Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Puasa di Negeri Komunis

Agus Supriyanto oleh Agus Supriyanto
23 Juni 2016
A A
Puasa di Negeri Komunis

Puasa di Negeri Komunis

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Ya benar, terakhir saya cek statusnya masih negara Komunis, belum jadi negara Khilafah. Negara yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, dan pernah terjebak perang saudara antara tahun 1954 sampai dengan 1975. Negara dengan bendera merah menyala dan bintang emas di tengahnya.

Pasti Anda sudah bisa menebak negara mana yang saya bicarakan. Yak, betul, Vietnam. Beberapa hari yang lalu, tepatnya minggu kedua bulan puasa, saya berkesempatan selama tujuh hari mengelilingi Da Nang, kota terbesar ke empat di Vietnam yang merupakan kota pelabuhan yang rapi dengan jalan-jalan yang lebar.

Namun agaknya saya salah waktu, selain bertepatan dengan bulan puasa, saya berkunjung di bulan terpanas dalam setahun. Suhu waktu itu mencapai 41 derajat celcius. Bahkan angin yang berhembus dari arah laut pun terasa membakar kulit. Dan kunjungan saya bukan untuk wisata, bukan untuk berleha-leha di kamar hotel yang sejuk karena AC.

Di suhu yang sangat membakar itu, saya menemukan hal yang menarik. Setiap memasuki warung makan di Da Nang, pelayan warung secara otomatis akan menyediakan satu kotak pendingin berisi penuh bongkahan es batu prongkolan. Dan di meja akan tersaji segelas teh hijau yang siap diisi ulang berkali-kali tanpa harus membayar se-Dong pun. Apapun minuman yang dipesan, rasanya akan sangat-sangat nikmat kala mengaliri kerongkongan yang panas setelah dicampur dengan bongkahan-bongkahan es itu.

Modiar, saya kan puasa.

Oke, untuk lebih menghayati cerita, saya mohon mari kita sama-sama membayangkan bagaimana keadaan saya saat itu. Saya satu-satunya muslim, sedang berpuasa, di negara yang waktu puasanya lebih panjang dari Indonesia, beraktivitas cukup berat: mulai dari pergi ke tengah laut untuk memotret nelayan yang sedang menarik jaring, lalu ke pasar tradisional yang penuh sesak, lalu memotret beberapa orang di pantai, semuanya dalam waktu yang sangat sempit dan terburu-buru yang seringkali membuat saya harus berlari.

Dan semuanya itu di bawah terik matahari 41 derajat!

Agar tidak terkena heat stroke, saya harus celupkan syal saya ke dalam air es dan melilitkannya ke kepala. Mulut saya terasa sangat pahit, gejala dehidrasi berat, dan bahkan untuk menelan ludah pun tak bisa karena mulut saya tiba-tiba kehilangan kemampuan memproduksi ludah.

Lalu ketika matahari sedang bersinar terik-teriknya di atas kepala, di sekitar saya lihat banyak orang sedang bersantap siang. Mie kuah semangkuk penuh, dengan irisan-irisan besar daging babi yang nampak sangat lembut berlapis antara kulit, lemak dan dagingnya. Digoreng dengan aneka bumbu sehingga aroma lezat menyeruak menyusup rongga hidung dan terus turun menyelami lambung dan usus. Kemudian berbagai macam minuman, teh, kopi, coklat, dan bir, semuanya dengan tambahan bongkah-bongkah es yang mengapung. Belum lagi es buah, es krim dan smoothies yang melimpah. Cleguk.

Sungguh sebuah godaan yang jauh lebih berat ketimbang sekadar menonton iklan sirup Marjan di televisi di siang hari bolong.

Semuanya seolah berlomba-lomba mengusir hawa panas yang luar biasa. Memberikan kesejukan jiwa dan raga. Ubun-ubun saya yang sudah panas semakin mendidih. Suara teriakan sudah memenuhi paru-paru dan siap diledakkan melalui mulut, sekeras-kerasnya.

“Hormati orang puasaaaaaaaaaa……….!”

