MOJOK.CO – Novel Namaku Asher Lev memberi saya pengetahuan awal tentang tata aturan agama Yahudi yang kemudian saya dapati memiliki banyak kemiripan dengan Islam. Pergulatan tokoh utama dengan melawan ajaran agamanya mencerminkan problem yang dialami siapa pun dari agama apa saja.
Kesan awal ketika menelusuri lembar demi lembar novel Namaku Asher Lev karya Chaim Potok (1922-2002) ialah banyaknya kemiripan antara ajaran Yahudi dan ajaran Islam (atau sebaliknya: ajaran-ajaran Islam memiliki banyak kesejajaran dengan ajaran Yahudi). Oh ya, saya tak pernah membaca buku tentang ajaran Yahudi. Novel inilah yang memberi saya serbasedikit pengetahuan tentang agama itu.
Misalnya ketika Asher menceritakan bahwa di masa kecilnya ia harus mengikuti banyak doa dan ritual. Salah satunya adalah bersunat. Ia bertanya kepada ibunya mengapa ia harus disunat. Ibunya menjawab, “Karena kamu orang Yahudi.”
Kemudian ini. Keluarga Asher Lev tinggal di Brooklyn, Amerika Serikat. Suatu kali saat remaja, Asher hendak pergi ke Eropa. Ia khawatir ayahnya tidak mengizinkan sehingga baru menjelang hari H keberangkatan ia meminta izin. Ayahnya kecewa sekali karena dia tidak bilang lebih awal. Sebab, kata ayahnya, di Eropa ada banyak makanan yang tidak kosher alias tidak halal.
Asher jadi bertanya-tanya, kalau sulit mencari makanan yang kosher, bagaimana selama ini ayahnya makan ketika bepergian ke Eropa? Ayahnya menjawab bahwa dia tidak pernah makan di restoran karena di sana ada beberapa komunitas Yahudi dengan yeshiva-yeshiva-nya (semacam pesantren). Itu pula maksud ayahnya, kalau Asher bilang sejak awal, ia akan minta tolong orang Yahudi di sana untuk memberikan tumpangan dan membantu Asher mendapatkan makanan yang kosher.
Kemiripan Yahudi dan Islam lainnya ialah sama-sama tidak memperbolehkan (atau tidak memberikan penghargaan pada) kegiatan menggambar. Pelukis dicap buruk dalam ajaran agama dan diancam akan menjadi penghuni neraka. Perkara inilah yang menjadi pokok cerita novel ini.
***
Melalui “aku”, Chaim Potok menceritakan secara kilas balik dan terperinci perjalanan hidup Asher Lev, seorang pelukis Yahudi. Masalah utama novel ini adalah, kesukaan Asher Lev melukis bertentangan dengan ajaran Yahudi yang tidak memperbolehkan kegiatan menggambar. Ditambah lagi, ia adalah anak pemuka agama dari sekte Hasidic, sekte Yahudi yang awalnya berkembang di Rusia. Ayah Asher, Aryeh Lev, adalah rabi yang diutus untuk meluaskan ajaran Yahudi ke berbagai negara dan membina yeshiva-yeshiva di sana.
Kegemaran melukis itu membuat Asher bertengkar dengan ayahnya yang memusuhinya karena ia lebih senang melukis daripada belajar Taurat atau ilmu-ilmu lain. Ayahnya merasa dibikin malu karena “bakat istimewa tapi mencemaskan” anaknya. Lingkungannya, yang merupakan lingkungan Yahudi religius, menggunjingnya karena kegiatan melukis itu.
Berulang kali ayahnya mengatakan bahwa melukis adalah kegiatan bodoh, pekerjaan para goyim. Goyim kurang lebih bersinonim dengan kafir. Nah ini lagi, seperti Islam, Yahudi ternyata juga punya istilah untuk menyebut “yang bukan mereka”: goyim atau kafir.
Asher sendiri memperoleh bakat dan hasrat untuk melukis pada usia empat tahun. Ia ingat, ketika itu ia memegang pensil seperti mendekapnya. Kemudian, seperti dipandu ilham, ia memindahkan banyak hal yang dilihatnya, benda-benda dan peristiwa-peristiwa, ke atas kertas. Ketika suatu kali ia melihat sesuatu dan tiba-tiba ingin menggambarkannya ke atas kertas, ia harus segera melakukannya karena jika tidak, kepalanya akan pening dan pusing.
Itulah sebabnya ketika ia selalu gagal memenuhi permintaan ayahnya untuk tidak melukis lagi. Desakan melukis itu datang mendesak dan meronta di dalam jiwanya.
Di sekolahnya yang merupakan sekolah khusus anak-anak Yahudi, ia juga sering dirisak karena keranjingan menggambar. Bukan saja oleh teman-temannya, tapi juga gurunya. Ini karena Asher sering tidak memperhatikan pelajaran. Suatu kali gurunya memberinya kertas bertuliskan,
Modigliani, Pascin, dan Soutine
Goreskan warna oker dan biru tua
Soutine bertengkar setiap hari
Pascin mati bunuh diri
Modigliani mabuk tak terkendali
Modligiani, Pascin, dan Soutine adalah pelukis-pelukis besar Yahudi. Tapi, seperti tulisan itu, gurunya menunjukkan kepadanya betapa buruk dan hancurnya kehidupan seorang pelukis. Betapa sesatnya jalan mereka.
