MOJOK.CO – Keributan antara pemerintah pusat dan daerah selalu membunuh rakyat. Dan rakyat Pati yang kali ini menjadi korban mereka.
Kemarin (13/8) demonstrasi besar telah terjadi di Pati. Ini mungkin demonstrasi terbesar dalam sejarah perlawanan rakyat kabupaten melawan pejabat daerahnya. Ribuan orang berkumpul di Alun-Alun Simpang Lima Kota Pati. Yang menginisiasi bukan mahasiswa, tapi pelopor demonstrasi ini adalah rakyat biasa.Â
Massa demonstran datang dari berbagai kalangan. Sekitar pukul 9 pagi, saya masih sempat belanja di Pasar Porda untuk keperluan dapur usaha saya. Ternyata, sebagian besar kios di Pasar Porda tutup.Â
Sehari sebelumnya saya memang mendengar mereka akan berangkat demo. Pickup, truk yang memuat rombongan massa sejak pagi sudah tampak berseliweran di jalan raya.Â
Lapak kue langganan yang isinya aneka kue titipan juga tutup karena para pembuat kuenya berangkat demo. Pabrik tekstil Sejin juga meliburkan karyawannya. Gudang-gudang ikan juga ikut libur.Â
Meski masih banyak juga penjual di pasar yang tetap berjualan, tapi suasana terhitung sepi. Di parkiran pasar hanya ada beberapa motor tak seperti biasanya.
Selepas dari pasar, saya ikut turun ke jalan. Skala aksi ini memang sedemikian besar. Ada beberapa korban luka. Namun, menurut saya, aksi massa masih terhitung kondusif. Aparat tidak represif. Oknum demonstran yang provokatif dan berbuat omar segera diamankan sehingga kerusuhan tidak melebar.
Tidak ada korban jiwa siang itu. Hanya 35 korban luka dan pingsan karena tidak kuat terpapar gas air mata. Mereka dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Saya mendengar kabar kalau sebagian dari mereka sudah boleh pulang.
Pemicu demo besar di Pati
Yang awalnya memicu demo ini adalah kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan. Padahal, kalau dipikir-pikir, untuk daerah kecil seperti Pati, kenaikan PBB karena pemutakhiran NJOP semestinya tidak terlalu signifikan.Â
Misal ada kawasan bisnis yang NJOP-nya naik tinggi, jumlah rakyat yang memilikinya (sehingga terkena kenaikan pajak besar) kan tidak banyak. Tidak signifikan jumlahnya dibanding jumlah rakyat yang nominal PBB nya tidak tinggi.Â
Saya misalnya, tinggal di pusat ibu kota kecamatan, di tepi jalan besar. Rumah saya punya luas tanah dan bangunan di atas rata-rata banyak orang. Nominal PBB baru hanya Rp170-an ribu. Apalagi masyarakat yang tinggal di lokasi yang tidak lebih strategis mestinya kan lebih kecil. Itu pun akhirnya sudah dibatalkan. Jadi mengapa bisa tetap sebesar itu skalanya?
Demonstrasi Pati ibarat momentum ketika ada api korek kecil ketemu bensin segalon. Apinya sebenarnya tidak besar. Awalnya isu kenaikan PBB 250% hanya ramai di media sosial saja. Tetapi, api kecil ini malah diguyur terus dengan bensin.
Baca halaman selanjutnya: Rakyat yang selalu jadi korban.












