MOJOK.C0 – Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD meminta agar para pemuda semakin kritis menjelang tahun politik ini. Ia berharap, pemuda lebih aktif mengkritik pemerintah, terutama soal hal-hal yang menyangkut Pemilu 2024 nanti.
“Saya berharap para pemuda ini makin kritis. Kritik apa yang perlu dikritik,” ujarnya, dalam sambutannya di acara Town Hall Meeting Kemenko Polhukam di UGM, Rabu (8/3/2023).
Dalam acara bertajuk “Tut Wuri Handayani: Mendorong dan Menemukan Keteladanan Politik Ala Anak Muda” tersebut, Mahfud berpendapat bahwa kritik dibutuhkan untuk memperbaiki hal-hal yang perlu dibenahi.
“Jika ada yang salah dari pemerintah, kritik saja. Jika ada yang kurang beres dari pemilu nanti, ya ungkapkan,” sambung mantan Ketua MK tersebut.
Lebih lanjut, Mahfud juga mengatakan kritik anak muda sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan Indonesia Emas 2024. Kata dia, di tahun tersebut, Indonesia diproyeksikan jadi bangsa yang maju: kesejahteraan meningkat, kemiskinan turun, ada banyak tenaga ahli di berbagai bidang, dan pendapatan per kapita tinggi.
Namun, hal-hal tersebut tidak akan tercapai jika pemudanya apatis. Oleh karena itu, ia pun meminta pemuda juga makin aktif berpartisipasi dalam politik. Terutama saat menjelang tahun pemilu.
“Sebagaimana tema hari ini, ‘Tut Wuri Handayani’, pemuda itu harus memberi semangat atau pendorong semangat dari belakang,” paparnya.
Tapi, kebebasan berekspresi masih rendah
Kendati Menko Polhukam menuntut para pemuda untuk aktif mengkritik pemerintah, nyatanya kebebasan berekspresi di Indonesia masih begitu rendah.
Buktinya, data SETARA Institute dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menemukan, bahwa skor mengenai hak kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di Indonesia hanya memperoleh nilai 1,5 (rentang nilai tertinggi sampai terendah: 1-7).
Dengan demikian, pemerintah masih termasuk kategori antikritik. Bukti langsung lain, adalah dengan banyaknya pejabat negara yang menyalahgunakan pasal karet “pencemaran nama baik” UU ITE.
Hal tersebut diakui Gubernur Lemhanas, Andi Widjajanto. Dalam kesempatan yang sama, ia menyebut bahwa memang, indeks demokrasi di Indonesia masih rendah. Terutama dalam hal kebebasan berpendapat.
Berdasarkan Analisis Indeks Demokrasi Lemhanas yang ia paparkan, Indonesia masih dalam kategori flawed democracy atau “demokrasi terbatas”. Indonesia hanya meraih 6,71/10 untuk indikator Pemilu dan Pluralisme, Fungsi Pemerintah, Partisipasi Politik, dan Kebebasan Sipil.
“Angka tersebut sudah baik, tapi tidak cukup untuk disebut negara demokratis,” ujar Andi, Rabu (8/3/2023).
“Kalau pakai kategorisasi Freedom House, yakni bebas, semi-bebas, dan tidak bebas. Maka Indonesia masuk kategori semi-bebas,” paparnya melanjutkan.
Kaitannya dengan pemilu, menurut Andi, untuk menjadi negara demokrasi yang matang, Indonesia harus melaksanakan dua kali pemilu demokratis lagi. Dengan demikian, ia memprediksi bahwa dalam tataran demokrasi, Indonesia akan matang pada 2030-an.
“Secara teori negara butuh setidaknya tujuh kali pemilu demokratik berturut-turut untuk mematangkan demokrasi itu sendiri,” jelasnya.
“Kalau pemilu demokratik kita yang pertama dianggap tahun 1999, maka pemilu 2019 itu kelima. Artinya, untuk matang butuh dua pemilu lagi, 2024 dan 2029,” papar Andi.
Tegaskan pemuda harus cerdas perangi hoaks pemilu
Baik Mahfud maupun Andi sama-sama sepakat bahwa disinformasi atau hoaks menjelang pemilu merupakan racun dari demokrasi. Oleh karenanya, Mahfud meminta para pemuda lebih selektif dan kritis dalam melihat berita bohong. Khususnya karena hoaks biasanya akan semakin masif menjelang pemilu.
“Harus cerdas melihat mana hoaks yang memecah belah, dan mana berita yang benar,” jelasnya.
“Penyebar hoaks bisa dipidanakan, diatur oleh undang-undang,” tegas Mahfud, sambil menampilkan beberapa contoh hoaks melalui salindianya.
Hal serupa juga ditegaskan Andi. Kata dia, hari ini manusia semakin dimudahkan dengan banyaknya akses informasi melalui teknologi. Akan tetapi, memang membutuhkan sikap kritis agar tak terjebak dalam narasi-narasi disinformasi.
“Teknologi itu memudahkan tapi sekaligus disrupsi. Oleh karena itulah anak muda harus lebih cerdas dalam memanfaatkan teknologi guna menghindarinya,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda