ADVERTISEMENT
Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Punya Bapak Bule Itu Ribet, Kalau Belanja Dikasih Harga Tinggi Padahal Kami Cah Sewon, Wong mBantul Kidul Kono

Katharina Stogmuller oleh Katharina Stogmuller
31 Oktober 2020
0
A A
Punya Bapak Bule Itu Ribet, Kalau Belanja Dikasih Harga Tinggi Padahal Kami Cah Sewon, Wong mBantul Kidul Kono MOJOK.CO

Punya Bapak Bule Itu Ribet, Kalau Belanja Dikasih Harga Tinggi Padahal Kami Cah Sewon, Wong mBantul Kidul Kono MOJOK.CO

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Karena bapak saya bule, rasanya jadi ribet banget kalau ambil rapor di sekolah. Apalagi kalau lagi belanja. Dikasih harga tinggi karena bule, padahal wong mBantul!

Saya sering ditanya teman-teman rasanya punya bapak bule. Bukannya mau sombong atau gimana, tapi emang beneran, biasa aja rasanya.

Saya malah sering menemukan kesulitan karena Bapak saya bule. Misalnya aja nih, ketika duduk di bangku sekolah, saya kapok meminta bapak saya yang mengambil rapor. Kalau bukan karena kepepet atau Ibu saya nggak bisa mengambilkan, ya saya nggak akan pernah mau kalau Bapak saya yang mengambilkan rapor.

Saya itu bingung. Kenapa ya kebanyakan orang takut lihat orang dari luar, apalagi kalau orang itu tiba-tiba mendekat, kita udah melihat orang luar itu bagaikan genderuwo. Kita langsung mingkup dan takut. Kebanyakan sih pada takut kalau diajak ngomong bahasa Inggris. Itulah yang menjadi alasan saya malas bila Bapak yang mengambilkan rapor. Semasa sekolah, hanya sekali saja Bapak saya yang mengambilkan rapor, ya habis itu saya kapok, nggak mau lagi.

Ketika Bapak mengambil rapor, guru saya sepertinya sudah terlebih dahulu panik. Sepertinya beliau takut kalau Bapak saya tiba-tiba melontarkan kata-kata dalam bahasa Inggris. Padahal ya piye ya, Bapak saya saja sudah bertahun-tahun tinggal di Indonesia. Malah sekarang sih logatnya udah mirip Mbak Soimah, HOKH YHAAA HOKH YHAAA. Tapi mbok saestu menawa Bapak saya diajak berbicara bahasa Jawa ya beliau juga mengerti, kok!

Saya bisa melihat wajah guru saya pucat pasi ketika Bapak maju dan duduk di bangku orang tua siswa. Selalu muncul pertanyaan seperti ini: 

“Maaf, apakah Bapak bisa berbicara bahasa Indonesia?” Seakan tidak percaya dengan kata yang sudah diucapkan.

Padahal sebelumnya ya, guru saya sudah mendekati saya dan berbisik-bisik:

“Eh, Bapakmu iso ngomong basa Indonesia ora?” Guru saya berbisik sebisa mungkin tidak terdengar oleh Bapak saya.

“Inggih saged to, Bu.”

“Aku ki deg-degan nek ketemu Bapakmu, aku ki raiso ngomong Inggris je.”

Saya sendiri juga nggak paham, kenapa bule selalu identik dengan jago bahasa Inggris. Padahal ya kemampuan bahasa Inggris Bapak saya sama jeleknya seperti saya. Beneran deh. Jelek! Tapi bukan berarti saya nggak bisa ngomong bahasa Inggris sama sekali! Saya pernah berkali-kali mengatakan Inggris saya nggak bagus-bagus amat, eh malah diejek. Ketika saya memutuskan untuk ikut kursus-kursus bahasa Inggris malah makin diejekin, piye to!

“Bapakmu kan londo, Bul! Ngopo ndadak melu kursus!”

Lha saya ini pengen meng-upgrade kemampuan saya masak ya diejekin, cobo yo rupaku Jowo mesti ra ngono!

Pernah juga saya malah digibahin pakai bahasa Inggris. Mbok tulung yo mas mbak, aku ki ngerti sampeyan ngomong opo lho! Wis jian….

Pengalaman yang saya rasakan ini ternyata juga turun ke adik saya. Bahkan, adik saya cenderung lebih bar-bar daripada saya. Dia langsung ngambek kalau tahu Bapak yang mengambilkan rapor.

Katanya nanti kasihan guru-gurunya bingung ketemu Bapak saya. Dia juga nggak mau kalau ketahuan bapaknya bule. Adik saya lebih suka diakuin sebagai orang Jawa. Ya sama sih seperti saya.

Setiap saya mengatakan saya berasal dari mBantoel, eh nggak ada yang percaya. Katanya muka dan nama saya nggak cocok. Mungkin harusnya Bapak dan Ibu saya dulu memberikan nama yang lebih njawani bukan yang keminggris seperti ini! Saya kan jadi lebih mudah untuk mengaku kalau saya ini orang mBantoel.

