Kursi Terawan di ‘Mata Najwa’ dan Sarkasme dalam Jurnalisme Televisi - Mojok.co
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
Logo Mojok
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Terminal
  • Movi
  • Podcast
Home Esai

Kursi Terawan di ‘Mata Najwa’ dan Sarkasme dalam Jurnalisme Televisi

Wisnu Prasetya Utomo oleh Wisnu Prasetya Utomo
30 September 2020
0
A A
Kursi Terawan di ‘Mata Najwa’ dan Sarkasme dalam Jurnalisme Televisi

Kursi Terawan di ‘Mata Najwa’ dan Sarkasme dalam Jurnalisme Televisi

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Kekuatan terbaru Mata Najwa itu lahir melalui “jasa” ketidakhadiran Terawan. Bermula dari sebuah keterbatasan, eh malah jadi sarkas sekalian.

Ketika menyaksikan Mbak Nana mewawancarai kursi kosong yang mestinya diduduki Terawan, saya segera meyakini bahwa Mata Najwa sedang menayangkan momen terbaik dalam jurnalisme televisi di Indonesia.

Awalnya saya merasa hal ini hanya momen terbaik televisi di masa pandemi doang, tapi setelah saya pikir ulang… hm, ternyata tidak. Ini momen yang bakal jadi pemantik cara baru televisi dalam mengkritik sesuatu—setidaknya untuk konteks media di Indonesia saja.

Dan di sinilah momen ketika publik (setidaknya netizen non-BuzzerRP) percaya bahwa televisi Indonesia punya kekuatan untuk berbicara dengan lugas dalam mengingatkan pemegang kursi kekuasaan.

Televisi seolah direpresentasikan dengan cara berbeda lewat Mata Najwa kemarin. Nggak cuma sebagai pendulang rating dengan siaran-siaran azab atau sinetron, ada tawaran baru dalam program televisi kita hari ini.

Baca Juga:

Dokter Umum Memandang Kegaduhan Terawan dan IDI vs PDSI: Kayak Anak SD Lagi Berantem

PSSI Gugat Mata Najwa ke Pengadilan: Langkah Cerdik dari PSSI

Podcast Deddy Corbuzier buat Klarifikasi, Acara Mata Najwa buat Cari Keadilan

Bahkan ketika kita menyaksikan berbagai talkshow politik di televisi, yang kita lihat hanyalah adu bacot dengan tensi yang berisiko bikin gagal ginjal. Baik itu di ILC, Rosi, bahkan termasuk program Mata Najwa sendiri.

Kita, penonton, sering tidak mendapatkan apa-apa selain potongan-potongan pernyataan klikbet. Hal-hal yang kadang bisa membantu kita tertawa, menangis, atau marah. Lantas melampiaskannya di media sosial.

Adu bacot di televisi itu pun alihrupa dalam bentuk yang berbeda. Perang komentar di Facebook, parade makian di Instagram, atau twitwar penuh sumpah serapah di Twitter.

Kalaupun ada tayangan-tayangan televisi yang kritis ke pemerintah, karena alasan afiliasi politik pemiliknya, angle kritis itu dengan mudah bisa dimentahkan. Dan karena gejala ini sudah terjadi berulang-ulang, kita sebagai rakyat jelata pun jadi memakluminya belakangan.

Memaklumi bukan karena menerima dengan lapang dada, tapi lebih ke arah pasrah karena tak punya kuasa.

Nah, tayangan Mata Najwa tersebut, berbeda dengan yang pernah ada selama ini. Episode tersebut melabrak pakem-pakem umum yang dikenali. Aneh, anomali, berani, nekat, cablak, bikin gatel, bikin sebal, dan ajaib dalam satu waktu. Hal yang bukan tidak mungkin jadi benchmark baru untuk Mata Najwa.

Ironisnya (atau kreatifnya?) tayangan yang powerful ini justru muncul karena Terawan memutuskan tidak mau hadir. Lantas ketidakhadiran ini pun “dilawan” Mata Najwa dengan cara sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

Dan karena hanya ada kursi kosong di depannya, Mbak Nana tentu mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada si kursi. Barangkali seperti yang biasa kita lakukan kalau sedang sendiri, sambil menanti janji yang tak kunjung datang memberi kisi-kisi untuk ditepati.

Uniknya, kursi kosong di hadapan Mbak Nana ini bisa berarti banyak. Dan karena kursi itu tidak bisa berbicara sendiri, saya akan coba mewakilinya. Setidaknya menafsirkannya.

Berbagai pertanyaan Mbak Nana kepada kursi kosong itu sebenarnya adalah keresahan kita selama ini. Kita sudah lebih dari enam bulan berada di masa pandemi. Ratusan ribu positif Covid-19, ribuan meninggal, dan di antaranya ada teman bahkan keluarga kita.