Tapi suara itu tercekat, berhenti di tenggorokan. Sisa kesadaran saya mengambil alih. Ini negara komunis. Saya tidak ingin kepala saya pecah karena didor sama kepala polisi Nguyen Ngoc Loan.

“Are you alright, Gus?”

Iklan

Tiba-tiba saya rasakan tangan di pundak saya. Salah seorang kawan perjalanan saya, memandang saya dengan penuh kekhawatiran. Mungkin dia melihat saya yang diam tak bergerak, duduk di kursi sambil tetap melilitkan syal saya yang sudah mengering.

“I’m okay. Thanks.”

Saya tersadar, tidak hanya satu tapi banyak kawan saya, yang umumnya asli Vietnam, selalu memperhatikan saya. Tidak henti-henti mereka silih berganti menanyakan kondisi saya. Bisa jadi mereka tahu kalau saya sedang puasa. Mereka khawatir kalau tiba-tiba saya pingsan karena dehidrasi. Ada yang sedikit paham tentang puasa dan tahu kalau puasa bisa diganti di hari lain sehingga menyarankan saya untuk membatalkan puasa dan menggantinya di hari lain. Saya bilang kalau saya akan bertahan semampunya. Ada juga yang sangat perhatian dan memberikan saya sebotol air mineral dingin. Dia mengira kalau puasa itu hanya dilarang makan dan bukan minum. Duh.

Setiap kali makan pun mereka selalu meminta maaf ke saya. Khawatir mengganggu puasa saya. Kondisi yang justru membuat saya jadi pihak yang merasa tidak enak. Saya membayangkan jika saya makan di antara orang yang puasa. Maka waktu makan siang pun saya gunakan untuk sholat, meminjam pojokan ruangan atau pelataran warung makan untuk menjalankannya. Dan beberapa kali kawan perjalanan saya menjaga saya yang sedang sholat.

Saya tidak pernah minta dihormati karena puasa saya. Bahkan kawan-kawan saya ini tahu kalau saya puasa karena saya selalu menolak makanan/minuman yang mereka tawarkan. Tapi tanpa diminta pun, mereka sangat menghormati saya. Seringkali tiba-tiba saya merasakan angin menghembus di belakang kepala, ternyata kawan perjalanan saya sedang mengipasi saya dari belakang. Atau tiba-tiba saya merasakan hujan di tengah panas, ternyata kawan saya yang lain mencipratkan air dingin ke muka saya untuk membantu menyejukkan.

Semua itu membantu saya melewati hari yang sangat panas sampai tiba saatnya waktu berbuka (yang tidak terdengar suara adzan satu pun), saatnya saya meneguk segelas air mineral dengan bongkah-bongkah es di dalamnya.

Benar-benar segelas surga yang saya rasakan di bawah kibaran bendera merah. 

Terakhir diperbarui pada 11 Agustus 2021 oleh

Tags: KomunisPuasavietnam
Agus Supriyanto

Agus Supriyanto

Artikel Terkait

Seputar Peristiwa 65 yang Tak Mungkin Ada di Buku Sejarah MOJOK.CO
Esai

Seputar Peristiwa 65 yang Tak Mungkin Ada di Buku Sejarah

30 September 2024
3 Alasan Orang Sleman Malas Bukber ke Bantul, Selain Karena Egois dan Jogja Selatan Isinya Gondes.mojok.co
Ragam

Bagi Warga Bantul Ajakan Bukber di Sleman Adalah Bentuk Diskriminasi dan Ketidakadilan, Apa Orang Jogja Utara Memang Egois?

15 Maret 2024
Penambang Kawah Ijen Tak Puasa Demi Baju Lebaran Anak MOJOK.CO
Catatan

Perjuangan Penambang Belerang Kawah Ijen Banyuwangi Demi Baju Lebaran Anak Istri, Puasa-puasa Tetap Naik Turun Gunung Memikul Ratusan Kg Hasil Tambang

11 Maret 2024
Jogokariyan, Kampung Komunis Jadi Kampung Islam MOJOK.CO
Kilas

Jogokariyan, Kampung Komunis yang Berubah Jadi Kampung Islam

29 September 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.