Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Yang Menyebalkan dari Jilbab Jaksa Pinangki

Ang Rijal Amin oleh Ang Rijal Amin
16 September 2020
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Ketika Jaksa Pinangki, tersangka kasus dugaan suap Djoko Tjandra tiba-tiba pakai jilbab, saya jadi bertanya-tanya. Masih laku ya cara beginian?

Dalam sebuah mata kuliah, seorang dosen bercerita bahwa pemakaian jilbab pernah dilakukan olehnya sebagai simbol pembangkangan terhadap Orde Baru. Setelah Orde Baru tumbang, jilbab yang masih dikenakan si dosen sampai hari ini sudah berubah citranya.

Sebab katanya, jilbab punya nilai-nilai simbolis. Tidak terbatas pada perintah agama belaka. Ada konstruksi wacana yang bergerak dinamis di sana.

Ada masa ketika pemakaian jilbab dimaknai sebagai perlawanan terhadap suatu rezim. Adakalanya justru melepas jilbab menjadi simbol perlawanan yang sama. Di tempat dan pada masa yang berbeda, jilbab berbeda citranya.

Di sebuah kampus yang gatal melihat mahasiswi bercadar, menggunakan cadar bisa diartikan sebagai simbol perlawanan. Sementara tidak menggunakan cadar, bisa berarti simbol kepatuhan terhadap rektor.

Sehingga, menggunakan jilbab, kerudung, atau cadar bisa bermakna berbeda-beda. Ia tidak bisa sekadar dimaknai dalam konteks spiritual belaka. Ada konstruksi sosial, politik, hingga etis dalam pemakaiannya. Sebab, selalu ada motif spesifik yang menggerakkan orang untuk mengenakannya.

Nah masalahnya, ketika ujug-ujug Jaksa Pinangki, tersangka kasus dugaan suap Djoko Tjandra menggunakan jilbab, saya jadi bertanya-tanya. Sedikit cemas melihat fenomena itu muncul lagi untuk kasus suap sebesar ini.

Apa yang hendak dikatakan oleh Jaksa Pinangki melalui jilbab itu? Apakah bahasa simbol yang terkandung saat berjilbab pasca-penetapan sebagai tersangka belum basi? Bukankah ini cara yang tak lagi efektif bagi tersangka suap atau korupsi?

Oke, saya tahu, fenomena ini bukan yang pertama. Pemakaian jilbab di pengadilan mudah kita jumpai pada satu dekade terakhir di tanah air. Di luar penggunaan di pengadilan, dinamika berjilbab justru menjadi persoalan yang terus berkelanjutan.

Bahkan preferensi penggunaan jilbab pun mulai sering dipertanyakan. Sekadar gegayaan atau ekspresi kesalehan?

Saya tidak hendak bicara penggunaan jilbab yang sebatas gegayaan meskipun berbagai kalangan mengkritiknya dalam konteks komodifikasi agama berbau kesalehan. Akan tetapi, saya hendak mengasihani para tersangka korupsi atau suap yang mengira kalau jilbab mampu menyampaikan bahasa kesalehan di pengadilan.

Dari cara melihat fungsinya bagi Jaksa Pinanki, jilbab telah bergeser statusnya. Pada zaman dahulu kala, dalam buku Islam dan Teologi Pembebasan karya Asghar Ali Engineer misalnya, jilbab pada mulanya dikenakan agar wanita tidak digoda oleh laki-laki. Sayang, pada masa ketika para pejabat ditangkap satu per satu, fungsi jilbab malah jadi alat penggoda keputusan hukum.

Setelah media-media menemukan Jaksa Pinangki dalam keadaan berjilbab, di antara kita mungkin ada yang masih dibikin terheran-heran karena ada seorang tersangka dengan preferensi negatif bersatu dengan jilbab dengan preferensi positif.

Dalam keadaan itu, apa yang terjadi pada jilbab? Jilbab jadi lebih kuat dari pengacara pengaruhnya? Jadi pelindung dari pasal-pasal jaksa penuntutnya? Atau jadi tameng vibranium dari pandangan kesal masyarakat Indonesia?

Iklan

Kontradiksi antara jilbab dengan perilaku jahat mengandaikan bahwa jilbab sebagai representasi kesalehan atas orang yang mengenakannya. Maka, secara tidak langsung fungsi jilbab tersebut menguatkan asumsi publik mengenai aspek kesalehan yang hanya melekat dalam busana.

