MOJOK.CO – Melibatkan tentara dan polisi dalam pengawalan masa new normal oleh beberapa pihak justru dianggap sebagai sebuah ketidaknormalan. Kalau normal, ngapain pakai tentara?
Dalam menyongsong era new normal, pemerintah bakal mengerahkan militer (tentara dan polisi) untuk mengawal kedisiplinan masyarakat. Setidaknya bakal ada 340 ribu personel gabungan TNI-Polri yang akan ditempatkan di berbagai pusat keramaian yang berisiko tinggi seperi pasar, mall, dan juga obyek-obyek pariwisata.
“Sesuai arahan Presiden Jokowi kemarin untuk memastikan menuju normal baru, Presiden perintahkan TNI dan Polri ada di setiap keramaian untuk lebih mendisiplinkan masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan sehingga masyarakat bisa tetap beraktivitas, namun aman dari penularan Covid-19,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan, Rabu, 27 Mei 2020 lalu.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen Sisriadi mengatakan walau pihak TNI ikut dilibatkan, namun mereka akan tidak banyak menggunakan cara-cara kemiliteran. Menurutnya, langkah-langkah yang akan diambil oleh TNI dalam mengawal new normal lebih kepada “pendekatan yang persuasif dan edukatif”, sehingga menurutnya, masyarakat tidak perlu khawatir dengan keberadaan unsur militer saat era new normal nantinya.
Kendati demikian, banyak yang mengkritik langkah pemerintah yang melibatkan unsur militer dalam mengawal new normal ini.
Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar, misalnya, menganggap pelibatan militer ini justru menjadi tanda sebuah ketidaknormalan.
“New Normal diterapkan dengan kekuatan TNI-Polri. Hmmm, Justru, ada yang tidak normal. Kalau normal, buat apa ada tentara polisi dimana-mana.” Begitu kata Haris melalui akun Twitternya. “New Normal dengan aparat di mana-mana akan mengarah pada State Immunity terhadap rakyatnya.”
Sementara itu, pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono menyatakan bahwa yang terpenting dalam menyongsong new normal sebenarnya bukan masalah pendisiplinan dengan melibatkan unsur TNI-Polri, melainkan lebih kepada masalah komunikasi.
“Masalahnya bukan hanya masalah disiplin, masalahnya komunikasinya belum jalan. Komunikasinya ke publik selama ini belum dijalankan dengan baik. Itu dulu yang harus dijalankan,” terangnya.
Setali tiga uang dengan Haris, Pandu Riono juga mengatakan bahwa pelibatan TNI-Polri justru merupakan hal yang tidak normal.
“Tentara dan polisi diturunkan kalau keadaannya abnormal. Katanya mau menuju normal, sekarang kita normal atau abnormal? Jadi kalau kita mau menormalkan ya melakukan dengan usaha-usaha yang normal, supaya masyarakat paham.”
Kritik dengan nada serupa juga dilontarkan oleh Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter. Ia mengatakan pemerintah seharusnya lebih banyak melibatkan ahli epidemiologi dan virologi ketimbang militer.
“Ngapain militer, ngapain ke polisi, ketika kita harus dengar pakar epidemologi atau virologi atau orang-orang yang memang kompeten di bidangnya,” ujar Lola dalam diskusi ‘Menjaga Integritas Solidaritas’ pada Kamis, 28 Mei 2020 lalu.
Ah, memang sudah memisahkan negara ini dari unsur militer. Lha gimana, Menkesnya saja tentara, kepala gugus tugasnya juga tentara, juru bicara pemerintah soal covid-19 juga militer. Pokoknya semuanya sudah militer banget.
Tampaknya lebih susah menjauhkan masyarakat dari unsur militer ketimbang menjauhkan masyarakat dari virus corona.