MOJOK.CO – Pemerintah terus berupaya meningkatkan keterwakilan perempuan dalam dunia politik di Indonesia. Penerapan zipper system dalam pemilu, diharapkan mampu mendongkrak suara perempuan yang ditarget mampu menembus angka 30 persen. Lantas, apa itu zipper system?
Sebagaimana diketahui, dalam rangka meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, pemerintah telah mematok ambang batas 30 persen representasi. Melalui regulasi ini pun, tiap partai politik yang ikut pemilu diwajibkan untuk mengajukan minimal 30 persen caleg perempuan untuk berkompetisi.
Keputusan tersebut didasarkan pada kebijakan afirmasi (affirmative action) atas UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, yang mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%.
“Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus),” sebagaimana bunyi Pasal 6 ayat (5) UU No. 22 Tahun 2007.
Lebih jauh, affirmative action juga dilakukan dengan mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat (Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik).
Tidak sampai di situ saja. Dalam Pasal 20 UU No. 2 Tahun 2008 juga ditegaskan bahwa affirmative action dilakukan pada semua tingkatan kepengurusan dari pusat hingga kabupaten/kota.
Selain itu, ketentuan lebih maju dalam affirmative action adalah adanya penerapan zipper system. Sistem ini mengatur bahwa dalam setiap tiga bakal calon, harus terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan. Ini merupakan amanat dari Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008. Adapun, pada ayat (1) mengatur bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor urut.
Contoh dari penerapan zipper system tersebut, misalnya, jika suatu partai politik menetapkan bakal calon nomor urut 1 hingga 3, maka salah satu di antaranya harus seorang bakal calon perempuan. Seorang perempuan harus diletakan pada nomor urut 1, 2, atau 3, dan tidak di bawah nomor urut tersebut. Demikian selanjutnya, dari nomor urut 4 hingga 7, misalnya, maka seorang perempuan harus diletakan di antara nomor urut 4 hingga 6.
Penting bagi keterwakilan perempuan
Zipper system, diklaim sebagai salah satu pengejawantahan kuota gender di parlemen Indonesia. Implementasi ini menjadi penting, mengingat jika berkaca pada sejumlah penelitian, dibuktikan bahwa semakin kecil nomor urut seorang kandidat pemilu, maka potensi keterpilihannya bakal semakin besar. Rata-rata kandidat yang menang dalam kontestasi politik punya nomor urut 1 sampai 3.
Sementara itu, di Indonesia nomor urut ini kurang terlalu diperhatikan, sehingga banyak perempuan pada akhirnya ditempatkan di nomor urut bawah. Misalnya, data Pemilu 2009 menunjukkan pencalonan perempuan dalam daftar nomor urut caleg memiliki nilai tengah (median) 3 dan nilai yang sering muncul (modus) 3.
Artinya, dalam proses penempatan nomor urut, perempuan paling sering/paling banyak berada pada nomer urut 3, sementara laki-laki paling sering ditempatkan pada nomor urut 1. Padahal, pada Pemilu tersebut, 90 persen kandidat yang menang berasal dari nomor urut 1-3. Yang mana, 64,9 di antaranya adalah nomor urut 1.
Sementara data Pemilu 2014 menunjukkan pancalonan perempuan dalam daftar nomor urut memiliki median 5 dan nilai modus 3. Pada pemilu edisi ini, 83 persen kandidat yang menang berasal dari nomor urut 1-3.
Maka dari itu, zipper system yang memungkinkan perempuan berada di nomor urut 1, penting untuk mendongkrak tingkat keterpilihan perempuan. Ini mengingat dalam sejarah pemilu di Indonesia, perempuan belum pernah mencapai suara 30 persen di parlemen pusat.
Fakta juga membuktikan, bahwa sejak zipper system diberlakukan, hasil di lapangan menunjukkan progres yang membaik. Temuan Ignatius Mulyono dalam “Strategi Meningkatkan Keterwakilan Perempuan”, misalnya, memaparkan peningkatan keterwakilan perempuan terlihat lebih signifikan saat zipper system mulai diberlakukan.
Berdasarkan data yang ia paparkan, sebelum zipper system diterapkan, suara perempuan di parlemen masih sangat kecil: 9,0 persen (Pemilu 1999) dan 11,8 persen (Pemilu 2004). Sementara setelah sistem ini dipakai, lambat laun suara perempuan mengalami peningkatan. Pada Pemilu 2009 sebesar 18 persen, kemudian meningkat lagi menjadi 20,8 persen di Pemilu 2019.
Menurut Mulyono, Partai Demokrat—sebagai partai politik yang konsisten menerapkan affirmative action kuota 30 persen keterwakilan perempuan dan zipper system—telah terbukti mampu meningkatkan peran politik perempuan di DPR.
“Dari 101 anggota DPR perempuan, 35 di antaranya berasal dari Partai Demokrat atau sebesar 34% dari keseluruhan anggota DPR perempuan,” ungkapnya, dikutip dari laman dpr.go.id.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda