MOJOK.CO – Marketplace model Tokopedia, Bukalapak, atau Shopee menyimpan jebakan buruk kalau ketagihan: kalap belanja tak berkesudahan.
Kalau Anda bertanya pada saya mengenai kreasi terbaik manusia sepanjang sejarah, dengan mantap saya akan menjawab mur-baut. Keduanya bisa kita temui di mana pun, sangat praktis, sampai-sampai kita tidak pernah membayangkan apa jadinya dunia hari ini tanpa kehadiran benda-benda itu.
Itulah jawaban kalau Anda bertanya pada saya yang seorang tenaga pengajar. Sementara kalau Anda menanyakan hal itu saat akhir pekan, ketika saya sudah melepas seragam Korpri, dengan keyakinan penuh saya akan menjawab: marketplace.
Ya, baik itu Tokopedia, Bukalapak, Shopee, maupun yang ada di Facebook.
Internet memang penuh dengan kreasi ajaib manusia. Mesin pencari merombak cara kita memperoleh dan mengolah informasi, media sosial mengubah cara kita berinteraksi dan memandang liyan, sementara layanan pesan instan menjadi media yang lebih dari sekadar sarana berbagi kabar.
Tapi, tidak ada yang sefenomenal marketplace. Tokopedia, Bukalapak, Shopee, dan kawan-kawannya itu tak hanya mengubah cara orang berjual-beli, melainkan juga mengubah banyak aspek perekonomian. Kelahiran uang dan dompet digital dibidani oleh marketplace, sementara bisnis antar-barang mendewasa berkat disuapi marketplace.
Namun kita tahu bahwa tidak ada yang sempurna di kolong langit. Keberadaan marketplace juga membawa dampak negatif tertentu, seperti konsumerisme yang berlebihan hingga gangguan kejiwaan.
Orang-orang kerap mengunjungi marketplace untuk mengurangi kecemasan, dan mereka membeli apa pun yang ada di situ untuk mencari kebahagiaan—bahkan ketika sadar barang yang dibeli bukan dalam rangka memenuhi kebutuhan.
Sebagai pedagang daring yang juga kadang memanfaatkan Tokopedia, Bukalapak, atau Shopee, saya sih senang-senang saja kalau orang-orang kecanduan belanja. Tapi saya mengetik naskah ini sambil mengenakan seragam Korpri, dan itu artinya saya tidak bisa membiarkan pembaca Mojok yang budiman terkena dampak buruk marketplace.
Mojok sebentar lagi ulang tahun, dan satu-satunya yang Mojok butuhkan adalah pembaca yang ceria dan waras dan bahagia, bukan pembaca dengan perban di tangan dan jahitan di jidat gara-gara kalah cepat pas flash sale.
Secara kasar, ada dua kategori pengunjung di marketplace, dan izinkanlah saya membagikan beberapa petuah berdasarkan kedua kategori tersebut.
Kategori pertama: pengunjung yang berduit.
Pengunjung model begini mudah ditemui pada akhir pekan pertama di awal bulan. Saat memilih barang, mereka biasanya bergumam, “Ih, yang ini kawaii, yang itu lucuk,” sebelum memasukkannya ke keranjang dan membayar.
Mereka tahu barang apa yang mereka inginkan, dan andaipun mereka tidak sungguh tahu, ingatlah bahwa duit tidak butuh pengetahuan.
Semua pedagang daring menyukai orang-orang yang berada di kategori ini. Kecuali saya, karena saya sedang berseragam Korpri.
Kalau Anda berada di kategori ini dan ingin melepaskan diri dari jerat-pikat marketplace, cara pertama yang perlu Anda lakukan adalah ini: membuat diri Anda sesibuk dan selelah mungkin.
Berdasarkan pengamatan saya, orang berduit kecanduan belanja daring karena mereka gabut dan punya kelebihan energi. Tak tahu apa yang mesti dilakukan, mereka lalu menghabiskan kelebihan sumber dayanya itu dengan cara berselancar di Tokopedia, Bukalapak, atau Shopee, yang malah akhirnya menjebak mereka.
Ada banyak kegiatan yang bisa Anda lakukan untuk mengisi waktu luang. Bercocok tanam, misalnya. Selain mampu membuang energi secara positif, bercocok tanam juga sesuai dengan arahan Pak Jokowi yang menginginkan generasi muda menjadi petani.
Betapa indah: Anda terbebas dari kecanduan belanja sekaligus berpeluang diangkat sebagai Duta Petani Milenial!
Bercocok tanam bukan berarti Anda mesti pindah ke desa lalu menggarap sawah. Kalau lahan rumah Anda terbatas, Anda tetap bisa bercocok tanam dengan cara menanam kembang di pot.
Kalau tak punya lahan sama sekali, teknik hidroponik patut Anda coba. Dan kalau Anda alergi dengan tanaman apa pun, pergilah ke Play Store dan pasanglah Farmville.
Tapi kalau cara pertama kurang berhasil, berpalinglah segera ke cara kedua: belajar filsafat.
Yah, mau bagaimanapun, dampak buruk marketplace berkaitan dengan sikap mental dan pola pikir, dan tidak ada cara terampuh dalam menanganinya selain dengan merombak pikiran juga.
Membaca “Das Kapital” akan membantu Anda dalam memahami apa itu kapitalisme-konsumerisme, batu baterai semua marketplace. Sementara mendengarkan ceramah Slavoj Zizek bakal menambah pemahaman Anda mengenai konsep kapitalisme yang berkembang hari ini.
Tetangga Anda yang julid mungkin akan mengelus dada ketika mendapati Anda duduk di beranda dengan buku filsafat di tangan. “Ya ampun, kecil-kecil kok udah belajar jadi atheis,” begitulah desas-desus yang beredar di kampung Anda.
Tentu saja tetangga Anda keliru. Anggapan “belajar filsafat bikin orang jadi atheis” itu sama rancunya dengan “berjiwa sosial tinggi bikin orang jadi menteri sosial”. Nggak ada kaitannya, Bos. Ya, kan, Pak Juliari? Halo? Halo?
Tapi gimanapun, pemahaman yang utuh mengenai kapitalisme-konsumerisme akan benar-benar membantu Anda yang kepengin tobat dari kecanduan belanja daring atau sakaw mengunjungi Tokopedia, Bukalapak, maupun Shopee.
Yah—setidaknya, kalau Anda berniat kabur dari penjara, mula-mula Anda harus sadar kalau Anda sedang dipenjara, kan?
Tapi kalau cara kedua itu kurang ampuh juga, melompatlah ke cara terakhir, cara yang merupakan perwujudan dari kategori kedua pengunjung di segala marketplace dan dibenci owner Tokopedia, Bukalapak, atau Shopee, yakni: tidak punya duit.
Meskipun menyiksa, sebenarnya ini adalah cara yang lebih gampang ketimbang berjibaku dengan peluh atau mendengarkan ceramah Martin Suryajaya. Metodenya beragam pula. Tepat setelah gajian, contohnya, Anda bisa menggelar aksi ikoy-ikoyan.
Atau kalau kepingin metode yang lebih low profile dan elegan, cobalah untuk …
(melepas seragam Korpri)
… berkunjung ke toko daring saya dan memborong dagangan saya. Jilbabnya murah-murah, Kak, ada promo gratis ongkir pula!
BACA JUGA Aplikasi Shopee: Krisis Identitas dan tulisan Mita Idhatul Khumaidah lainnya.