MOJOK.CO – Sebagai santri, saya ingin titip pesan ke Jenderal Dudung Abdurachman, mengenai idenya yang ingin rekrut santri jadi tentara. Hati-hati, Pak.
Sekitar lebih dari sepekan yang lalu, Jenderal Dudung Abdurachman, Kepala Staf Angkatan Darat yang baru, memiliki program terobosan untuk merekrut tentara dari jalur santri. Wabil khusus, para penghafal Al-Quran.
Kata Pak Jenderal, santri dinilai punya akhlak yang baik, makanya dari sana diharapkan modal akhlak itu bisa membuat santri lebih tenang, ramah, dan sopan ketika jadi tentara.
Sebagai orang yang pernah jadi santri (sebenarnya sekarang juga masih sih), saya tentu pantas senang diapresiasi tinggi seperti ini. Hanya saja, saya perlu memberi sedikit catatan untuk Pak Jenderal Dudung Abdurachman agar ide ini tidak semakin salah kaprah.
Pertama, rekrutmen santri menjadi tentara agak kontradiktif dengan pesan ayat 122 dari surat At-Taubah. Yah, biar Pak Jenderal tidak bingung, saya kutipkan terjemahannya berikut ini:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Syeikh Thantawi menjelaskan bahwa ayat ini berkenaan dengan para sahabat yang hampir seluruhnya punya tekad untuk pergi ke medan perang. Nabi merasa ada yang janggal, lalu turunlah ayat ini. Yang intinya, tidak semestinya seluruh sumber daya yang ada dipakai untuk pergi angkat senjata.
Harus ada kelompok kecil orang yang memperdalam ilmu agama (tafaqquh fiddin). Kewajiban mereka menyebarkan kembali ilmu itu pada pasukan yang pulang dari perang. “Jangan semua jadi tentara!”, kira-kira begitulah pesannya.
Menurut saya, kelompok kecil ini dalam konteks sekarang adalah santri. Harus selalu ada yang masih bertugas memperdalam ilmu agama. Tugas mereka menyebarkan ajaran agama nantinya. Karena itulah, menarik mereka ke profesi tentara agak kurang pas rasanya—meski keadaannya bukan dalam keadaan berperang.
Ya, maklum, risiko menjadi tentara itu tidak hanya bertaruh nyawa saat ada medan tempur, tapi juga saat latihan. Setidaknya, beberapa tahun ke belakang, tidak jarang saya melihat terjadi kecelakaan yang menewaskan tentara saat latihan perang atau sekadar patroli biasa.
Melihat kemungkinan-kemungkinan itu, Jenderal Dudung Abdurachman rasanya perlu mempertimbangkan ayat yang saya kutip tadi.
Kedua, jangan terlalu berprasangka baik pada kami, Pak Jenderal. Ini penting.
Memang ada santri yang begitu sopan dan alim. Hafal Al-Quran dengan mutqin dan irama yang merdu. Ada juga yang punya track record tirakat yang mantab. Misalnya, puasa Daud, Ngrowot, sampai Mutih.
Ada lagi santri yang tidak mau berbicara dengan lawan jenis dalam proses menghafal Al-Quran. Sebagian yang lain tidak mau mendengar musik, seperti yang beberapa waktu lalu viral di tempat vaksinasi. Sebagian lagi bahkan pantang melihat kemaluan sendiri hatta ketika mandi sekalipun.
Namun, santri dengan perilaku bak malaikat seperti itu tidak dominan layaknya jumlah aparat keamanan yang sopan. Mayoritas kami adalah rata-rata kelakuan manusia biasa. Makan dan minum sampai kenyang, ngaji dengan rasa kantuk, merokok, nongkrong, doyan misuh, taruhan sepakbola, sampai pacaran.
Tentu ini tidak cocok dengan gambaran citra dan profil ketentaraan yang diidam-idamkan Pak Jenderal, bukan?
Ketiga, selain perilaku santri yang tidak seluruhnya baik, jenis santri pun beragam dari sisi kedisiplinannya. Padahal disiplin adalah ruh tentara.
Setidaknya, ketika saya masih mondok dulu, saya ingat betul ketika kami sebagai santri dilarang pulang kecuali liburan panjang semester atau lebaran. Libur mingguan (atau lebih tepatnya libur Jumatan, karena liburnya tiap hari Jumat) tidak boleh pulang.
Terkait peraturan itu, banyak dari santri yang kami sebut sebagai santri “Misli Tuko” alias Kemis Bali Setu Teko (Kamis pulang Sabtu datang). Kelakuan kawan-kawan kami ini tiap Kamis sore pulang tidak izin, lalu tanpa rasa bersalah kembali ke pondok Sabtu pagi bersamaan dengan masuk kelas.
“Disiplin” sekali bukan ngakali aturannya?
Selain itu, ada juga spesies lain yang namanya santri kalong. Santri yang berasal dari desa sekitar pesantren, sehingga ia tidak ikut mondok, hanya ikut ngaji dan sekolah doang.
Santri semacam itu, tentu mentalitasnya beda karena menganggap mondok layaknya sekolah umum biasa. Berangkat pagi, pulang sore. Layak disebut santri magang lah. Kalau santri model begini jadi tentara, emang dia mau ditaruh di posisi apa? Bagian jaga loket pendaftaran?
Keempat, santri harus terbiasa bersaing, jadi jangan terlalu dikasih keistimewaan berlebih, Pak Jenderal Dudung Abdurachman.
Nah, bagian ini, bagian yang paling penting.
Begini Pak Jenderal Dudung Abdurachman yang sangat-sangat saya hormati.
Jujur, Pak Jenderal, saya ini termasuk yang tidak terlalu senang dengan segala macam privilese yang diterima santri. Misalnya, ketika ada Perguruan Tinggi yang membuka jalur khusus penghafal Al-Quran. Mereka bisa diterima tanpa melalui jalur persaingan yang semestinya.
Seolah-olah jalur ini tidak berbeda dengan jalur khusus untuk kawan-kawan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) atau jalur khusus atlet berprestasi.
LPDP juga begitu. Dalam seleksi beasiswa, kawan-kawan dari daerah 3T mendapat semacam affirmative action agar bisa masuk seleksi. Kalau ini sih saya maklum. Sebab bagaimanapun juga pendidikan pada daerah tersebut belum bisa dikatakan masuk standar pendidikan nasional. Hal yang sama berlaku untuk rekrutmen CPNS pula.
Namun, jika afirmasi ini juga berlaku untuk santri, kayaknya kurang pas. Apakah artinya, kelompok pelajar ini dianggap tidak mampu berkompetisi dengan pelajar lain untuk masuk ke perguruan tinggi favorit? Pihak kampus (dan juga LPDP) melakukan semacam seleksi khusus untuk mereka. Para huffadz yang mayoritas dihasilkan di pesantren masuk ke dalam kelompok ini, kan?
Hal yang sama berlaku untuk rekrutmen tentara.
Menurut saya, santri diuji di antaranya dengan kemampuannya bersaing dengan dunia luar. Perlakuan khusus hanya menimbulkan santri seperti kami jadi malah kurang kompeten untuk bersaing secara positif dengan kelompok non-santri.
Ya, itu tadi sedikit kesan saya saja sih, Pak Jenderal Dudung Abdurcahman. Kalau Anda atau orang lain mungkin punya kesan berbeda soal ini ya sah-sah saja.
Meski begitu, bukan lantas saya menolak sama sekali tawaran Pak Jenderal Dudung Abdurachman soal ide adanya program khusus rekrut santri jadi tentara. Hanya saja, saya mengusulkan tetap punya syarat-syarat khusus, Pak Jenderal.
Satu, jangan sampai program ini menjadi arus utama networking santri pasca-kelulusan. Mayoritas santri harus tetap memperdalam agama. Jaringan kesantrian harus konsisten berada pada jalur ilmu agama.
Bikin pondok, dirikan TPA, mengajar agama, berikan ceramah keagamaan, khotib Jumat, marbot masjid, dosen agama, kiai, dan seterusnya. Kalaupun ada satu-dua menjadi tentara, bolehlah; tapi jangan menjadi mainstream.
Dua, kalaupun ada jalur khusus santri, tetap terapkan tes masuk yang ketat. Jangan ekspektasi macam-macam sama santri.
Jika yang lain perlu tes psikologi atau psikometri; lakukan juga pada santri. Jika yang lain dites mental dan kejiwaan, lakukan juga pada santri. Semata demi mendapatkan tentara yang kompeten, tidak asal label mantan santri.
Memberi “jalur tol” semacam itu, malah menjadi preseden yang buruk untuk kami para santri. Sebab itu artinya, santri malah diremehkan. Gitu Pak Jenderal Dudung Abdurachman.
Akan tetapi, di luar itu, saya jadi punya satu pertanyaan fundamental soal ini.
Kalau memang Pak Jenderal Dudung Abdurachman bisa punya ide rekrut santri jadi tentara, kenapa Pak Jenderal nggak sekalian bikin skema agar tentara bisa direkrut jadi santri pula? Semacam pertukaran pelajar gitu.
Kenapa perlu seperti itu? Begini.
Jika LPDP, instansi pemerintah, kementerian/lembaga menjadikan fasilitas tentara untuk menggembleng soal Bela Negara bagi pelajar atau pegawai; maka tidak ada salahnya jika negara menjadikan pesantren untuk menggembleng tentara dalam hal “wawasan keagamaan” atau “wawasan kesantunan” atau “wawasan akhlak”.
Dengan begitu, yang diharapkan Pak Jenderal Dudung Abdurachman untuk mendapatkan banyak aparat atau tentara yang sopan, ramah, berakhlak mulia; akan terwujud.
Sesuatu yang mungkin sedang Pak Jenderal juga cari-cari selama ini di kesatuannya sendiri atau yang mulai nggak ada di kesatuan “tetangga”-nya yang bernama poli…
…
…#%$@*&%@$ *author not found*.
BACA JUGA Menghitung Gaji Anggota TNI, Profesi Idaman Banyak Mertua atau tulisan Miftakhur Risal lainnya.