Bapak saya bahkan dulu pernah mengusulkan untuk mengganti nama saya yang terlalu ke-eropa-eropaan dan menghilangkan familie name yang diturunkan oleh bapak saya.

Saya sempat memikirkan nama panggilan saya yang bagus seperti “Tutik” yang lebih njawani. Mungkin kalau saya memperkenalkan diri sebagai “Tutik”, orang-orang akan lebih percaya saya berasal dari Jawa.

Memiliki bapak bule juga ribet, terlebih lagi ketika akan memasuki objek-objek wisata yang turisable banget. Sekarang, Bapak saya lebih memilih untuk nunggu di luar dan tidak masuk ke objek wisata karena ada perbedaan harga antara wisatawan asing dan lokal.

Ha mbok tulung, masak harganya bisa beda hampir 10 kali lipat! Sangat tidak manusiawi bagi kami satu keluarga yang berasal dari Sewon hanya untuk terlihat sedikit gaul!

masak saya dan Bapak harus menunjukkan paspor! Mbok tulung sopo le meh gowo paspor opo meneh aku, Pak! Mosok yo, saya dan Bapak saya kena harga wisatawan asing sedangkan ibu dan adik saya kena harga mBantul. Masak satu keluarga harganya bisa beda-beda! Mbok sekalian semua kasih harga wisatawan asing semua saja!

Saya juga mengalami kerepotan apabila mengajak Bapak ikut berbelanja di toko-toko yang tidak mematok harga pas. Karena wajah Bapak yang sangat bule, bukannya dapat barang dengan harga murah, malah dapat barang dengan harga selangit. Udah saya nggak bisa nawar, ditambah Bapak saya ikut. Dikira kami beneran wisatawan asing, padahal wong Sewon kidul kono! Hal itu membuat saya tambah kapok!

“Papa tu kalo ikut aku beli-beli mesti aku kena harga yang lebih mahal e, mbok Papa di rumah aja nggak usah ikut aku!”

Akhirnya dulu kalau belanja-belanja saya lebih milih ditemani Ibuk saya, padahal ya dulu kalau minta uang ke Bapak. Sungguh saya anak durhaka!

BACA JUGA Wajah dan Nama Saya Boleh Bule Jerman tapi Lidah Tetep Medok Mbantul dan tulisan lainnya dari Katharina Stogmuller di rubrik ESAI.

Terakhir diperbarui pada 31 Oktober 2020 oleh

Tags: bahasa inggrisBantulbapak buleBule
Iklan
Katharina Stogmuller

Katharina Stogmuller

Numpang lahir di Vocklabruck, Austria. Mahasiswi Atma Jaya Jogja.

Artikel Terkait

Belajar Bahasa Inggris Cocok untuk Atlet Brain Rot kayak Kamu MOJOK.CO
Esai

Belajar Bahasa Inggris Adalah Tahap Awal untuk Memanusiakan Diri bagi Atlet Brain Rot seperti Saya

10 Juni 2025
Jogja Sejuk dan Rindang Seperti Sleman Hanya Impian Palsu MOJOK.CO
Esai

Mengidamkan Semua Ruas Jalan Penting di Jogja Sejuk dan Rindang Seperti Padukuhan Pangukan Sleman

7 April 2025
Kampung Kalimati, Bantul sebuah permukiman kumuh di sekitar Pantai Parangkusumo. MOJOK.CO
Jogja Bawah Tanah

Kalimati Bantul, Kampung Kumuh di Tengah Gemerlap Pariwisata Jogja

31 Januari 2025
Curug Banyunibo Bantul, wisata alam Jogja yang sajikan ketenangan MOJOK.CO
Ragam

Banyunibo Bantul: Curug di Tengah Belantara yang Sajikan Sisi Tenang Jogja, Gemericik Air Tanpa Bising Manusia

21 Januari 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Setelah 6 Tahun Merantau ke Luar Jawa, Saya Jadi Takut untuk Kembali Kerja di Jakarta MOJOK.CO

Setelah 6 Tahun Merantau ke Luar Jawa, Saya Jadi Takut untuk Kembali Kerja di Jakarta

11 Juni 2025
Berkah Waisak 2025 bagi Candi Borobudur Magelang MOJOK.CO

Berkah yang Terasa dari Waisak 2025 di Candi Borobudur

11 Juni 2025
Universitas Brawijaya (UB) Malang.MOJOK.CO

Ditolak UB dan Terpaksa Kuliah di Kampus Tak Terkenal, Kini Malah Sukses: Dapat Kerja Gaji Dua Digit setelah Ratusan Lamaran Ditolak

11 Juni 2025
Wisata di Bali anti ribet dengan eSIM MOJOK.CO

Liburan ke Bali Tanpa Drama: Cukup eSIM, Sinyal Aman, Kantong Tenang

10 Juni 2025
Menyaksikan Kegilaan dari Dalam Bus Bagong dan Harapan Jaya MOJOK.CO

Menyaksikan Kegilaan Sopir Harapan Jaya dan Bus Bagong dari Dalam Bus, Menjadi Saksi Kehidupan Bus yang Selalu Dianggap Biang Masalah Jalanan

13 Juni 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.