Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Pakai GPS, Sering Baca Al-Quran, Literasi Bagus tapi Masih Tersesat

Kemampuan seseorang dalam membaca Al-Quran itu sama saja dengan kemampuannya membaca rambu lalu lintas.

Haryo Setyo Wibowo oleh Haryo Setyo Wibowo
27 September 2021
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Tingkat literasi yang bagus, tak berbanding lurus dengan minat baca tinggi. Buktinya, orang pakai GPS pun masih bisa tersesat di jalan.

Banyak orang teriak tak setuju—bahkan tersinggung—saat disebut bahwa bangsa kita punya tingkat literasi yang rendah.

Kebanyakan dari mereka akan menyangkal dengan mengatakan kalau sebenarnya minat baca masyarakat kita itu tinggi. Stigma literasi rendah untuk bangsa kita itu lalu dianggap hanyalah mitos yang diembuskan oleh orang-orang dengan perspektif kebarat-baratan.

Betul sih kalau kita menganggap tingginya tingkat literasi kita sama dan sebangun dengan volume penjualan buku, jumlah pengunjung pameran buku, dan tingginya jumlah share tulisan para buzzer.

Kalau istilah buzzer disebut, para fanboy politisi tidak perlu baper. Ini istilah netral.

Kalau mau membuka wawasan lebih, being literate itu sangat berbeda dengan melek huruf. Minat membaca bagus, tidak serta merta membuat kita mudah memahami isi atau kandungan bahan bacaan kita.

Beli buku juga bisa jadi karena impulsif saja, karena seneng mengeluarkan duwit. Halaman tak kunjung beranjak dari daftar isi.

Bagaimana seharusnya?

Katakanlah Anda membaca buku tentang literasi keuangan dari A sampai Z. Dari bacaan tersebut Anda akan tahu dari mulai menabung, produk reksadana, sampai pilihan investasi. Tetapi saat mengimplementasikan, Anda lebih menyukai perilaku Benny Tjokro dibandingkan Warren Buffet.

Penjelasan sederhana tentang apakah literasi seseorang itu bagus atau tidak, sederhananya seperti itu.

Kalau cerita tentang keuangan kurang menarik, kita beranjak ke dunia keagamaan saja, hehe.

Di kultur keagamaan, orang mengaji itu sejatinya memang bukan sekadar membaca dan atau mendengarkan saja. Orang yang mengaji kitab yang diyakininya, 100 persen tidak akan melakuan hal yang jadi pantangan dalam beragama. Nggak akan nyolong, memperkosa, dan hal-hal merugikan lainnya. Ini belum membahas yang lebih literatif, mentadaburi.

Sebagian orang cenderung akan menyangkalnya. Kalau mengaji mampu menangkal perbuatan jahat, kok bisa ada anggota DPR bernama Al Amin (itu nama gelar Nabi Muhammad btw) jadi maling? Bahkan ada pengasuh sebuah ponpes bisa memperkosa santriwatinya!

Ini sama kasusnya dengan membaca buku keuangan tadi. Baru membaca, belum mengaji. Apa yang dipelajarinya belum membuatnya beradab!

Iklan

Sebenarnya tidak perlu ragu mengatakan bahwa kemampuan seseorang dalam membaca Al-Quran itu sama saja dengan kemampuan membaca rambu lalu lintas. Tak pernah ada jaminan dengan bisa membaca Al-Quran, Anda otomatis terbebas dari salah. Sama. Ada yang bisa membaca rambu larangan berhenti, tapi tetap saja parkir di tempat itu dan kemudian nguntal soto.

Literasi dapat diartikan juga sebagai konsekuensi untuk tidak sekadar membaca saja. Karena memang hafal sekali pun dengan apa yang kita baca tidak menjamin orang paham dengan apa yang tersurat. Tentu saja pernyataan ini tidak perlu dibenturkan kalimat, “Lalu apa gunanya orang membaca/menghafal Al-Quran?”

Beradab silam, potensi problem literasi juga sudah disadari benar oleh Sunan Bonang. Di tembang karyanya, “Tombo Ati”,  yang berisikan lima petunjuk untuk mengatasi kegalauan, Sunan Bonang menanamkan ke santrinya untuk paham dengan apa yang dibacanya, apa makna di balik kata. Itu dikemukakan sebelum ibadah lainnya; salat malam, bersosialisasi dengan orang saleh, puasa, dan berzikir.

