MOJOK.CO – Apa harga diri Aldi Taher begitu rendah sampai minta bayaran di muka saat datang di konten Deddy Corbuzier dan Dinar Candy?
Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu itu tiba juga. Hampir empat bulan setelah menyulut genderang perang dengan mengatakan konten kolaborasi Deddy-Dinar sebagai maksiat, setelah usaha konsisten menandai jajaran selebriti di unggahan Instagramnya, akhirnya Aldi Taher berkesempatan tampil di panggung yang menjadi legitimasi para influencer, alias #CloseTheDoor.
Sekadar mengenang, satu bulan lalu saat hadir di podcast milik Sule, Aldi Taher pernah bilang bahwa yang bisa membuat dia sudi bertandang ke acara #CloseTheDoor hanya kehadiran Agus Harimurti Yudhoyono. Itu menjadi semacam prasyarat mutlak.
Dunia Showbiz mengenalnya sebagai rider, yakni keinginan para superstar sebelum berlaga; Mariah Carey meminta puluhan anak kucing berwarna putih ditambah ratusan merpati; Marilyn Manson pernah menagih seorang penari telanjang yang botak dan tak memiliki gigi.
Maka untuk superstar sekelas Aldi Taher, permintaan itu belum termasuk dalam kategori yang bikin gondok pihak penyelenggara. Masih ecek-ecek itu. Jangankan AHY seorang, seluruh anggota keluarga Cikeas harusnya bisa didatangkan. Itu harga yang harus dibayar, dan tentu saja setimpal.
Namun dalam episode #CloseTheDoor yang dipenuhi kata-kata “maksiat,” “maksiat,” dan “maksiat” itu, sama sekali tak tampak ujung hidung AHY.
Hanya ada uang tunai Rp3,5 juta dalam amplop coklat, yang kita tahu adalah fee hasil negosiasi antara Aldi Taher dan pihak penyelenggara, tapi ditraktir oleh Dinar Candy yang boleh jadi merogoh kocek dari hasil maksiat—tentu saja dari kacamata Aldi Taher.
Apakah Aldi Taher begitu kepepet sampai minta dibayar di muka? Apakah harga diri Aldi Taher serendah itu? Untuk dua pertanyaan itu, saya hanya akan menjawab tidak.
Segepok uang itu hanya membuktikan dua hal. Pertama Aldi Taher tekun meminta haknya, yang mana itu keterampilan paling mendasar untuk hidup. Kedua, jangan-jangan di mata Aldi Taher, AHY memang bisa disubtitusi dengan nominal sejumlah itu. Ini namanya puncak roasting, ini namanya meta-humor.
Anda boleh-boleh saja menganggap Aldi Taher sebagai badut penghibur, atawa selebriti pansos yang tengah berusaha merengkuh kembali masa jayanya. Saya juga sepakat, kok. Tapi bagi saya, selain dua hal itu, banyak sikap dalam diri Aldi Taher yang bisa menjadi refleksi bagi kelas pekerja.
Soal penuntutan hak, misalnya. Aldi Taher sangat radikal dalam urusan ini, bahkan sampai tahap yang begitu ketat menjalankan perintah nabi; membayar para pekerja sebelum keringat menetes.
Bukan hanya di podcast Deddy Corbuzier, dia konsisten tegas dalam menagih uang sangu. Di acara Nikita Mirzani, ketika segepok uang dilemparkan ke wajah Aldi Taher, kita tahu lewat tuturan si empunya acara bahwa “Aldi Taher maunya dibayar tunai.” Atau misalnya, saat duo Coki-Muslim mengundangnya, Aldi Taher sibuk mewanti-wanti soal bayaran yang harus dia terima.
Saya kira, kita perlu sosok panutan seperti Aldi Taher agar dunia kerja menjadi ideal. Di Indonesia, di mana bertanya jumlah gaji dianggap tak sopan, dan seorang yang diupah tak layak diminta bersyukur karena telah diberi lapangan pekerjaan, kehadiran Aldi Taher bukan sekadar oase di gurun pasir, lebih dari itu Aldi Taher adalah Indomaret yang nangkring di pojok Gurun Sahara. Adem~
Kemudian, kecenderungan lain dari Aldi Taher adalah kesigapannya untuk memahami beban kerja. Aldi tahu posisi, dan itu bukan hanya berlaku dalam urusan materiil tetapi juga moril.
Di podcast #CloseTheDoor, misalnya, bagi Aldi semua dosa maksiat ditanggung oleh Deddy Corbuzier sebagai pihak yang mengunggah. Ahli-ahli agama boleh berdebat soal dosa maksiat ini, tapi Aldi Taher tahu peran yang tengah dia mainkan.
Aldi Taher menyadari bahwa pihak yang paling diuntungkan dalam acara itu ya Deddy Corbuzier, dan dia hanya seorang talent yang dibayar sekadar untuk memberi klarifikasi.
Dia tak mau menanggung beban kerja di luar tugasnya, apalagi kalau itu berurusan langsung dengan jahanamnya coretan malaikat Atid di atas kertas. Kita-kita yang manut diminta lembur tanpa upah, nggak berhak menertawakan Aldi Taher saya kira.
Masih ada banyak hal yang bisa kita teladani dari Aldi Taher, sebagaimana banyak hal juga yang tak bisa kita teladani darinya. Tapi, toh, manusia memang menjadi tempat khilaf dan dosa, dia juga bisa menjadi malaikat dan iblis dalam waktu bersamaan.
Tak ada orang yang sepenuhnya baik, atau jahat. Dalam paragraf ini, saya merasa menjadi pendakwah yang tak sesuai dengan konteks, fix, sepertinya saya terlalu meneladani Aldi Taher.
BACA JUGA Panduan Sukses Jadi Orang Goblok dan tulisan Muhammad Nanda Fauzan lainnya.