Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Rasis Adalah Kita

Bayu Indrakrista oleh Bayu Indrakrista
22 Juli 2016
A A
Rasis Adalah Kita

Rasis Adalah Kita

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Negeri Paman Sam saat ini sedang dilanda demam Donald Trump. Sosok yang dua tahun lalu hanya terkenal sebagai taipan properti dan sesekali narsis di acara reality show itu kini menjadi satu dari dua manusia yang bisa berjibaku merebut kursi presiden negara adidaya itu (Iya, ada calon-calon dari partai di luar Demokrat-Republik, tapi perhitungan rasional apapun menunjukkan peluang mereka tipis).

Senjata andalan Trump tidak main-main. Retorikanya bisa dibilang avant garde, meskipun membuat pidato Trump terkesan tidak elegan (dan lebih cenderung ke arah menjijikan). Tapi justru gaya bicara kampungannya itulah yang mendadak digandrungi banyak warga AS –yang mungkin sudah terlalu bosan dan muak dengan politikus anteng yang serba normatif.

Substansi omongannya tidak banyak, tapi jelas, tegas, dan thas-thes: rasis, xenophobic, bigotry. Bagaikan sebuah skrip ‘reality’ show, jurus Trump berhasil mempesona puluhan hingga ratusan juta masyarakat ‘Murica.

Tapi mereka tidak sendiri. Keberhasilan kelompok Brexit (yang benar-benar British Exit, bukan julukan untuk pintu keluar tol baru di daerah pantura itu) memenangi referendum merupakan hasil dari retorika macam jurusnya Trump. Rakyat Inggris Raya ditakut-takuti dengan klaim-klaim yang mengaitkan Uni Eropa serta kebijakan imigrasi, dengan keterpurukan ekonomi-sosial-kultural yang sebenarnya entah segawat itu atau tidak.

Ada juga sejumlah pemimpin yang dinilai mulai membangun kerajaan otoriter melalui cara-cara sejenis, seperti Recep Tayyip Erdoğan di Turki yang baru saja selamat dari ‘kudeta’.

Lalu, bagaimana dengan negeri kita ini, Indonesia raya?

Agak berbeda dengan kasus-kasus di belahan bumi barat, iklim demokrasi Indonesia kontemporer tidak mengenal kategorisasi politik berdasarkan ideologi. Lagu lama “tidak ada kawan lawan abadi dalam politik, yang ada adalah kepentingan abadi” lestari dalam duni politik kita terutama berkat Orde Baru. Karena itu, penggunaan jurus politik bigotri sulit dilekatkan sepenuhnya pada kelompok tertentu dari waktu ke waktu.

Namun, contoh nyata politik bigotri di Indonesia jamak terjadi di sana-sini. Terutama di tingkat daerah. Penyebabnya masih belum begitu jelas, tapi polanya mengarah ke ranah politik daerah. Paling sering sih terkait agama. Isu Perda Syariah kerap wara-wiri di lini masa medsos kita. Atau penutupan/penyerangan/penggerebekan/penertiban acara-acara yang dikhawatirkan akan membuka gerbang neraka. Peristiwa penutupan warung makan secara paksa dengan alasan ibadah puasa yang berakhir dramatis beberapa waktu yang lalu itu sebenarnya juga sudah cukup bigotri, walau dalam taraf yang sangat kecil.

Untuk politik rasial yang totok mengulik perbedaan ras (bukan agama) memang agak jarang terjadi pada beberapa dasawarsa belakangan. Terakhir kali fenomena serupa terjadi saat geger 1998, terhadap warga keturunan Tionghoa. Setelah itu, politik rasis tidak terlalu banyak nongol lagi.

Tapi tetap ada. Baru-baru ini terjadi, tapi tidak banyak mendapat jatah liputan media. Bukan kepada masyarakat keturunan Tionghoa, tapi pada kelompok minoritas lain.

Kejadiannya di Jogja, daerah yang selama ini mengklaim diri sebagai etalase semangat multikulturalisme di Indonesia. Dengan alasan subversif dan separatis, kebebasan berbicara warga minoritas di daerah yang konon istimewa itu, dipasung. Mereka dituduh sebagai siluman anjing dan babi, seperti Ti Pat Kai mungkin. Lebih buruk lagi, aparat keamanan bertindak tegas untuk membiarkan ulah diskriminatif itu terus terjadi. Istimewa!