Dalam kondisi seperti itu, kita masih sempat menyaksikan sejak awal pandemi berbagai pernyataan para pejabat yang terkesan meremehkan dampak pandemi.

Tentu saya tidak mau mengulang berbagai pernyataan konyol tersebut. Cukup cari di mesin pencari, dan Anda akan menemukan katalog blunder pernyataan-pernyataan para pejabat yang cukup ampuh jadi obat pencahar di pagi hari.

Ironisnya, berbagai blunder komunikasi publik itu juga sinonim dengan kebijakan-kebijakan yang memunculkan pesan ambigu ke publik. Salah satu yang fenomenal tentu ketika pada masa puasa kita diajak untuk berdebat tentang definisi mudik dan pulang kampung. Seolah virus bisa berhenti menular kalau kita memutuskan menggunakan salah satu istilah tersebut.

Nah, dari perkara remuknya cara komunikasi pejabat ke publik itu saja, sudah banyak yang menyampaikan kritik. Dari netizen edgy sampai para pakar beneran, semua berusaha memberikan saran perbaikan. Sayangnya, setiap upaya menyampaikan kritik, sering mendapat respons balik yang tidak menyenangkan.

Misalnya seperti akun Twitter epidemiolog Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, yang sempat diretas karena beliau berkali-kali vokal menyampaikan kritik terhadap cara pemerintah menangani pandemi.

Berbagai kritik dan masukan yang tidak berbalas, ditambah respons yang semakin hari bikin sakit kepala. Hal semacam ini menambah dosis keresahan tambah membara. Keresahan makin nyata dan berlipat ganda.

Berbagai keresahan itu pun bisa dibahasakan oleh Mbak Nana dengan aksi simbolik: memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis—plus retoris—kepada kursi kosong.

Meski begitu, tak semua orang sepakat dengan cara Mata Najwa. Ada yang merespons bahwa bertanya kepada kursi kosong termasuk upaya mempermalukan Terawan dan itu termasuk kategori bullying.

Tunggu. Benarkah begitu?

Oke. Saya paham kalau banyak yang kaget dengan ide Mbak Nana mewawancarai kursi kosong karena di Indonesia, sependek pengetahuan saya, ini merupakan kejadian pertama kali. Di banyak negara lain, mewawancarai kursi kosong ini praktik yang biasa saja dan sudah berlangsung puluhan tahun.

Di Inggris, misalnya, berbagai stasiun televisi seperti BBC, Sky News, Channel 4 sering melakukannya. Channel 4 bahkan mengganti Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dengan balok es, karena Boris tidak mau datang dalam tayangan debat.

Itulah kenapa, sebenarnya bukan hal aneh meng-kursi-kosong-kan seorang politisi atau pejabat, apalagi kalau pejabat tersebut tidak mau ditanya perkara tanggung jawabnya. Lebih-lebih kalau kebijakannya selama menjabat perlu untuk diklarifikasi.

Dan dari kursi kosong atau terisi, kita bisa tahu bahwa seorang pejabat publik berani atau tidak untuk mempertanggungjawabkan kebijakannya di depan publik. Kalau tidak berani, berarti ada yang salah dengan kebijakannya selama ini dan hal tersebut diakuinya sendiri. Sedangkan kalau berani—paling tidak—dia merasa kebijakannya benar meski dianggap orang lain salah.

Bertanya kepada pejabat publik yang punya kekuasaan tentu tidak bisa kategorikan bullying. Ini bentuk koreksi. Jika mempertanyakan kebijakan pejabat saja salah, saya malah khawatir istilah bullying bisa mengalami penurunan makna kalau digunakan untuk melindungi citra pejabat publik.

Justru ketika Mata Najwa menyediakan kursi kosong, inilah wujud dari sarkasme di jurnalisme televisi. Selama ini sarkasme di dunia jurnalisme di Indonesia memang lebih sering hadir dalam bentuk teks, baik di media cetak maupun media online. Mbak Nana harus diapresiasi karena dia membawa model baru sarkasme di televisi ternyata bisa meninggalkan kesan yang cukup dalam.

Lantas pertanyaannya, apakah sarkasme model ini akan menjadi tren di program televisi lainnya?

Belum tentu, dan saya harap malah tidak. Karena kalau dijadikan tren dan dilakukan berulang, ia bisa menjadi klise. Dan cara klise sering tidak efektif untuk sarana kritik.

Termasuk ketika Mbak Nana mewancarai pihak paling bertanggung jawab dalam sebuah kasus, lalu ada disclaimer seperti ini, “Kami sudah mengundang yang bersangkutan, tapi beliau mengaku tidak bisa hadir di Mata Najwa.”

Dan supaya hal itu tidak menjadi klise lagi, disclaimer itu kadang memang tak perlu cuma disampaikan secara verbal tapi sekalian saja ditunjukkan secara visual.

