[MOJOK.CO] “Seriusan ya, soal traveling aja jadi bahan debat.”
Tema debat soal wanita yang tidak bisa traveling setelah menikah sebenarnya nggak fresh-fresh amat. Tahun kemarin (atau malah 2 tahun lalu ya?), ada satu bloger yang menuliskan soal dirinya yang masih bisa jalan-jalan sendirian setelah menikah, sedangkan suami serta anaknya tinggal di rumah. Tulisan curhat itu tentu saja menjadi viral, banyak yang mendukung tapi lebih banyak yang mencaci. “Istri macam apa yang enak-enakan piknik dan ninggalin anak dengan suaminya di rumah,” kira-kira seperti itulah komentarnya.
Lantas baru-baru ini topik tentang perempuan menikah dan traveling kembali mencuat gara-gara meme di laman Facebook Indonesia Jaman Dulu yang berbunyi, “Selagi kalian melajang traveling-lah sejauh mungkin, karena kalau sudah menikah mau ke Alfamart depan aja disuruh cepat balik.”
Para perempuan (baik yang masih lajang maupun sudah menikah) akhirnya share postingan ini ramai-ramai lengkap dengan beragam komentar. Tapi, intinya mereka mengiyakan bahwa setelah menikah, traveling akan menjadi satu hal yang sangat sulit dilakukan. Apalagi jika sudah punya anak. Jangankan jalan-jalan, wong mandi aja pintu sudah digedor-gedor dari luar, bahkan terkadang boker sambil digendoli bocah.
Saya adalah orang yang tidak sepakat dengan meme tersebut. Saya perempuan. Saya menikah. Saya punya anak batita. Saya masih tetap bisa traveling. Bahkan bukan hanya traveling yang jalan-jalan cantik keliling kota atau tempat-tempat nyaman, tapi saya juga masih bisa blusukan ke hutan, arung jeram di sungai, bahkan trekking ke gunung. Dan saya juga tahu ada banyak perempuan di luar sana yang traveling ke mana-mana, bahkan keliling dunia, meski mereka sudah menikah serta memiliki banyak anak.
Saya adalah orang yang percaya bahwa pernikahan bukanlah alasan untuk menghentikan gerak. Saya tidak sepakat jika setelah menikah, langkah akan terhenti. Justru sebaliknya, pernikahan seharusnya memberi energi baru untuk terus berjalan, baik sendiri maupun bersama.
Jangan dulu salah sangka. Saya bukan orang kaya yang punya banyak uang guna menggaji banyak ART untuk mengurusi anak dan melakukan pekerjaan domestik sehingga bisa tetap jalan-jalan tanpa beban. Saya emak-emak biasa, yang masih suka nawar di pasar saat harga selisih 500 perak dari biasanya.
Saya sudah melakoni yang namanya mandi kilat 3 menit gara-gara bocah sudah nangis nungguin di depan pintu. Saya juga mengalami nikmatnya buang air besar sambil bawa bayi yang nggak bisa diam (jangan dibayangkan seperti apa bentuknya). Pokoknya segala drama emak-emak punya anak bayi dan harus mengurus semuanya sendiri pernah saya alami.
Tapi, bukan berarti itu menjadi alasan untuk tidak bisa traveling. Begini ya, buibu dan mbak-mbak, sebenarnya semua masalah hanya terletak pada pola pikir juga prioritas. Kalau di pikiran kita sudah tertancap kata “nggak bisa” atau “sudah menikah itu yang anteng di rumah saja”, semesta pun akan membuatnya tidak bisa. Bahkan bukan hanya untuk perempuan menikah, perempuan lajang pun kalau otaknya sudah bilang nggak bisa traveling karena ini dan itu ya sudah, bye bye jalan-jalan.
Kalau kita menganggap traveling penting demi kewarasan jiwa, kita pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk melakukannya. Memang menikah akan membuat banyak perubahan pada hidup. Apalagi jika kita hamil, punya anak, lantas mengurus bayi yang membutuhkan effort lebih. Waktu untuk memikirkan diri sendiri pun jadi terbatas. Tapi, bukan berarti kita tidak bisa bepergian.
Kita masih tetap bisa berkelana, bedanya kini tidak mungkin seimpulsif saat lajang yang bisa pergi ke mana pun dan kapan pun sesukanya. Jika ingin traveling sendiri, sekarang sudah ada suami yang harus dimintai persetujuan (dan juga uang saku, ahay). Kalau suami sudah mengizinkan, tunggu apa lagi? Punya bayi baru lahir? Anak masih belum bisa pisah sama ibunya?
Kalau masalahnya hanya itu sih gampang. Tundalah jalan-jalanmu! Menunda beda dengan tidak bisa. Menunda beberapa tahun selama hamil dan mengurus bayi tidak ada salahnya. Itung-itung saat itu kita juga sedang mempersiapkan diri (juga budget) untuk perjalanan besar berikutnya. Saat anak sudah agak besar dan bisa ditinggal, mulailah petualangan sesungguhnya.
Jika Anda ogah menunda, pilihan lain tersedia, yaitu bawa anak-anakmu traveling. Memang kesannya ribet ya, bahkan sampai ada orang yang ngomong, “Traveling bawa anak mah sama aja bohong, ini namanya tetap momong tapi pindah tempat.” Lha kalau sudah berani punya anak, ya memang seperti itu risikonya.
Lagian traveling bareng bocah itu nggak serem-serem amat kok, seru malah. Memang sih persiapan harus lebih matang dan bawaan jadi lebih banyak, tapi itu bukan masalah yang harus dibesar-besarkan lah. Justru semakin dini bocah diajak traveling, dia justru makin mudah beradaptasi dan nggak rempong. Traveling bersama anak, selain akan mengajarkan banyak hal baru untuknya juga bisa mempererat bonding.
Makanya itu, saya nggak sepakat kalau ada yang bilang menikah itu membuat kita, para perempuan, nggak bisa traveling. Bisa, Bu, bisa. Asalkan ya itu tadi, punya kemauan, punya uang (ini penting!), dan mau sedikit repot. Nah misalnya suamimu melarang, itu persoalan lain.
Mungkin ini bisa jadi satu pertanyaan yang para lajang ajukan untuk calon pasangan kelak, “Mas, kalau sudah menikah nanti, aku masih boleh traveling nggak?”
Jika pada akhirnya kalian bilang traveling bersama anak itu rempong serta memilih untuk tetap tinggal di rumah saja, ya sudah. Itu pilihanmu. Tapi, jangan lantas mengasihani diri, kemudian iri dengan perempuan lain yang masih bisa traveling ke mana-mana. Simpel kan?
Jadi, weekend besok mau traveling ke mana, Ibu-Ibu?