MOJOK.CO – Untuk Prabowo, politikus 02, dan para peserta aksi 22 Mei, kalah bukan akhir semuanya. Inilah kiblat belajar bagi mereka yang kalah di Pemilu 2019.
Kita akhirnya tiba di sebuah hari, ketika harapan, survei, dugaan dan keyakinan para politisi, berhadapan muka dengan kenyataan yang sebenarnya. KPU telah mengumumkan hasil Pemilu 2019, sehari lebih gesit dari jadwal seharusnya. Jokowi menang, dan Prabowo kalah. Kenyataan pahit yang betulan terjadi.
Yang sungguhan menang, boleh sujud syukur dan merayakannya di sela-sela waktu berbuka. Meskipun manusia seperti kita, kerap memperlakukan sujud dan syukur sebatas ikhtiar dan gagah-gagahan belaka.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh mereka; Pak Prabowo, politikus, peserta aksi 22 Mei, yang takluk dalam Pemilu? Nasihat terbaiknya adalah putar lagi wejangan Mario Teguh. Ia seperti diciptakan secara khusus oleh Tuhan untuk orang-orang kalah, seperti juga ia telah dihibahkan bagi mereka yang patah hati seperti Pak Prabowo dan peserta aksi 22 Mei.
“Kalau kita telah berupaya keras, tapi tetap gagal, mau lanjut atau berhenti?” tanyanya sekali waktu. Tentu saja, nasib orang kalah tidak segampangan omongan Om Mario.
Saya agaknya percaya, masa depan negeri ini tidak hanya ditentukan oleh mereka yang unggul dalam perayaan demokrasi lima tahunan. Toh jumlah mereka tidak seberapa dibandingkan orang-orang yang impiannya dipecundangi kenyataan di luar konteks Pemilu. Bagaimanapun juga, Pemilu selalu menghasilkan lebih banyak orang kalah daripada mereka yang beruntung. Jika pada yang menang kita menaruh harapan akan Indonesia yang lebih bergemuruh, lalu apa yang bisa diharapkan pada Prabowo dan peserta aksi 22 Mei; mereka yang tersisih?
Konon, Niccolo Machiavelli menuliskan Il Principe setelah takluk dalam perang. Di tempat pembuangannya, Machiavelli menuliskan siasat yang diperlukan oleh seorang penguasa untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. “Agar penguasa dipandang dan didengar, ia harus tampak berbelas kasih, setia, punya integritas, kemanusiaan, dan agama,” tulisnya perihal cara penguasa menjaga kesetiaan.
Karya masyhur itu barangkali tak akan pernah kita baca, seandainya Machiavelli menghabiskan hari-hari di pembuangan dengan berpura-pura juara sambil mencaci maki nasibnya sendiri.
Kasus serupa dialami Pramoedya Ananta Toer bertahun-tahun kemudian. Ia tumbang di tangan rezim yang tak adil. Pram lalu dibuang ke Pulau Buru. Alih-alih menuliskan “wasiat”, Pram memilih melahirkan tetralogi, yang di kemudian hari membuat namanya diwacanakan masuk nominasi nobel sastra.
“Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya!” Kalimat Nyai Ontosoroh di halaman akhir Bumi Manusia ini bisa dijadikan kekuatan untuk menerima kekalahan. Percayalah, Pram juga menuliskan itu untuk mereka yang telah sengit berjuang, tapi malah melutut dalam Pemilu.
Barangkali kekalahan yang mirip nasib Pak Prabowo dan pendukungnya di aksi 22 Mei dialami sastrawan Peru, Mario Vargas Llosa. Dua kali ia ikut bertarung di pemilu Peru, dua kali pula ia tumbang oleh lawan yang sama. Persis seperti Prabowo di hadapan Jokowi. Rakyat lebih memilih Alberto Fujimori yang kemudian dituduh melakukan banyak kejahatan dalam pemerintahannya.
Mario Llosa tak pandai bersujud syukur atas kekalahannya atau berpura-pura merayakan keunggulan setelah pemilihan selepas “KPU Peru” mengumumkan Fujimori sebagai kampiun. Dua kali kalah membuatnya tahu diri. Kekuasaan tidak bisa membuat seseorang abadi.
Sesuatu terjadi bertahun-tahun kemudian setelah pemilu Peru dan kekalahan mendera Mario Llosa. Ia menuliskan Lima Sudut, sebuah novel yang mengambil latar Peru. Lewat tulisannya, ia mengkritik habis-habisan demokrasi Peru yang berjalan pincang.
