – Pernyataan kontroversial Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul baru-baru ini, dinilai telah menunjukan wajah asli DPR RI. Statemen Bambang Pacul, adalah bukti bahwa anggota DPR hanyalah hampa parpol, dan bukan wakil rakyat.
Pernyataan kontroversial itu muncul saat Bambang Pacul menjawab ajakan Menko Polhukam Mahfud MD dalam rapat dengar pendapat mengenai RUU Perampasan Aset.
Dalam rapat tersebut, Mahfud MD mengatakan, karena pemberantasan korupsi selama ini sulit, ia meminta agar Bambang mendukung UU Perampasan Aset. Namun, Bambang Pacul menjawab bahwa keputusan anggota DPR hanya tergantung pada ketua partai.
“Saya terang-terangan ini. Mungkin RUU Perampasan Aset bisa [disahkan], tapi harus bicara dengan para ketua partai dulu. Kalau di sini nggak bisa, Pak,” kata Bambang dalam rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (4/4/2023).
Politisi PDIP ini bahkan mengaku tak berani mengesahkan RUU Perampasan Aset serta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, jika ia tak diperintah oleh “ibu”.
“Di sini boleh ngomong galak, Pak, tapi Bambang Pacul ditelepon Ibu, ‘Pacul berhenti!’, ‘Siap! Laksanakan!’. Jadi permintaan Saudara langsung saya jawab: Bambang Pacul siap kalau diperintah juragan,” lanjutnya, yang diikuti tawa anggota Komisi III lainnya.
Alasan mengapa kinerja DPR buruk
Peneliti bidang legislasi Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus, menilai bahwa pernyataan Bambang Pacul justru semakin menunjukkan buruknya kinerja DPR selama ini.
“Dalam konteks pelaksanaan fungsi Legislasi, jawaban Bambang Pacul menjelaskan kenapa kinerja legislasi DPR selama ini selalu saja buruk baik dari sisi kuantitas maupun kualitas atau dari sisi prosedur maupun substansi,” kata Lucius kepada Kompas, Selasa (4/4/2023).
Dari sisi prosedur, misalnya, menurut Lucius DPR hanya bersemangat membahas pembentukan perundang-undangan jika itu mendapat “perintah” elite parpol, bukan desakan rakyat.
“Kenapa DPR menjadi begitu bersemangat untuk RUU-RUU tertentu yang kepentingan elitenya dominan seperti RUU Cipta Kerja atau RUU IKN, RUU KPK, dan lain-lain. Tetapi giliran RUU PPRT, RUU TPKS dan lain-lain, DPR cenderung lamban,” ujarnya.
“Ya rupanya DPR bisa cepat kalau disuruh elite Parpol, dan menjadi sangat lamban kalau tak ada perintah dari elite Parpol,” tambah dia.
Pada akhirnya, kata Lucius, partisipasi publik selama ini cenderung hanya omong kosong dalam proses pembentukan legislasi. Sebab substansi pembentukan undang-undang, kata dia, justru bergantung pada perintah elite parpol.
“Selama ini fakta-fakta yang Bambang ucap memang sudah kerap Formappi suarakan tetapi selalu DPR membantah. DPR bahkan cenderung menyalahkan pihak pemerintah yang menghambat penyelesaian pembahasan RUU di DPR,” katanya.
Bukti DPR bukan wakil rakyat
Lebih lanjut, Lucius juga menilai bahwa apa yang Bambang Pacul sampaikan menunjukkan harapan DPR menjadi lembaga yang punya komitmen dalam pemberantasan korupsi adalah isapan jempol belaka.
Dengan tegas, Lucius bahkan takl bisa berharap lagi pada DPR sebagai lembaga wakil rakyat yang memperjuangkan pemberantasan korupsi.
“RUU Perampasan Aset dan Pembatasan Uang Kartal adalah 2 RUU krusial untuk pemberantasan korupsi. Dengan kondisi ketergantungan DPR pada ketum parpol dan juga ketergantungan parpol pada sumber pendanaan ilegal, maka jelas 2 RUU itu tak akan mendapat dukungan,” tegasnya.
Sementara itu, Koran Tempo dalam editorialnya berjudul “Dewan Perwakilan Ketua Partai” menyebut bahwa pernyataan Bambang Pacul adalah bukti anggota DPR memang bukan lagi wakil rakyat.
“Pernyataan itu mempertegas bahwa anggota Dewan selama ini hanya bersidang dengan membeo kemauan pimpinan partai,” tulis laporan tersebut.
Lebih lanjut, pernyataan tersebut sekaligus mengingatkan masyarakat terkait agenda yang hingga kini belum terselesaikan, yakni reformasi partai politik.
Menurut Koran Tempo, partai politik menjadi institusi yang belum bertanggungjawab pada para pemilihnya. Mereka kebanyakan hanya menjadi mesin politik, elite-elite yang menyetirnya, untuk terus menjalankan kekuasaan yang oligarkis.
“Anggota DPR di Senayan bukan lagi orang-orang yang mewakili suara rakyat atau konstituennya, melainkan ketua partai mereka,” tegasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi