Malam mencekam di sumbu filosofi Jogja
Sayang sekali, malam itu saya tidak dapat bersolidaritas. Saya hanya bisa memantau kawan-kawan yang ada di Jalan Malioboro Jogja. Mas Dinta Yuliant, salah satu kawan serikat yang bersolidaritas, bercerita tentang malam mencekam itu.
Semua diawali saat sore. Awalnya, massa aksi dan aparat sama-sama tertib. Tapi tidak berselang lama, segerombol orang yang mengaku juru parkir dan tukang becak mendatangi. Mereka berteriak-teriak meneror massa aksi PKL Malioboro. Tapi masih sempat dihadang oleh aparat kepolisian.
Kejadian serupa terulang lagi saat istirahat salat Isya. Gerombolan tadi kembali meneror. Tidak hanya berteriak, namun kali ini mereka menyerang para PKL Malioboro yang berniat masuk ke gedung DPRD.
Gerombolan tadi mengaku massa aksi mengganggu aktivitas parkir mereka. Walaupun sudah diketahui bahwa pada pukul 18:00, tidak ada kendaraan yang melintas di Malioboro.
Setelah masuk ke dalam gedung DPRD DIY, gerombolan yang mengaku juru parkir melakukan pengepungan. Massa aksi sendiri meminta agar ada perwakilan DPRD yang menemui mereka.
Namun, hingga pukul 20:00, tidak ada satupun perwakilan DPRD yang menemui. Akhirnya massa aksi membuat pernyataan sikap dan membubarkan diri dengan pengawalan ketat dari kepolisian.
Rakyat lawan rakyat di sumbu filosofi Jogja
Mendengar kisah itu, rontok hati ini. Di tengah ingar-bingar Malioboro yang romantis, sesama rakyat sedang disabung. Mereka yang punya kuasa bahkan tidak mau menemui. Sumbu filosofi tetap digaungkan sebagai berlian Jogja. Meskipun harus menyisakan duka lara, seperti semalam.
Mas Dinta memandang ini semua adalah ironi yang membuat miris. Namun itulah kenyataan yang ada di sumbu filosofi Jogja. Dari matanya sendiri, dia melihat rakyat yang berjuang harus berhadapan dengan sesamanya. Karena nyatanya, kemiskinan tetap merajalela di Malioboro dan sumbu filosofi Jogja.
Saya memahami fakta itu. Bayangkan, aksi PKL Malioboro yang memperjuangkan hak mereka dilawan sesama warga. Padahal, yang mereka tuntut bukanlah kerakusan.
Menurut @suaramalioboro, mereka menuntut adanya jaminan selepas relokasi. Juga transparansi data relokasi karena masih ada yang tidak dapat hak lapak. Namun, lebih penting, mereka menuntut tata kota yang partisipatif dan demokratis. Serta menolak wacana warisan budaya dunia yang menggusur rakyat.
Namun apa lacur, perjuangan PKL Malioboro malah dihadang sesama rakyat. Mereka berebut sesuap nasi di tengah sumbu filosofi yang entah apa manfaatnya. Bahkan harus menghadapi serangan ketika meminta kejelasan.
Warisan budaya dunia yang penuh duka bagi PKL Malioboro
Keberlanjutan nasib PKL Malioboro segelap ringroad barat. Ancaman pencabutan hak guna lapak sudah meneror mereka yang belum genap sebulan direlokasi. Mungkin dikira mudah untuk pindah dan berdagang.
Tapi, modal dan biaya operasional di tempat baru belum terpikirkan. Masih juga disibukkan dengan adaptasi dan, yang sudah pasti, situasi tidak tentu di Teras Malioboro yang baru.
PKL Malioboro sudah menurut, meskipun sulit, pada pemerintah Jogja. Dari skema dan proses pembangunan, mereka sumonggo kerso pada pemegang kekuasaan. Namun yang diperoleh tidak sesuai harapan. Dari lapak yang harus dipakai 2 pedagang, sampai hilangnya jatah 15 PKL yang diduga diambil pihak nakal.
Jika menyalahkan para PKL Malioboro yang “tidak tertib”, kenapa Jogja membiarkan mereka berpuluh-puluh tahun? Jika demi kota yang tertata dan layak jadi warisan budaya, kenapa harus mewariskan ketidakpastian pada mereka? Jangan lupa, mereka ikut hadir dalam dinamika Malioboro. Mereka ikut mengubah Malioboro dari jalur pertokoan menjadi romantis dan ngangenin.
Jika melihat dossier awal usulan Kawasan World Heritage UNESCO, PKL menjadi bagian penting dari Malioboro. Namun mereka harus menyingkir demi garis imajiner yang penuh imajinasi. Imajinasi kemakmuran, kemuliaan, dan keharmonisan monarki.
Apa lagi setelah ini? Siapa lagi yang akan disabung di sumbu filosofi? Rakyat Jogja mana lagi yang harus mengemis kepastian dan kesejahteraan pada pengayom? Mungkin semua terlambat. Sumbu filosofi yang sejatinya warisan budaya dunia hanya mewariskan duka lara bagi rakyat Jogja.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Detik-detik Terakhir PKL di Malioboro, Mendengar Suara Sumbang Para Pedagang dan kenyataan pahit lainnya di rubrik ESAI.