BACA JUGA Yang Perlu Dilakukan Najwa Shihab agar Pak Terawan Mau Datang ke ‘Mata Najwa’ dan tulisan Wisnu Prasetya Utomo lainnya.

Tags: coronaMata NajwaNajwa Shihabterawan
Wisnu Prasetya Utomo

Wisnu Prasetya Utomo

Peneliti media, Dosen FISIPOL UGM, tinggal di Sleman. Plus masih jomblo, katanya.

Artikel Terkait

Dokter Umum Memandang Kegaduhan Terawan dan IDI vs PDSI: Kayak Anak SD Lagi Berantem MOJOK.CO

Dokter Umum Memandang Kegaduhan Terawan dan IDI vs PDSI: Kayak Anak SD Lagi Berantem

29 April 2022
PSSI Gugat Mata Najwa ke Pengadilan: Langkah Cerdik dari PSSI

PSSI Gugat Mata Najwa ke Pengadilan: Langkah Cerdik dari PSSI

5 November 2021
ilustrasi Podcast Deddy Corbuzier buat Klarifikasi, Acara Mata Najwa buat Cari Keadilan mojok.co

Podcast Deddy Corbuzier buat Klarifikasi, Acara Mata Najwa buat Cari Keadilan

14 September 2021
Wonderful Indonesia: Presidennya Bagi-bagi Sembako, Menterinya Nonton Sinetron, Warganya Mati di Jalan

Wonderful Indonesia: Presidennya Bagi-bagi Sembako, Menterinya Nonton Sinetron, Warganya Mati di Jalan

17 Juli 2021
Ivermectin Beneran Obat COVID-19? Jangan Mudah Percaya Pesan WhatsApp dengan Status ‘Forwarded Many Times’

Ivermectin Beneran Obat COVID-19? Jangan Mudah Percaya Pesan WhatsApp dengan Status ‘Forwarded Many Times’

11 Juni 2021
Belajar dari Masjid Aljihad

Belajar dari Masjid Aljihad

3 Mei 2021
Pos Selanjutnya
Arsenal dan Perubahan yang Perlu Dilakukan Setelah Houssem Aouar Bergabung MOJOK.CO

Arsenal dan Perubahan yang Perlu Dilakukan Setelah Houssem Aouar Bergabung

Komentar post

Terpopuler Sepekan

Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak MOJOK.CO

Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak

8 Agustus 2022
Kursi Terawan di ‘Mata Najwa’ dan Sarkasme dalam Jurnalisme Televisi

Kursi Terawan di ‘Mata Najwa’ dan Sarkasme dalam Jurnalisme Televisi

30 September 2020
Asrama mahasiswa Sumatra Selatan, Pondok Mesudji dalam sengketa di pengadilan. Mahasiswa menilai ada campur tangan mafia tanah.

Mahasiswa Sumsel di Asrama Pondok Mesudji Jogja Terancam Pergi karena Mafia Tanah

11 Agustus 2022
Lampu merah terlama di Jogja. (Ilustrasi Ega Fansuri/Mojok.co)

Menghitung Lampu Merah Terlama di Jogja, Apakah Simpang Empat Pingit Tetap Juara?

9 Agustus 2022
pola pengasuhan anak mojok.co

Psikolog UGM Jelaskan Tipe Pola Asuh yang Bisa Berdampak pada Hasil Akademik Anak

5 Agustus 2022
Kisah Bagaimana Gus Dur “Membela” Karya Salman Rushdie MOJOK.CO

Kisah Bagaimana Gus Dur “Membela” Karya Salman Rushdie

14 Agustus 2022
Derita Gagal SBMPTN dan (Ditolak) Perguruan Tinggi Favorit MOJOK.CO

Derita Gagal SBMPTN dan (Ditolak) Masuk Perguruan Tinggi Favorit

5 Agustus 2022

Terbaru

alfamart mojok.co

Karyawan Diancam UU ITE, Alfamart Tunjuk Hotman Paris sebagai Pengacara

15 Agustus 2022
Kiki Ucup: Pestapora, Lagu 2000an, hingga Musisi Reunian

Kiki Ucup: Pestapora, Lagu 2000an, hingga Musisi Reunian

15 Agustus 2022
Es Putr Pak Sumijan Lasem

Warung Es Puter Pak Sumijan Lasem: Kemewahan di Balik Uang Rp5 Ribu

15 Agustus 2022
parpol peserta pemilu mojok.co

40 Parpol Resmi Daftar Jadi Peserta Pemilu, Siapa Saja?

15 Agustus 2022
penembakan brigadir j mojok.co

Timsus Polri ke Magelang, Telusuri Pemicu Penembakan Brigadir J

15 Agustus 2022

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
DMCA.com Protection Status

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Cerbung
  • Movi
  • Podcast
  • Mau Kirim Artikel?
  • Kunjungi Terminal

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In