Melalui pengalaman Mario Llosa, sastra adalah pilihan untuk membalas, semacam ikhtiar untuk menuntaskan dendam atas kehancuran dalam pemilu. Melalui novel tersebut, ia mengkritik media yang tampaknya dipelihara pemerintah untuk melanggengkan kepentingannya sendiri. Elegan memang. Tentu saja hal itu tidak mengubah kenyataan. Mario Vargas Llosa tunduk, tapi kemudian ia unggul dalam soal lain dan menerima nobel sastra.
Tentu saja perihal menerima kekalahan dalam pemilu tak segampang move on setelah ditinggal pergi kekasih ya Pak Prabowo dan peserta aksi 22 Mei?
Move on selepas kekalahan dalam pemilu tampak sukar diupayakan, sebab orang kerap mencurahkan lebih banyak waktu dan penghasilan (juga pinjaman) untuk kemungkinan sukses yang lebih pipih dari selapis tisu.
Apapun itu, kekalahan dalam berbagai bentuknya harus bisa diterima. Bagaimana pun caranya, betapa pun sakitnya, meski harus bersandar pada omongan Om Mario. Satu hal yang sangat benar ialah kenyataan bahwa banyak orang yang justru makin menggeliat hebat setelah tumbang dalam gelanggang pertarungan. Bagi mereka, kemenangan yang sejati ditemukan setelah upaya bangkit dari keterpurukan. Seperti Machiavelli, Pram, atau Mario Llosa.
Saya perlu menambahkan beberapa nama, untuk membebaskan diri dari kemungkinan tuduhan membual.
Anjie dan Judika pernah tersisih di gelanggang pertarungan pencarian bakat. Sementara Anjie pulang lebih dahulu di fase awal Indonesian Idol, Judika menyerah di partai puncak setelah bertarung sengit melawan mendiang Mike Mohede.
Mereka tidak mengutuk penyelenggara atau berpura-pura juara. Berbekal hati lapang, keunggulan lawan diakui. Hal yang mengagumkan ialah bahwa cerita mereka tidak berakhir di panggung kekalahan itu. Mungkin pada mereka, Om Mario memberikan nasihatnya untuk kali pertama. “Kalau kita telah berupaya keras, tapi tetap gagal, mau lanjut atau berhenti?”
Pilihan mereka? lanjut! Apa yang terjadi kemudian? Anjie melejit bersama Drive, sebelum makin gemilang dengan solo karier sambil menghidupkan kanal Youtube DuniaManji. Hal yang sama terjadi pada Judika. Ia makin bersinar sebagai penyanyi hebat selepas kekalahan di Indonesian Idol itu.
Bagi mereka, bukan kalah dan menang dalam gelanggan pertarungan yang menentukan langkah, tetapi cara berjuang sesudahnya. Yah, pertarungan di Indonesian Idol barangkali tak serumit pertarungan Pemilu.
Ribuan tahun sebelum Bidadari Tak Bersayap karya Anji dirilis, jauh sebelum Yesus Kristus lahir, sosok Marcus Tullius Cicero lebih dulu tumbuh. Ia juga pernah merasakan getir kekalahan dalam langkah karier politiknya. Mirip dengan kekalahan Pak Prabowo dan peserta aksi 22 Mei.
Sekali waktu, ia dibuang dari Roma. Pada masa pengasingan itu, ia menulis traktat filsafat, politik, dan puisi. Cicero memang tidak kembali ke Roma sebagai kaisar sebagaimana Julius Caesar. Namun, setelah berabad-abad, kita masih mengenal namanya, masih bisa membaca karyanya. Seakan ia abadi. Lagi-lagi mukjizat orang kalah!
Lalu, bagaimana Prabowo, politikus 02, dan peserta aksi 22 Mei; orang-orang yang takluk dalam Pemilu 2019? Saya hanya bisa lamunkan suatu waktu setelah ceracau sepanjang proses itu berlalu, yang muncul adalah karya-karya seni.
Orang-orang menuliskan karyanya, entah novel, puisi, humor atau sebentuk balada. Bukan sebatas caci maki dan sepotong wasiat. Saya bayangkan literatur ilmu politik atau sastra yang grande dan bikin Indonesia makin jaya.
Jika tidak berlebihan, izinkan saya melamunkan suatu keajaiban yang mungkin agak ganjil. Bertahun-tahun kemudian, Pak Prabowo barangkali akan menuliskan novel seperi Lima Sudut di tangan Mario Vargas, sebuah ikhtiar mengkritik pemerintah melalui sastra yang sudah sering dituduh curang!