MOJOK.CO – Sahabat Celenger sudah menyiapkan resolusi keuangan untuk 2019 belum? Om Haryo bagi-bagi resolusi keuangan yang bakal bikin kita cepat kaya di tahun depan nichh.
Sahabat Celenger yang boros tapi pura-puran keheranan jumlah rupiah di rekeningnya tidak kunjung menggelembung,
Tulisan ini akan lebih panjang dari minggu-minggu sebelumnya, maklum edisi akhir tahun. Mungkin akan membosankan, tetapi usahakan tetap baca agar kalian dijauhkan dari isi rekening tabungan yang menyayat hati dan semakin jauh dari kondisi finansial yang kita tuju. Tetapi kalau anda mau tetap di jalur yang tepat untuk menjadi kaya, lanjutkan bacanya.
Bagaimana situasi keuangan kalian di tahun 2018 yang beberapa saat lagi akan berakhir?
“Duh, baru dipegang udah keluar, Ay.” begitu jawaban orang yang baru saja gajian tapi segera menguap ke pos-pos yang tidak dapat diganggu gugat, utamanya cicilan utang.
“Eh, samaan. Ini juga dimasukin belum berasa, udah nggak tahan aja”, kata seorang pekerja yang membobol rekening tabungannya untuk beli gadget canggih keluaran terbaru keluaran pabrikan dari Korea yang diiklankan Dian Sastro, Samsul.
Jelas jawaban setiap individu tidak akan pernah seragam. Seribu kepala, seribu masalah, seribu solusi. Ada juga sebagian yang mengatakan, “lumayan”. Ini jenis jawaban yang tidak jelas dan mencurigakan, lumayan bisa nahan keinginan karena mepet atau lumayan pendapatan bertambah? Sebagian lain lagi mengatakan, “ini tahun terbaikku”. Jenis jawaban orang yang percaya diri, target oriented, tapi segera terdiam kalo dimintai traktiran dan ditagih utangnya.
Nah, yang paling misterius kalau menjawab, “baik-baik saja”. Ini jelas jawaban yang paling sulit diurai. Situasi keuangannya mungkin tidak bermasalah, tapi kondisi psikologisnya bermasalah dan sebaliknya.
“Pekerjaanku baik-baik saja, gajiku baik-baik saja, dan perkembangan karir baik-baik saja siy…”
“Yeay bagus dong…. Eh, tapi mengapa selalu ada kabut tipis dan gurat mendung menutupi wajahmu?”
“Hiks, belum ada pasangan yang bisa diajak berbagi dalam suka duka. Bahkan untuk sekedar selfie, Om”
Setiap tahun berganti, kita menjadi bagian dari masyarakat yang sibuk dan gandrung akan ritual mengungkapkan resolusi baru. Itu menjadi satu bukti bahwa manusia pada dasarnya mempunyai kecenderungan semakin materialistis: suka mematok target kehidupan duniawi! Soal tercapai atau tidak, toh ada tahun berikutnya untuk membuat resolusi lagi.
Pastilah tidak semua generasi milenial seperti itu. Di titik tertentu, setelah merasa cukup atau lelah, manusia akan mengejar kebutuhan spiritual. Begitulah perilaku kebanyakan pelaku ekonomi: tahan indent mobil tapi tidak tahan antri haji. Hahaha sudahlah ngaku ajaaa…
Resolusi bisa dikatakan tidak penting-penting amat, artinya tanpa membuat resolusi setiap menjelang tahun baru pun tidak kemudian membuat kita jauh dari kesuksesan. Toh leluhur kita juga tidak terbiasa membuatnya. Iya nggak? Tidak pernah ada di catatan sejarah, Hayam Wuruk di akhir Desember membuat resolusi, “Tahun depan ekpansi ke barat, menikahi putri Pajajaran yang cantiknya ya ampun, jomblo lagi. Eh, sekalian aja deh menaklukkan kerajaannya”.
Tidak ada cerita seperti itu. Resolusi memang terhitung baru. Tetapi keinginan, harapan, cita-cita yang diiringi usaha-usaha yang membuahkan keberhasilan, memang sudah sama tuanya dengan keberadaan manusia di bumi. Apa pun penyebutannya, membuat resolusi penting bagi kita untuk disiplin dan fokus pada tujuan yang hendak dicapai.
Umumnya, resolusi keuangan atau resolusi yang dibuat didasarkan pada motif ekonomi: gaji naik bagi yang bekerja, pindah kerja bagi pekerja yang sudah empet dengan lingkungan kerjanya, omzet menggila bagi yang memiliki perusahaan, memiliki rumah bagi yang masih ngontrak, membeli kendaraan bagi yang masih ngangkot dan hijrah menjadi pengusaha untuk yang merasa capek jadi orang gajian.