Lebih parahnya, pertobatan yang bermuatan simbolis seperti berjilbab menjadikan stigma “tidak berjilbab” sebagai suatu kesalahan, atau mungkin jadi suatu kejahatan.

Ketika melakukan kejahatan, Jaksa Pinangki tidak mengenakan jilbab. Kemudian, dia melakukan pembalikan mode tampilan secara simbolis dengan mengenakan jilbab sebagai tanda pertobatan.

Secara tidak langsung, Jaksa Pinangki menunjukkan bahwa dirinya yang tidak berjilbab sebagai seseorang yang berperilaku jahat, sebaliknya, dia yang mengenakan jilbab adalah seseorang yang “pasti” berperilaku baik. 

Oleh Jaksa Pinangki, jilbab akhirnya dikaitkan dengan baik-buruk tindakan sosial. Bahkan sekalipun dalam konteks kenegaraan yang sifatnya duniawi.

Persoalannya kemudian, apakah pertobatan tidak menjadi layak bagi orang-orang seperti ini?

Ya, boleh. Perbuatan para tersangka korupsi atau suap yang ujug-ujug berjilbab memang hak yang patut dihormati. Hal yang ingin saya sorot adalah soal terbangunnya citra negatif ke orang-orang yang tidak mengenakan jilbab, gara-gara oknum pejabat atau abdi negara model begini.

Pleidoi jilbab Jaksa Pinangki ini mengajarkan bahwa yang tidak berjilbab memiliki perilaku buruk, serta orang yang berjilbab perangainya baik. Jilbab jadi semacam fase baginya. Jika ia dulu buruk berarti sekarang telah bertobat, dan tobat itu diwujudkan dalam jilbab sebagai “pleidoi” pengadilan.

Selain itu, dengan memakai jilbab ketika ditetapkan sebagai tersangka korupsi atau suap, secara tidak langsung publik disadarkan bahwa para tersangka ini memang tidak pernah peduli dengan tanggung jawab jabatannya.

Lah gimana? Para pemakai jilbab dadakan ini kan ditetapkan sebagai tersangka atas delik hukum pidana Indonesia yang asal usulnya dari DPR dan yang diambil dari Belanda, bukan berdasarkan delik hukum dari malaikat.

Ketika jelas-jelas kalah dari segi hukum positif dan malah kabur ke citra spiritual, hal ini memperlihatkan bahwa koruptor atau penerima suap ini lebih terpukul secara moral-etis-agama ketimbang tanggung jawab jabatannya.

Kesalahannya publik, kejahatannya berdampak luas, eh minta maafnya privat.

Lucunya, selain tidak sadar akan pertanggungjawaban publiknya, mereka lupa kalau pengadilan yang mengurusi kejahatannya adalah pengadilan negeri, bukan pengadilan agama. Dikira sengketa waris apa ya?

BACA JUGA Desain Hijab Syar’i untuk Muslimah Berjiwa Cyborg atau tulisan Ang Rijal Amin lainnya.

Terakhir diperbarui pada 16 September 2020 oleh

Tags: Djoko Tjandrajaksa pinangkiJilbabkorupsisuap
Ang Rijal Amin

Ang Rijal Amin

Anggota komunitas literasi Ma Lino. Tinggal di Yogyakarta.

Artikel Terkait

korupsi politik, budaya korupsi.MOJOK.CO
Ragam

Budaya Korupsi di Indonesia Mengakar karena Warga “Belajar” dari Pemerintahnya

16 September 2025
nadiem makarim, pendidikan indonesia, revolusi 4.0.MOJOK.CO
Aktual

Kasus Nadiem Makarim Menunjukkan Kalau Lembaga Pendidikan Sudah Jadi “Inkubator Koruptor”

8 September 2025
‘Katanya Pancasila, Tapi Pakai Jilbab Saja Tak Boleh’ - Cerita Pekerja Jakarta yang Dipecat Gara-gara Tak Mau Melepas Hijab.MOJOK.CO
Ragam

‘Katanya Pancasila, Tapi Pakai Jilbab Saja Tak Boleh’ – Cerita Pekerja Jakarta yang Dipecat Gara-gara Tak Mau Melepas Hijab

21 Januari 2025
Dear, Prabowo: Koruptor Itu Dikasih Efek Jera, Bukan Malah Diampuni.MOJOK.CO
Aktual

Dear, Prabowo: Koruptor Itu Dikasih Efek Jera, Bukan Malah Diampuni

2 Januari 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.