Saya tak lagi sempat menenteng tasbih ke mana-mana. Selain kedua ibu jari memang semakin sibuk memencet aksara pada layar, ruas-ruas jari-jemari saya lebih suka bersekutu menanggung punggung gajet.
Doa kian sering saya tuliskan daripada saya ucapkan. Tanpa melibatkan lisan, perasaan dan pikiran bisa saya curahkan. Bahkan, publik bisa saya libatkan mengamini doa-doa itu, apalagi jika kami memiliki kesamaan permohonan dan harapan.
Saya tak lagi sempat membawa kitab suci ke mana-mana. Cukuplah dengan mengandalkan situs-situs penyedia jasa daftar surat, muratal, unduh, dan cari dengan kata kunci untuk mendapatkan firman Ilahi dengan cepat. Al-Quran tak lagi hanya lembar mushaf yang dicetak, namun kini telah tersedia pula secara online. Lebih luas dan leluasa dijangkau oleh siapa pun di mana pun, tentu saja dengan catatan: terdapat sambungan internet untuk mengaksesnya.
Saya tak lagi sempat menghadiri majelis taklim sejak sibuk ke mana-mana. Tapi syukurlah kini radio-radio pun semakin berlomba-lomba mengudarakan tausiah dari ustadz dan ustadzah, apalagi di Bulan Suci Ramadan. Sebagian besar konsisten menyiarkan azan maghrib dan subuh, bahkan menjadi kewajiban bagi televisi-televisi nasional untuk tidak lupa mengumandangkannya. Slot untuk itu tak bisa dikalahkan oleh iklan, pun tak boleh telat.
Saya merasa dimengerti.
Ya, saya merasa dimengerti. Saya orang sibuk.
Ketika libur saya tidak mau diganggu oleh kesibukan duniawi. Itu saatnya untuk meletakkan gajet, memutus hubungan dengan internet dan segala yang digital, mematikan radio dan televisi, untuk semata-mata kembali kepada keluarga. Bagi saya, keluarga adalah permata jiwa raga yang harus saya jaga. Saya tak mau lagi sibuk mengurusi yang lain ketika ada ruang dan waktu bersama keluarga.
Saya semakin sulit menemukan seruan-seruan yang mengingatkan telah tiba waktu salat fardlu. Hiruk-pikuk kota lebih bising daripada berisik toa yang diprotes oleh pejabat negara. Tapi, tak cukup alasan juga bagi kaset-kaset untuk mengganggu tidur saya di pagi buta. Saya perlu bangun segar-bugar untuk memulai hari kerja, pun saya tak ingin ketenangan saya dirusak ketika mendapat cuti dan bisa bangun siang. Saya toh sudah pasang ringtone azan.
Bukan. Bukan maksud saya banyak menggerutu. Saya hanya suka jika saya dimengerti. Toh iman itu soal masing-masing dan yang suka beramal tidak harus kemudian merasa sok penting.
Saya tidak pernah bercerita kepada siapa-siapa ketika mengumpulkan fakir miskin dan anak yatim-piatu. Saya biarkan kamera menyorot mereka dengan kesadaran industri. Saya tidak perlu mengajari mana yang perlu ditonjolkan, setiap kita toh tahu mana yang bisa dipamerkan.
Saya tidak lagi sempat belajar dengan harus duduk berlama-lama menyimak pemateri. Kini penyedia jasa informasi sangat banyak, dan membantu saya menyiasati kedangkalan. Menyulapnya menjadi kedalaman dalam tempo yang ringkas. Saya jadi suka membagi ilmu pengetahuan sekejap itu melalui broadcast message.
Siapa pun niscaya setuju betapa kearifan harus dirayakan dengan menyebarkannya, tak harus selalu dengan mengalaminya sendiri.
Sanad guru dan sanad ilmu memang penting, tapi toh bukan segala-galanya. Kemudahan yang telah diberikan oleh teknologi perlu disadari sebagai fakta hari ini yang tak bisa dipungkiri. Jika selama ini kita terkendala oleh jarak dan waktu untuk bisa belajar, mengapa kini harus menolak keterbukaan ‘sekolah zaman’ yang murah-meriah? Toh saya juga suka memajang foto tokoh-tokoh inspiratif dengan menorehkan petuah dari kutipan mereka yang terpopuler.
Yang instan tidak selalu buruk. Di mana-mana orang sepakat bahwa teknologi itu semakin maju semakin sederhana. Yang beranggapan bahwa “teknologi maju tapi peradaban mundur” hanya orang-orang yang kuper dan gaptek. Saya toh tidak kehilangan adab.
Kini emoticon semakin beragam. Airmata bisa digambar dengan ekspresi sedih maupun senang; cemberut atau pun tertawa. Percakapan justru bisa jadi lebih akrab lewat japri/jaringan pribadi.
Lalu-lintas semakin hari semakin tak bisa ditebak. Macet terjadi bahkan tanpa perlu sebab lagi. Silaturahmi tak boleh berhenti hanya karena kemajuan kota. Syukurlah sekarang saling kontak bisa lebih gampang. Jarak semakin pendek. Wajar jika pesan pun menjadi semakin pendek. Sebab, waktu kita juga semakin pendek. Berbagai aplikasi membantu kita menyampaikan pesan itu dengan lebih warna-warni, ramai artifisial, dan semarak oleh visualisasi
Saya suka dimengerti. Saya sibuk, dan zikir saya adalah zikir kesibukan yang tak pernah berhenti. Dari rumah, saya bawa ke kantor. Dari kantor, saya bawa ke rumah lagi. Saya kerjakan sambil makan-minum, saya lakukan sembari bercakap-cakap, saya lakoni seraya mengabarkan kepada dunia betapa Anda tidak sendiri dalam kesibukan. Kita sama-sama hanyut. Karena itulah, saya minta dimengerti. Orang hanyut itu butuh ditolong, bukan justru dimaki.
Kesibukan ini selalu mengingatkan saya bahwa saya lupa lagi dan lupa lagi. Tapi, manusiawi jika saya masih sering lupa mengingat dan mengingat lagi.
Ada dua macam manusia di dunia ini, ternyata. Pertama, ia yang kelebihan kekurangan. Kedua, ia yang kekurangan kelebihan. Entah saya yang mana. Yang jelas, saya sering kekurangan waktu tapi kelebihan beban. Saya acap kelebihan harapan tapi kekurangan pencapaian. Karena itu, hari demi hari saya semakin sibuk.
Saya sadar: saya mengejar yang tak pasti. Sebab, yang tak pasti itulah yang terus berlari. Saya takkan mengejar hal yang pasti. Sebab, yang pasti itu sudah pasti takkan lari dari saya. Bukankah Tuhan itu Maha Pasti? Bukankah takdir itu kepastian? Dan bukankah kematian itu juga kepastian? Lahir, wafat, rezeki, dan jodoh itu pasti.
Saya sibuk bukan sibuk mengais duit. Saya sibuk hidup di tengah orang-orang sibuk. Dan itulah zikir perkotaan yang ramai dalam kesepian.