Sementara yang kondisi finasialnya sudah mapan mulai merambah kebutuhan tersier: piknik ke luar pulau atau bahkan luar negeri, ganti kendaraan, membeli rumah lagi, dan terus melakukan investasi.
Resolusi keuangan yang baik itu bagaimana, Om?
Resolusi keuangan yang didasarkan pada evaluasi pengeluaran tahun ini. Item mana saja yang gagal, perjuangkan tahun depan dengan penuh determinasi, konsisten dan gigih. Itu teori saja, di luar itu ada keberuntungan, juga “faktor-faktor gangguan” (pengeluaran) yang tidak sama. Paling tidak, kita bisa mulai dari yang kecil dulu, buat skala prioritas pengeluaran, merencanakan sumber pendapatan tambahan dan memastikan tingkat keamanan secara proporsional. Buat serasional mungkin.
Menyisipkan keinginan tidak ada salahnya, kalau pun tercapai tahun depan anggap saja sebagai bonus. Gampang ya? Iya. Tapi nyatanya kita kerap gagal mendapatkan yang kita butuhkan dan justru mendapatkan keinginan-keinginan yang sebenarnya tidak begitu kita butuhkan. Tiga hal berikut (plus satu bonus) bisa jadi panduan untuk mencapai tujuan finansial kita.
Menambah kemampuan menabung
Apa sih pentingnya menabung? Hambatan tiap orang dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan sangat bergantung dengan penghasilan. Menabung merupakan cara paling rasional untuk memenuhi kebutuhan dengan mematikan atau menangguhkan sebagian keinginan.
Jika kalian bergaji 30 juta, tetapi kalah cepat mempunyai rumah dan kendaraan dibandingkan dengan yang penghasilannya 10 juta. Bisa dipastikan kemampuan menabung pekerja yang penghasilannya lebih rendah, jauh lebih baik.
Boleh saja mengatakan bahagia walaupun belum mempunyai rumah dan kendaraan tetapi mampu mengeluarkan atau menghabiskan uangnya untuk keperluan travelling dan memelihara banyak hobi. Masuk akal, tapi ingat juga soal mengamankan kondisi keuangan kita dan juga memprediksi nilai di masa depan.
“Apa iya pekerjaan kita aman? Apa iya inflasi terkendali seperti saat ini? Apa iya kenaikan harga properti masih dapat diikuti kenaikan penghasilan kita”.
Pindah kerja kalau gaji tidak naik
Lumrah bagi para pekerja selalu berharap gajinya naik tiap tahun dan sudah menjadi hak pekerja mendapatkan upah baik setelah menjalankan kewajibannya. Kalau bisa melebihi inflasi dan pertumbuhan ekonomi, minimal bukan di bawahnya. Bagi orang yang mengandalkan pendapatan dari gaji, itu resolusi yang masuk akal. Tetapi kemampuan perusahaan belum tentu seiring.
Bagaimana jika kenaikan gaji yang diharapkan tidak sesuai? Mencari pekerjaan baru!
Itu jawaban spontan yang pembuktiannya tidak pernah mudah. Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat: Usia yang tidak kompetitif lagi, pengalaman kerja, jejaring, keberuntungan dan situasi pasar tenaga kerja. Pekerja yang masih jomblo memiliki kesempatan dan keberanian yang seharusnya lebih baik daripada yang sudah berkeluarga.
“Kalau omzet dan laba perusahaan naik di atas pertumbuhan ekonomi tetapi mereka menggaji di bawah angka semestinya, apakah kita boleh demo, Om?”
“Err… tanya ke Serikat Pekerja dong” *ngeri banget nanyanya*
Keluar dari pekerjaan belum tentu mendapatkan lingkungan atau iklim kerja yang sebaik saat ini. Sama halnya dengan memutuskan berhenti bekerja dan beralih menjadi pengusaha hanya sekedar untuk alasan “hijrah”, “mimpi lama”, dan “pindah kuadran”. Tidak salah, tetapi harus memastikan kita memang telah siap dengan konsekuensinya.
Ada cara lebih aman untuk menguji kesiapan kita beralih dari pekerja menjadi pengusaha, mencoba mencari tambahan penghasilan di bidang yang ingin kita tekuni. Kalau dirasa sudah siap, baru kita memutuskan keluar. Memang ada orang yang langsung keluar dari pekerjaan dan sukses sebagai pengusaha, itu contoh kasus saja. Bukan kecenderungan umum.
