Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Tentang Nasionalisme dan Tuhan yang Ternyata Tinggal di Bali

Robi Sugara oleh Robi Sugara
26 Juni 2016
A A
bali
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

April 2016.

Dua bulan yang lalu, saya bertemu dengan Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta-Jawa Barat. Bupati yang diberi gelar Si Raja Syirik oleh “Daulah” FPI (Front Pembela Islam) karena keberadaan sejumlah patung di daerahnya. Menurut FPI, Purwakarta adalah kota santri. Akan tetapi, setelah Dedi Mulyadi menjabat, kota ini berubah menjadi kota syirik yang dikelilingi oleh patung-patung dan pohon dilapisi kain bercorak putih-hitam lengkap dengan bau kemenyan. Dari situlah, Dedi atau dipanggil juga Kang Dedi mendapat gelar tersebut: Si Raja Syirik.

Sejak lama saya sebenarnya ingin bertemu dengan Kang Dedi. Keinginan saya bertemu dengannya karena didorong oleh pertama pemberitaan kontroversi patung-patung yang berdiri tegak di setiap sudut kotanya dan kedua karena Purwakarta saat ini bersih, rapih, teratur, dan terlihat cantik. Dorongan plus-plus yang menggugah saya ingin bertemu dengannya juga karena julukan Si Raja Syirik itu tadi. Meski sebenarnya kalau FPI kurang suka dengan Dedi Mulyadi tidak seharusnya diberikan gelar raja.

Yang pantas itu, saran saya, ya pemuja berhala. Itu saran gratisan dari saya. Silakan jika berkenan bisa digunakan cuma-cuma.

Untuk ukuran kepala daerah yang jam terbangnya super sibuk, pertemuan saya dengan beliau berlangsung tidak sebentar. Kami bertemu di rumah dinasnya yang begitu indah dengan lapisan kayu dan dikelilingi taman. “Kita buka jendelanya biar udara masuk. Rumah ini tidak menggunakan AC (Air Conditioner) karena semuanya berasal dari alam,” ungkap Dedi. Di dalam rumah dinasnya ada lukisan Prabu Siliwangi dan Nyi Roro Kidul. Juga terdapat mungkin ratusan wayang golek yang berjajar di beranda rumahnya.

Di hadapan saya, Kang Dedi bercerita tentang nasionalisme bangsa Indonesia. Menurutnya, esensi nasionalisme bangsa ini perlahan-lahan sudah mulai merosot karena semua selesai cukup hanya dengan disimbolisasikan lewat upacara dan hormat bendera. Akan tetapi, ia tidak diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Di antara wilayah di Indonesia, lanjut Kang Dedi, yang paling nasionalis adalah Bali. Lebih tepatnya, orang-orang Hindu di Bali. Ia menjelaskan, Hindu di Bali itu tidak mutlak merujuk kepada sumbernya di India di mana agama itu lahir di sana. Orang Hindu-India pun enggan mengakui bahwa itu Hindu-Bali merujuk ke India karena kentalnya unsur lokalitas setempat.

Namun, justru karena itulah kaum Hindu-Bali, menurut Kang Dedi, sudah berhasil “membawa” Tuhannya untuk tinggal di Bali bersama dengan mereka. Hal tersebut membuat mereka turut mencintai tanah kelahirannya, juga budaya leluhur, dan segala peninggalannya. Pengaruh oleh budaya Hindu yang ada di India tidak serta merta diserap total begitu saja oleh kaum Hindu-Bali.

Kejadian tersebut kemudian dibandingkan oleh Kang Dedi dengan apa yang terjadi di kalangan umat Islam dan Nasrani (Khususnya Katolik) di Indonesia.

Secara geografis, sebagaimana kita tahu, Tuhan dari kedua agama tersebut tidak hadir secara langsung di Indonesia. Umat Islam, misalnya, entitas (ke)tuhan(an) mereka lebih condong ke Arab karena alasan historis. Maka yang terjadi kemudian adalah adaptasi budaya antara Islam-Arab ke Indonesia. Ironisnya, hal ini kemudian menimbulkan klaim yang salah kaprah: Semakin Arab seorang Indonesia, maka ia dinilai semakin Islam. Pun demikian yang terjadi dengan Katolik di mana mereka lebih berkiblat pada Vatikan.

Kembali ke tentang Tuhan yang tinggal di Bali. Pada tahun 2015 lalu, seorang sutradara Jepang bernama Toshio Lee pernah membuat film yang berjudul “Kami Sama ha Bali ni iru”. Jika dibahasaindonesiakan, arti judul tersebut kira-kira menjadi “Tuhan Ada di Bali”. Namun, dalam bahasa Inggris, film yang dibintangi Shinichi Tsutsumi, Machiko Ono, dan Hiroshi Tamaki ini diberi judul, “Bali Big Brother”.

