MOJOK.CO – Menurut penelitian psikologi, goblok atau pekok justru membuat hidup lebih mudah dijalani.
Pekok atau goblok itu ternyata bukan karena orang tidak sekolah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky (keduanya psikolog Israel) menunjukkan bahwa berbagai jenis kepekokan, yang dalam bahasa Inggris disebut bias dan fallacy, ternyata muncul dari hal-hal yang tertanam secara intrinsik pada manusia.
Penelitian panjang Kahneman dan Tversky di bidang psikologi perilaku ini mengantarkan Kahneman meraih Hadiah Nobel Ekonomi pada tahun 2002. Saat itu Tversky sudah wafat sehingga tidak ikut mendapat penghargaan bergengsi itu.
Menurut Kahneman, manusia punya 2 sistem berpikir yang ia sebut Sistem 1 dan Sistem 2. Sistem 1 bersifat refleks, spontan, cepat, dan intuitif. Sedangkan Sistem 2 adalah sistem yang memerlukan waktu agak panjang, ada proses, serta memerlukan konsentrasi. Kalau kita ditanya, “Berapa 2 + 2?“ kita akan menjawabnya secara cepat dan otomatis. Saat itu Sistem 1 bekerja. Demikian pula kalau kita diminta menyebutkan warna-warna pada lampu pengatur lalu lintas.
Kalau diminta menghitung hasil perkalian 17 x 821, rata-rata orang tak lagi bisa menjawab dengan cepat. Demikian pula ketika disuruh menyebut nama-nama provinsi di Pulau Sumatra berikut ibu kotanya masing-masing, tidak semua bisa cepat menjawab. Untuk melakukan itu, kita memakai Sistem 2.
Tidak sulit untuk memahami bahwa Sistem 1 itu mudah, tidak menguras konsentrasi maupun energi pikir kita. Sebaliknya, Sistem 2 memerlukan konsentrasi yang cukup tinggi dan menghabiskan energi. Karena itu, kita cenderung ingin selalu memakai Sistem 1. Bahkan di saat Sistem 2 yang seharusnya bekerja, kita ingin buru-buru memakai Sistem 1. Itulah yang menjadi sumber kepekokan.
Di antara macam-macam kepekokan, salah satunya disebut asosiasi. Pekok jenis asosiasi ini terjadi karena kesadaran atau alam bawah sadar kita terpapar pada sesuatu selama waktu tertentu. Pikiran kita jadi hanyut mengikuti ritme dan mencari cara-cara mudah ketika merespons suatu masukan. Misalnya, orang yang baru saja melewati obrolan mesum kalau dihadapkan pada huruf-huruf K_NT_L akan membacanya dengan 2 huruf O ditempatkan di bagian kosong. Sedangkan orang yang sebelumnya lama membahas soal larutan akan cenderung membaca dengan tambahan huruf E dan A di bagian yang kosong.
Bentuk lain yang mirip dengan asosiasi ini adalah anchoring effect. Ini adalah kebiasaan kita untuk menjadikan sesuatu yang kita lalui sebelumnya sebagai standar. Misalnya, kalau kita cukup lama menyetir di jalan tol dengan kecepatan 120 km/jam, saat kita sudah keluar dari jalan tol kita cenderung akan menyetir dengan kecepatan tinggi. Kecepatan 80 km/jam kita anggap sebagai kecepatan rendah.
Orang akan merasa membeli baju seharga Rp300 ribu itu murah kalau baju itu diberi label “diskon 50%”. Rp300 ribu itu dianggap murah karena dibandingkan dengan “harga awal”, yaitu Rp600 ribu. Padahal, umumnya kita tidak pernah tahu “harga awal” itu benar atau tidak. Kalau baju itu dihargai sama, tapi diberi keterangan bahwa kemarin harganya Rp150 ribu, besar kemungkinan orang tidak akan membelinya.
Masih soal diskon, Anda hanya akan menemukan tawaran diskon dengan nilai yang mudah, seperti 10%, 25%, atau 50%. Pernahkah ada toko yang menawarkan diskon 12% atau 32%? Tidak. Diskon seperti itu akan membuat orang harus memakai Sistem 2 untuk memahami informasinya sehingga menjadi tidak menarik. Adapun nilai-nilai mudah tadi lebih menarik, karena hanya memerlukan Sistem 1 untuk menyerapnya.
Kita cenderung mencari pola dari hal-hal yang rumit. Sesuatu yang tidak teratur, tidak berbentuk, akan melelahkan pikiran kita, seperti saat pikiran kita terus bekerja dengan Sistem 2. Karena itu Sistem 1 mengarahkan kita untuk mencari pola-pola yang mudah kita terima. Kecenderungan itu membuat kita sering membuat kesimpulan cepat (jump into conclusion), melakukan pencocokan (otak-atik gathuk), dan sebagainya.
Nah, yang agak “berbahaya” adalah bagian ini. Kita mudah menerima sesuatu yang terus diulang sebagai kebenaran. Sesuatu yang terus dipaparkan pada kita menjadi akrab bagi kita, kemudian menjadi kebiasaan dan kebenaran. Orang-orang menerima kebenaran agama umumnya tidak melalui kajian mendalam soal itu. Mereka menerimanya karena nilai-nilai atau ajaran itu diulang-ulang, baik secara verbal maupun melalui gerak-gerik orang di sekitar. Sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran melalui proses itu sangat sulit untuk ditinggalkan, meski orang itu sudah dipaparkan pada penjelasan yang sangat logis tentang hal tersebut.
Sekali lagi, pekok ini intrinsik. Ini tidak ada hubungan dengan tingkat pendidikan maupun kepakaran seseorang. Bahkan para pakar sekalipun menderita pekok jenis ini. Sangat sering pakar menjadi sangat percaya diri, kemudian bergantung pada intuisi. Ia kemudian lebih memilih intuisi, meski ia berhadapan dengan data yang jelas dan tegas yang memberi saran berbeda dari yang disarankan oleh intuisinya.
Biang kerok dari semua ini adalah Sistem 1 yang mudah dan nyaman tadi. Tapi, Sistem 1 tidak bisa disalahkan. Sistem itu membuat banyak hal menjadi mudah bagi manusia. Tanpa Sistem 1, menyetir, naik sepeda, atau bahkan berjalan menjadi sangat melelahkan. Bayangkan kalau sekadar untuk mengayunkan langkah berjalan kita perlu konsentrasi penuh. Berat, bukan?
Sistem 1 sering membuat kita menjadi pekok. Tapi, sistem itulah yang memberi banyak kemudahan, membuat hidup menjadi bisa kita jalani. Tanpa Sistem 1, hidup menjadi terlalu rumit. Singkatnya, pekok itu diperlukan manusia untuk bertahan hidup.