Mengelola pengeluaran dengan cerdas
Kemampuan memetakan pengeluaran ini memang harus tahu pasti dan tahu diri dengan penghasilannya. Penghasilan 2 juta, jangan mengikuti kebiasaan orang yang bergaji 5 juta. Ya mending kalau kebiasaannya olahraga jalan kaki keliling kelurahan, kalau tiap malam harus mengunjungi café ya babak belur.
Selanjutnya, tidak menunda pengeluaran vital yang dapat mengganggu kenyamanan rumah tangga. Misal, jangan karena lebih mentingin kuota untuk youtuban daripada beli pulsa listrik, pernikahan yang baru seumur jagung mengalami keretakan. Istri lagi enak-enak nonton sinetron, listrik mati!
Gunakan teknologi autodebet untuk mengelola pengeluaran yang secara sistem sudah terintegrasi dengan bank: cicilan, tagihan telpon, iuran BPJS, dan lainnya. Syaratnya satu saja: rekeningnya jangan sampe hampa seperti perasan kalian.
Menikah
“Oh satu lagi, Om. Saya mempunyai tugas suci, ini penting banget agar negeri ini tidak punah, menikah!”
“Segerakan kalau begitu. Apalagi sudah ada calon, iya kan?!”
“Nah, itu dia. Ternyata pekerjaan top, gaji bagus, rumah beserta panci dan kompornya tidak menjamin ada yang melabuhkan hatinya pada saya”.
Apakah menikah merupakan motif ekonomi? Secara tidak langsung, ya! Banyak generasi milenial yang berpikiran maju pun sampai saat ini menimbang materi sebagai faktor terpenting. Tradisi menikah di negeri ini sebagian besar tidak sekedar asal resmi saja diakui negara. Itu yang menyebabkan pernikahan hampir selalu memerlukan biaya yang tidak sedikit, walaupun mereka menyadari sepenuhnya kebutuhan yang lebih “berdarah-darah” di kehidupan setelah acara pernikahan. Jadi memang sah-sah saja jika sementara orang menetapkan kriteria bagi calonnya, minimal PNS, eksekutif di oil company lebih baik lagi, dan syukur-syukur pengusaha.
Tetapi saya berharap pembaca mojok tidak mendasarkan pada kriteria tersebut. Terlalu mudah, tidak ada tantangan! Materi tentu saja penting, penting sekali malah. Tetapi kebahagiaan tetap yang perlu kita dahulukan, dan cinta tetaplah jalan paling asyik untuk menggapai kebahagiaan. Cinta pada para pekerja keras, cinta pada pengusaha beromzet besar, cinta pada orang-orang dengan karir cemerlang, dan cinta pada penulis rubrik ini. Hahaha.
Beberapa hari lalu saya mendapatkan cerita langsung dari sumbernya, seorang pengusaha yang suksesnya kebangeten. Nggak kebangeten bagaimana, pada saat pengusaha lain dilanda galau karena mengalami pertumbuhan yang semakin menurun di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, beliau terus saja melenggang menangguk untung tak tertahankan.
Apa rahasia kesuksesannya? Menikah dalam kondisi tidak siap! Serius.
Bayangkan saja, bertiga dengan orang tuanya, berangkat dari Sumenep menuju Indramayu untuk keperluan berkenalan dengan keluarga pacarnya dengan menggunakan moda darat. Kalau memungkinkan sekalian melamar perempuan tersebut untuk anak laki-lakinya. Ingat itu bukan Jalan Sumenep dan jalan Indramayu yang sama-sama ada di kelurahan Menteng, Jakarta Pusat, tetapi Sumenep-Indramayu yang berjarak hampir 900km!
Begitu sampai di Indramayu, Bapak yang terbiasa mengambil keputusan cepat tersebut menyengol anaknya dan berbisik.
“Dul, ini kok jauh sekali. Besok kalau harus ke sini lagi akan banyak makan waktu dan biaya. Dah nikah hari ini sekalian saja, ya! Nggak usah bantah. Semoga Pak Haji juga setuju”
“Wah, gimana ya, Bah? Ya sudah, insya allah”
Keputusan yang sangat cepat, tepat dan penuh rasa tanggung jawab. Khas seorang yang berbakat menjadi pengusaha. Saya tidak bisa membayangkan kalau itu menimpa kalian. Bisa jadi kalian akan pura-pura keluar untuk beli rokok, kemudian cari bus dengan tujuan Sumatra. Tidak lupa mengirimkan pesan melalui whatsapp.
“Maafkan Ananda yang tidak bisa mengikuti kemauan Papa. Beri Ananda kesempatan untuk berpikir selama 12 purnama. Oh, ya titip love birdnya jangan sampai telat kasih makan. Itu bisa untuk biaya nikah kelak”
Ttd,
Rangganteng