Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Membaca Krismon dan Reformasi Era Soeharto dari Lagu Anak-Anak ’90-an

Haryo Kunto Wibisono oleh Haryo Kunto Wibisono
22 Mei 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK – Penanda Reformasi era Soeharto enggak melulu melalui buku-buku sejarah. Beberapa ada juga yang dari cerita masa kecil, beberapa yang lain ada juga dari lirik lagu. Bukan lirik lagu Sheila on 7 tentu saja, tapi lirik lagu anak-anak.

Krisis moneter alias krismon adalah salah satu godam penggedor kekuasaan Soeharto. Melalui kata krismon, kita bisa melihat Si Bapak Pembangunan tiba-tiba sempoyongan di atas landasan pacu ekonomi Indonesia. Landasan yang ditopang “Repelita dan Trilogi Pembangunan” tiba-tiba ambrol begitu saja.

Setelah saya cari-cari kembali ingatan masa kecil saya beserta lihat beberapa buku yang mengulas krismon di akhir kekuasaan Orde Baru, saya mendapati krisis ini datang beriringan dengan krisis kepercayaan dan ekstrimnya krisis total—alias kristal. Sampai-sampai, beberapa orang meramal nasib Indonesia pasca-Soeharto bakalan serupa almarhum Uni Soviet atau Yugoslavia.

Lewat rangkaian krisis ini pula gagal sudah proyek Indonesia untuk “Lepas Landas”—yang konon katanya akan terjadi pada tahun 1999. Adegan demi adegan saat peristiwa krismon ini sangat epic, salah satunya foto legendaris saat Sang Jenderal membungkuk menandatangani perjanjian dengan IMF, sementara sang direktur, Michael Camdessus, mukanya datar, tangan dibikin menyilang.  Mungkin mbatin, Wadauww! Ngutang terus ae, Rek!

Tapi jelasnya setelah kejatuhan Soeharto masih bau-bau kemarin sore, setahu saya, orang-orang baru mulai berani ngomongin Soeharto dari banyak sisi. Dari yang mengkritik sisi ekonomi—lebih spesifik harga sembako—sampai ngomongin politik karena masih berapi-api soal Reformasi 1998 yang masih anget-angetnya tai ayam.

Tak bisa ditolak, saya yang waktu itu masih berumur 11 tahun pun mulai kemasukan juga istilah ekonomi dan politik. Dari istilah status quo, reformasi total, krismon, dan tentunya yang legendaris yaitu; yel-yel Gantung Soeharto. Muakasih lho buwat kakak-kakak mahasiswa~

Efek paling terasa dari krismon—disambung dengan reformasi—bagi anak SD macam saya adalah hujan-hujatan tertuju kepada Soeharto terjadi di mana-mana. Dari mulai pemotongan anggaran jajan di sekolah, kawasan pertokoan bahkan angkutan umum dipasang stiker “Pribumi Asli”, menyaksikan harga jajan tiba-tiba merangkak naik, pembatalan rencana darmawisata ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) akibat Jakarta rusuh, sampai dengan ikut-ikutan mendelik saat beberapa bank yang sempat berjaya ditutup dan di-graviti tulisan: “PUNK NOT DEAD!”

Menariknya, kehadiran istilah krismon, bagi anak SD seusia saya tidak dikenalkan melalui corong media massa, namun malah oleh lagu anak-anak. Lagian, susah pula membayangkan ada yang membuat buku “Krismon untuk Pemula” untuk saya waktu itu. Toh, emang ada anak SD yang mau mendengarkan laporan ekonomi dari Menteri Keuangan Mari’e Muhammad, ketika kita cuma tahunya Pak Harmoko?

Sampai sekarang pun saya masih belum tahu apa yang menyebabkan beberapa lagu anak-anak terbawa arus kebosanan dengan pemimpin yang itu-itu saja. Jelasnya, untuk sosok pemula seperti saya saat itu, isu ini bisa dimulai ketika Ria Enes dan boneka Susan-nya sudah menyanyikan lagu “Cita-citaku”.

Saat Soeharto sedang berada di puncak kemegahannya, tahun 1993, Susan malah dengen entengnya menjawab ingin jadi apa? Susan ngejawab dingin; “Ingin jadi presiden.” Ebuset, ini apa tidak kelewat berani ngomong begitu? Subversif banget kan meski yang ngomong cuma boneka?

Memasuki tahun 1997-1998, saat krisis ekonomi menyapu Asia Tenggara dan mata uang rupiah dihajar habis-habisan. Tak berselang lama mulai terdengar kampanye “Gerakan Cinta Rupiah” dari Mbak Tutut, Si Sulung Keluarga Cendana, gerakan yang menghimbau agar kelas menengah urban mau menukar dolarnya dengan rupiah sehingga rupiah kembali menguat.

Pada momentum yang bersamaan, di layar kaca mulai muncul artis cilik yang turut mengampanyekan gerakan ini, salah satunya seingat saya ada Cindy Cenora. Lirik lagunya yang dikeluarkan 13 Januari 1998 ini gampang diingat oleh anak usia SD. Liriknya kurang lebih begini:

“Aku cinta rupiah biar dolar di mana-mana // Aku suka rupiah, karena aku anak Indonesia.”