Semua orang kalau diajari membaca pasti akan bisa. Pada zaman modern, satu bangsa yang buta huruf hanya perlu puluhan tahun saja untuk menjadi melek huruf. Tapi bagaimana kalau literasinya buruk? Hitungannya sangat mungkin seperti kalau kita akan memperbaiki fungsi hutan rusak. Kalkulasinya sudah bukan tahun lagi, tetapi generasi.

Perlu kesinambungan. Karena memang problemnya bukan sekadar mengeja huruf, mengenalkan pena untuk menulis. Tetapi juga mental, mengingat tak jarang buruknya literasi juga kerap diwakili oleh sebuah pertanyaan yang mengerikan.

“Kok bisa ya salatnya rajin, ngebom gereja?”

Pertanyaan tersebut secara logika bukan saja keliru, tetapi babak belur. Orang yang salatnya baik, tidak akan pernah berhenti pada ritual, tapi mewujud dalam memelihara kehidupan. Jauh dari menjadikan teologi maut sebagai rujukan.

Ini bukan perkara saya atau siapa pun yang punya pendapat seperti ini defensif. Juga bukan ogah mengakui bahwa teologi maut itu hidup di sementara orang Islam. Tapi memang dibuat hipotesis pun tidak bisa, kalau pertanyaan tersebut di atas dianggap benar.

Orang yang memutuskan untuk menjadi pembunuh, secara kejiwaan sudah pasti sakit. Bukan salah bahan bacaannya, juga bukan salah cara menafsirkannya. Orang yang jiwanya sehat, mempelajari paham apa pun tidak akan tergoncang. Diperintahkan untuk membunuh dengan iming-iming surga pun bergeming. Pilih melaporkan ke polisi.

—000—

“Berapa pengguna GPS yang hari ini tersesat, misal, niatnya ke warteg malah masuknya rumah makan Padang?”

Beberapa tahun silam, Kiai Mustofa Bisri, ulama besar yang lebih kita kenal dengan sapaan Gus Mus, ditanya seorang netijen cabang Twitter.

“Maaf, apa yang sudah Kiai lakukan untuk menahan paham sesat Syiah?”

Jawaban Gus Mus pendek saja, “Aku sendiri belum tentu tidak sesat.”

Persoalan terpenting dalam soal literasi itu memang “merasa tahu dan tidak merasa tersesat”. Padahal potensi tersesat itu bisa berasal dari banyak sumber. Dan yang paling tidak disadari potensi tersesat yang bersumber dari dalam diri sendiri.

Seperti orang yang tersesat padahal sudah menggunakan GPS. Kalau kita langsung menyalahkan alat, itu sama saja artinya kita memasung ruang berpikir.

Tak mau menyadari adanya kemungkinan keliru dalam memahami navigasi, kurang memperhatikan keterbatasan alat, dan tak tahu harus berbuat apa kalau mengalami kebuntuan. Gunakan Pacar Setempat, misalnya.

Salah diagnosis akhirnya jamak terjadi. Orang melihat remaja hilang sopan santun, langsung bertanya, apa karena tidak ada lagi pelajaran PPKn?

Mereka lupa bahwa 100 persen koruptor itu selain sudah membaca kitab suci masing-masing, juga dapat pelajaran PPKn. Silahkan bertanya pada Surya Dharma, Juliari,  dan Made Oka.

Jangan tanya Pak Harto, kalian bukan malaikat penjaga kubur.

BACA JUGA Enak Zaman Pak Soeharto? Enak Ndasmu dan tulisan Haryo Setyo Wibowo lainnya.

Terakhir diperbarui pada 27 September 2021 oleh

Tags: AgamaAnggota DPRGPSIslamkorupsiliterasiMinat BacaSesatSyiahtersesat
Haryo Setyo Wibowo

Haryo Setyo Wibowo

Artikel Terkait

Pesta Literasi Mojok.co
Kilas

Kupas Kreativitas di Era Teknologi, Magdalene.co dan Alitra Gelar Pesta Literasi 5.0

21 November 2025
Katolik Susah Jodoh Tolong Jangan Login dan Ambil Jatah Kami MOJOK.CO
Esai

Cari Pasangan Sesama Katolik itu Susah, Tolong Jangan Login dan Ambil Jatah Kami

13 November 2025
Rugi Buka SPBU di Papua? DPR Bisanya Cuma Omong Kosong MOJOK.CO
Esai

Rugi Buka SPBU di Papua? Kalau DPR Menantang, Korporasi Bisa Menantang Balik karena DPR Cuma Bisa Melempar Retorika

3 Oktober 2025
intoleransi, ormas.MOJOK.CO
Ragam

Pemda dan Ormas Agama, “Dalang” di Balik Maraknya Intoleransi di Indonesia

19 September 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.