Diangkat dari novel “Dekasegeba Daifugo” (“If You Work Abroad You Can Become a Tycoon”) karya Sho Kuroiwaini, film ini berkisah tentang seorang pengusaha Jepang yang membantu masyarakat miskin di Bali. Pengusaha tersebut berpendapat, mungkin dengan bisa membantu masyarakat miskin di Bali lewat pendidikan, itu sudah sebuah jalan bagi Tuhan.

Sebelumnya, film tentang Bali juga pernah dibuat oleh Hollywood dengan judul, “Eat, Pray, Love” yang dibintangi oleh artis papan atas Julia Robert. Film ini juga menjadikan Bali sebagai destinasi spiritual dalam pencarian Tuhan.

Sejujurnya, kisah tentang “keagungan” spiritualitas Bali bukan pertama kalinya saya dengar. Pun dengan nasionalisme Bali terhadap Indonesia. Seseorang dari Bali pernah mengatakan kepada saya hal serupa dengan yang dibilang Kang Dedi tadi: Hanya Hindu-Bali yang tidak pernah membangkang pada Indonesia.

Iklan

Anda mungkin terkejut, tapi silakan bandingan sendiri opini tersebut dengan fakta historis yang terjadi di negeri ini. Kendati tak mutlak benar, tapi kita bisa lihat bagaimana geliat pemberontakan Darul Islam (DI) atau Negara Islam Indonesia (NII), juga Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terhadap NKRI. Sementara di Nasrani, ada Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Republik Maluku Selatan (RMS) yang juga melakukan pembangkangan atas nasionalisme.

Hindu-Bali, menurut seseorang tadi, juga tidak pernah mempersoalkan meski agama mereka pernah menjadi mayoritas pada masa dahulu kala di Nusantara. Tidak pernah ada keinginan sejengkal pun, katanya lagi, untuk kembali merebut Nusantara dan meng-Hindu-kan seluruh orang. Sebuah sikap yang bersebrangan dengan beberapa kelompok ekstremis agama lain di negeri ini yang kerap getol memaksa orang menghormati agamanya atau, lebih jauh, mengubah dasar negara sesuai agama mereka.

Sebagai salah satu contoh, misalnya, kelompok Hizbut Tahrir (HTI) kerap bersuara nyaring ingin merebut kembali sejumlah wilayah yang dulu pernah dikuasai oleh kerajaan Islam.

Menjelang usai pertemuan, Kang Dedi mengatakan bahwa nasionalisme hanya akan berhasil ketika masyarakat bisa mengawinkan ideologi dari luar dengan yang lokal. Ketika mereka saling menghargai antara “Assalamualaikum” dan “Sampurasun” tanpa harus mempersoalkan mana yang harus diucapkan duluan, atau mana yang lebih pantas dihormati. Sebab sebenarnya, wabilkhusus dalam Islam, Tuhan selalu berjarak dekat dengan para mahluk ciptaan-Nya:

“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwa Aku itu dekat.” (Al-Baqarah: 186).

Terakhir diperbarui pada 4 Maret 2021 oleh

Tags: AgamaBaliHinduIndonesiaIslamKatolikNasionalismeTuhan
Robi Sugara

Robi Sugara

Artikel Terkait

Katolik Susah Jodoh Tolong Jangan Login dan Ambil Jatah Kami MOJOK.CO
Esai

Cari Pasangan Sesama Katolik itu Susah, Tolong Jangan Login dan Ambil Jatah Kami

13 November 2025
intoleransi, ormas.MOJOK.CO
Ragam

Pemda dan Ormas Agama, “Dalang” di Balik Maraknya Intoleransi di Indonesia

19 September 2025
Guru SD dari Badung, Bali, menabung lama demi antar anak ke Audisi Umum PB Djarum 2025 Kudus MOJOK.CO
Ragam

Guru SD Bali Menabung-Seberangi Laut demi Anak Kejar Mimpi Bulu Tangkis di Kudus, Kebal Sorakan yang Menjatuhkan Mental

12 September 2025
Catatan Kritis Atas Reduksionisme Biologis Pemikiran Ryu Hasan MOJOK.CO
Esai

Catatan Kritis Atas Reduksionisme Biologis Pemikiran dr. Ryu Hasan

3 Juli 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

musik rock, jogjarockarta.MOJOK.CO

JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan

5 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.