Sementara teman-temannya juga menyoraki Asher.
Asher Lev tidak akan masuk surga
Dia akan masuk neraka
Jatuh terperosok sampai ke keraknya
Asher tak peduli dengan ejekan itu dan terus melukis. Ia menyisihkan uang saku untuk membeli cat, kertas, kanvas, dan bahan-bahan lain. Ia pergi ke galeri dan museum-museum untuk melihat koleksi karya-karya maestro dunia.
Ayahnya akhirnya tak lagi bisa mencegatnya untuk menjadi pelukis. Ia kemudian menyerahkan Asher kecil kepada seorang rabi. Rabi itu bersikap lunak dengan membuat kompromi: Asher boleh melukis, tapi tetap harus mengikuti ajaran Yahudi. Bagaimana bisa? Ketegangan-ketegangan dan pergumulan-pergumulan inilah yang menjadi daya tarik novel ini.
Asher akhirnya menjadi pelukis terkenal. Tapi, tanjakan kariernya bergerak sama lurus dengan hubungan dengan ayahnya yang semakin memburuk. Padahal, menghormati orangtua adalah salah satu dari Sepuluh Perintah Tuhan. Ayahnya sama sekali tidak mengapresiasi kesuksesannya. Sebaliknya, ia bahkan sedih sekali.
Jacob Khan, mentor Asher dalam melukis, berupaya mendamaikan hubungan ayah anak ini. Kesempatannya terjadi ketika Asher akan berpameran di kotanya sendiri. Ayah dan ibunya berjanji akan datang ke pembukaan, tapi pecah sebuah insiden: ketika ayahnya melihat-lihat lukisan, ia sampai pada lukisan telanjang. Ayahnya murka dan langsung meninggalkan pameran. Ia merasa tertampar dan malu sekali.
“Asher, aku seorang lelaki cerdas yang dapat berpikir. Katakan padaku apa perbedaan antara perempuan telanjang dan lukisan telanjang.”
“Perempuan telanjang adalah perempuan yang tidak memakai baju. Lukisan telanjang adalah penglihatan personal seseorang terhadap sesosok tubuh tanpa baju.”
Tentu saja ayahnya tidak menerima penjelasan itu. Dan Asher memang tidak pernah mengharap apresiasi dari seorang yang bersekolah di yeshiva seperti ayahnya.
Hubungan ayah anak ini retak lagi. Hingga bertahun-tahun kemudian ibunya dengan sepenuh harap meminta mereka berdamai. Kembali momennya adalah sebuah pameran. Ayah dan ibunya bersedia datang asal Asher tidak menampilkan lukisan telanjang. Asher mengiyakan dan berjanji akan menyuguhkan ayah ibunya makanan dan minuman yang kosher.
Momen itu datang dan sepertinya akan berlangsung hangat dan lancar. Ayah ibunya kini bisa menerima kehadiran anaknya sebagai pelukis. Apalagi kini ia telah menjadi pelukis terkenal. Sebagaimana umumnya sebuah pameran, pembukaan dilanjutkan dengan ramah-tamah sembari mengudap suguhan dan pengunjung mulai berkeliling melihat-lihat lukisan.
Sampai di sini cerita sepertinya akan berakhir bahagia. Tapi… tiba di sebuah lukisan, wajah ayahnya langsung merah padam. Tanpa bicara sedikit pun ia mengambil langkah cepat meninggalkan ruang pameran.
“Namaku Asher Lev, sang Asher Lev yang beritanya kalian baca di koran-koran dan majalah, kalian perbincangkan di acara-acara makan malam dan pesta minum-minum, Lev yang legendaris dan termasyhur tersebab lukisan ‘Brooklyn Crucifixion’.
“Aku seorang yang taat. Ya, tentu saja, Yahudi yang taat tidak melukis tentang penyaliban. Sebetulnya, Yahudi yang taat tidak melukis sama sekali—sebagaimana aku melukis. Begitu keras kata-kata yang dituliskan dan diomongkan tentangku, bermacam dongengan pun lahir: aku adalah pengkhianat, si murtad, pembenci diri, penoreh aib bagi keluarga, sahabat, serta kaumku; dan juga, penista ajaran-ajaran suci Kristiani, pengumpat Tuhan yang menyalahgunakan tata cara dan simbol-simbol yang dihormati orang-orang Kristen selama ribuan tahun.”
Demikian dua alinea awal pembuka novel yang sebenarnya merupakan ringkasan keseluruhan novel ini. Namaku Asher Lev adalah novel yang menempatkan permasalahan agama bukan sebagai latar belakang, solusi permasalahan, apalagi tempelan. Permasalahan agama adalah pergumulan dan pergulatan hidup yang tak pernah berhenti dan kering. Pilihan-pilihan yang diambil selalu akan membawa pada konsekuensi-konsekuensi lebih lanjut. Ia tidak akan pernah selesai dan selalu harus dijalani.
Novel ini mungkin bisa menjadi salah satu contoh dari karya sastra dengan corak keagamaan yang kuat. Kuat dalam artian tidak jatuh sebagai khotbah, juga tidak sebagai obat penawar, tapi lebih menekankan pada pergumulan iman dan kehidupan.
Baca edisi sebelumnya: Harry Potter dan Ajaran Mistik dan tulisan di kolom Iqra lainnya.