Inti lagu ini memberikan pesan bahwa apapun kegiatan ekonominya, rupiah alat transaksinya, rupiah sebagai simbol nasionalisme dan jamu kuat agar rupiah bisa sejajar dengan dolar. Kira-kira begitu.

Iklan

Dari Cindy Cenora juga terbuka tabir apa itu krismon bagi anak-anak seusia saya era segitu. Judul lagu berikutnya oleh penyanyi cilik yang sama, langsung to the point tanpa tedeng aling-aling, yakni “Krismon”.

Bait demi bait dari lagu yang dirilis tanggal 13 Mei 1998 ini menggiring anak SD untuk mengerti. Oh, oke, sekarang terjadi krismon, terus saya harus ngapain?

Begini salah satu penggalan lirik yang jadi tutorial anak SD menghadapi krismon pada era segitu:

“Kuminta baju baru / Katanya lagi Krismon // Kuminta sepatu baru / katanya masih krismon // Ku minta mainan juga / katanya lagi krismon // Kalo boleh semua aja / katanya masih krismon // Su su susah su su susah / nggak ada yang murah.”

Oke, anak-anak SD udah mulai mengerti sedang terjadi krismon di Indonesia. Berarti alokasi anggaran buat jajan di sekolah menjadi tumbal demi beli beras dan minyak goreng. Terus, anak SD yang biasanya diiming-imingi baju baru atau sepatu baru setelah kenaikan kelas, tiba-tiba malas menuntut pemberian itu.

Ya mau gimana lagi? Sedang krismon! Bahkan di level percakapan sehari-hari saat istirahat sekolah sekalipun, saat saya iseng minta dibelikan jajanan legendaris bernama “lidi-lidian” oleh seorang teman, teman saya langsung nyalak; “Lagi krismon nih! Beli sendiri dong!”

Lebih jauh penjelasan soal lagu ini, kita bisa masuk ke bagian reff…

“Krismon. Krisis moneter // Ku tanya Mama apa artinya… // Krismon krisis moneter…. bikin Papa pusing kepala // Krismon krisis moneter…. // Aku sih ya cuek aja…”

Lho, lho, lho kok malah cuek ini bijimana ceritanya?

Lalu di akhir reff-nya:

“Aku cinta buatan Indonesia // Harga murah nggak kalah mutunya // Aku cinta buatan Indonesia // tersedia di mana saja.”

Baiklah, sebentar. Ini kenapa lagunya harus diselesaikan dengan lirik “aku cinta buatan Indonesia” ya? Ya mau bagaimana lagi namanya juga lagu anak-anak. Kalau segala masalah mau ditautkan dengan Rezim Soeharto, itu kan sudah jadi jatahnya mas-mas atau mbak-mbak aktivis atau Mbah Iwan Fals.

Akan tetapi terlepas dari itu, lagu-lagu anak-anak ini bisa memberikan pengertian pada anak usia sekolah mengenai situasi yang terjadi di Indonesia pada era itu. Harga naik, orang tua pusing, lalu cuek saja! benar-benar sebuah pencerahan besar.

Sayangnya, meski sudah dicekoki lagu-lagu tersebut, ternyata keisengan berpikir khas anak SD era segitu belum juga bisa dikendalikan, contohnya?

“Soeharto gak bisa menurunkan harga Chiki ya? Oalah, ya pantes disuruh mundur.”

Terakhir diperbarui pada 22 Mei 2018 oleh

Tags: 199890-anCindy CenoraharmokoIMFkrisis moneterkrismonMari’e MuhammadreformasiRia Enessheila on 7SoehartosusanTaman Mini Indonesia Indah
Haryo Kunto Wibisono

Haryo Kunto Wibisono

Penulis dan Peneliti Lepas. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Artikel Terkait

Nasib buruh usai Marsinah jadi pahlawan nasional. MOJOK.CO
Ragam

Suara Hati Buruh: Semoga Gelar Pahlawan kepada Marsinah Bukan Simbol Semata, tapi Kemenangan bagi Kami agar Bebas Bersuara Tanpa Disiksa

12 November 2025
Kami Berdoa Setiap Hari agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional MOJOK.CO
Ragam

Kami Berdoa Setiap Hari agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional. Sejarawan: Pragmatis dan Keliru

11 November 2025
Suara Marsinah dari Dalam Kubur: 'Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku'.MOJOK.CO
Ragam

Suara Marsinah dari Dalam Kubur: ‘Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku’

10 November 2025
Alasan Soeharto tak layak dapat gelar pahlawan, referensi dari buku Mereka Hilang Tak Kembali. MOJOK.CO
Aktual

Buku “Mereka Hilang Tak Kembali”, Menyegarkan Ingatan bahwa Soeharto Tak Pantas Dapat Gelar Pahlawan, tapi Harus Diadili Mantan Menantunya

1 November 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

musik rock, jogjarockarta.MOJOK.CO

JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan

5 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.