Barangkali kelompok pengunjuk rasa itu punya mimpi bisa jadi seperti warga southerner di US sana. Para redneck itu bebas mengibarkan bendera Konfederasi sepanjang masih dalam ranah privat, sebagai bukti kebebasan berbicara dan berpendapat. Beda, ini Indonesia, bung!

Aduh, kasian benar mereka. Dulu dipaksa bergabung, dengan janji akan ikut dimakmurkan. Tapi kemudian tetap miskin, serta dianggap warga kelas dua bahkan di rumah sendiri. Ya wajar to, kalau mereka lantas ingin membuka peluang untuk bisa mengatur nasib sendiri. Toh ada beberapa daerah lain yang pernah menuntut berpisah dari kesatuan dengan berbagai cara, dari adu senjata sampai referendum. Termasuk si daerah yang konon istimewa tadi.

Tapi tampaknya, ada saja kaum minoritas di negeri ini yang tidak akan pernah merasakan nikmatnya previlese tersebut. Mereka yang sepanjang umurnya akan dianggap berbeda, dan bukan bagian dari bangsa. Entah mengapa. Barangkali karena tampak muka yang sangat berbeda.

Iklan

Ya bagaimana mau tidak berbeda. Indonesia barangkali satu-satunya negara di planet ini yang di dalamnya terdapat lebih dari satu ras asli setempat (ras lho ya, bukan etnis atau suku). Beda dengan, lagi-lagi, AS yang meskipun punya warga Kaukasian dan Negroid, tapi dua-duanya bukan penduduk asli (yang adalah masyarakat Indian-Amerika).

Padahal dulu dengan bangga Bung Karno menggandeng mereka sebagai bagian dari negara ini, menjadi satu kesatuan dalam jargon “Ini Republik Indonesia Anti Netherland”. Tapi waktu juga yang membuktikan, janji sekadar janji. Tidak ada lagi kebanggaan untuk melestarikan jargon tersebut.

Sekarang, ya itu tadi. Bumi mereka kaya, jadi perlu dihisap untuk kemakmuran bersama. Tapi terutama untuk kalangan pusat dulu ya. Dan kalau wargamu berpindah daerah untuk meraup ilmu atau mencari nafkah, akan diperlakukan diskriminatif ya. Dan kalau tidak puas, tidak boleh protes ya. Dan kalau protes, ditanggapi dengan kekerasan plus dicap sebagai sumber kekerasan itu sendiri ya. Dan kalau sudah dikerasi, ya gimana lagi, wong situ separatis dan mengancam keutuhan NKRI. Ya itu tadi.

Salam #raisadalahkita, eh maksud saya, #rasisadalahkita ding…

Terakhir diperbarui pada 11 Agustus 2021 oleh

Tags: Papuarasistrump
Bayu Indrakrista

Bayu Indrakrista

Artikel Terkait

Rugi Buka SPBU di Papua? DPR Bisanya Cuma Omong Kosong MOJOK.CO
Esai

Rugi Buka SPBU di Papua? Kalau DPR Menantang, Korporasi Bisa Menantang Balik karena DPR Cuma Bisa Melempar Retorika

3 Oktober 2025
Sejarah Indonesia Berisi Kekerasan dan Negara Paksa Kita Lupa MOJOK.CO
Esai

Sejarah Indonesia Berisi Luka yang Diwariskan dan Negara Memaksa Kita untuk Melupakan Jejak kekerasan itu

30 September 2025
Raja Ampat, Amazon Laut Papua Rusak karena Tambang Nikel MOJOK.CO
Esai

Anak Muda Raja Ampat Menantang Tambang Nikel: Ketika Tambang Nikel Merusak Amazon Laut Milik Rakyat Dunia

5 Juni 2025
Ketika Negara Membungkam: Fakta Kelam Peristiwa Genosida Papua 1977
Video

Ketika Negara Membungkam: Fakta Kelam Peristiwa Genosida Papua 1977

3 Mei 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.