Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai Kolom

Maha-mendengar dan Maha-melihat

Ulil Abshar Abdalla oleh Ulil Abshar Abdalla
3 Mei 2020
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Maha-melihat dan maha-mendengar, dalam makna yang lazim kita pahami sehari-hari, cenderung membawa pengertian yang “physical”.

Dalam akidah Islam, Tuhan digambarkan dengan sejumlah sifat yang kadang-kadang menimbulkan pertanyaan: apakah sifat-sifat itu tidak membuat Tuhan menjadi mirip manusia? Salah satu sifat yang bisa menyarankan kesan seperti ini adalah dua sifat ini: mendengar (al-sam‘) dan melihat (al-bashar).

Tuhan adalah Maha-mendengar dan Maha-melihat.

Melihat dan mendengar, dalam makna yang lazim kita pahami sehari-hari, cenderung membawa pengertian yang “physical”, badaniah: mendengar dengan telinga, melihat dengan mata.

Para mutakallimun, teolog Muslim klasik berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan pengertian yang antropomorfis (maksudnya: pengertian tentang Tuhan yang menyerupai manusia) semacam ini. Karena itu, dalam kitab Ihya’, al-Ghazali mencoba menepis kesan-kesan seperti ini, dan menjelaskan dua sifat Tuhan tersebut sebagai berikut:

“Wa-yara min ghairi hadaqatin wa ajfanin, wa-yasma‘u min ghairi ashmikhatin wa adzanin, kama ya‘lamu bi-ghairi qalbin wa-yabthisyu bi-ghairi jarihatin.”

Saya terjemahkan secara bebas sebagai berikut:

Tuhan melihat tanpa melalui kelopak mata, mendengar tanpa melalui telinga, sebagaimana Dia mengetahu tanpa melalui pikiran, atau “memukul” (maksudnya: menimpakan adzab) tanpa melalui anggota badan.

Kita masih ingat, prinsip pertama dalam memahami Tuhan sebagaimana diajarkan al-Ghazali, dan sudah saya bahas dalam bagian sebelumnya, adalah “tanzih”—Tuhan yang tak menyerupai apapun; sebab Tuhan adalah dzat yang “tan kinaya ngapa”, tak bisa digambarkan dengan bahasa manusia. Tuhan adalah “ineffable”.

Di kalangan ulama Asy‘ariyyah, kecenderungan untuk “tanzih,” menjauhkan Tuhan dari kemungkinan serupa dengan manusia, sangat kuat sekali. Boleh jadi ini mereka lakukan untuk membedakan diri dari kelompok lain yang cenderung memahami Tuhan sebagai “Tuhan yang mirip manusia”. Kelompok ini biasa disebut sebagai “mujassimah”—kaum antropomorfis. Perdebatan berlangsung “panas” sekali antara dua kelompok ini di era klasik.

Sikap ulama Asya‘ariyyah (juga kelompok Mu‘tazilah yang sering disebut sebagai “kaum rasionalis Islam”) yang terlalu terobsesi dengan “tanzih” ini dikritik oleh Ibn ‘Arabi (w. 1240), seorang sufi besar dari Andalusia.

Ibn ‘Arabi cenderung mengambil jalan yang unik dalam memahami sifat-sifat Tuhan: ia menggabungkan antara “tanzih” dan “tasybih” sekaligus—Tuhan ya mirip dan tidak mirip manusia. Sebab, pada manusia ada hampir semua sifat-sifat Tuhan, meski dalam derajat yang lebih rendah. Dalam diri manusia memang terdapat unsur ilahiah (nafkhah, tiupan Tuhan).

Kenapa Ibn ‘Arabi sampai kepada pemahaman seperti ini?

Saya kira karena ia menggunakan sudut pandang “puitis” dalam memahami sifat-sifat Tuhan; Ibn Arabi menggunakan “dzauq”, intuisi, perasaan. Sementara ulama Asy‘ariyyah (termasuk di dalamnya adalah al-Ghazali) lebih cenderung menggunakan pendekatan “dialektis”, akal.

Iklan

Saya melihat cara pandang Ibn ‘Arabi lebih pas untuk cita-rasa keimanan seorang beriman yang awam.

Jika kita mau ringkaskan pandangan Ibn ‘Arabi, kira-kira demikian: Ada momen-momen dalam hidup manusia di mana Tuhan begitu dekat, amat dekat sekali, begitu rupa sehingga ia seperti merasakan kehadiran seorang sahabat, atau bahkan kekasih.

Inilah momen “puitis,” momen di mana Tuhan begitu dekat kepada manusia; bahkan lebih dekat daripada urat lehernya sendiri, sebagaimana digambarkan dalam Qur’an: wa-nahnu aqrabu ilaihi min habli-l-warid (QS 50:16)—Aku lebih dekat kepada manusia tinimbang urat lehernya.

Inilah momen “tasybih”, saat-saat ketika Tuhan “turun” menyapa manusia, begitu dekatnya hingga ia tergoda untuk menggambarkan-Nya secara jasmaniah; ia secara spontan ingin menggambarkan Tuhan secara “jasadiah” sehingga mirip (tasybih) dengan makhluk. Momen seperti ini, bagi seorang beriman, justru merupakan saat-saat yang membahagiakan. Inilah “momen jamal”—momen keindahan Tuhan yang mendekat kepada manusia.

Ada pula momen lain ketika manusia harus kembali kepada “kesadaran nalar”-nya, seperti seseorang yang siuman dari “mabuk”, lalu menyadari kembali bahwa sedekat-dekatnya Tuhan kepada manusia, Ia adalah dzat yang tak mungkin serupa dengan makhluk.

Pada momen ini, Tuhan kembali menjadi dzat yang agung, tinggi, dan jauh dari segala penggambaran manusia. Inilah “momen jalal”, keagungan Tuhan. Manusia, dari segi pengalaman relijius, terombang-ambing antara dua pendulum ini: tanzih dan tasybih. Pengalaman relijus manusia tidaklah tunggal, tetapi kompleks.

Seseorang yang mengalami momen “puitik” seperti dialami para sufi (mereka yang oleh Ibn ‘Arabi disebut sebagai ahlu-l-adzwaq—orang-orang yang memiliki kepekaan rasa), akan mampu menembus “hijab”, tirai, dan melihat misteri sifat-sifat Tuhan yang seolah-olah saling bertentangan: Tuhan yang tampak (al-dzahir), tetapi juga sekaligus rahasia (al-bathin). Tuhan adalah Maha-mendengar dan Maha-melihat dengan cara yang “misterius” yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang terus mengasah dzauq-nya, intuisi dan mata batinnya.


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

Terakhir diperbarui pada 3 Mei 2020 oleh

Tags: al-ghazaliihyaTuhanWisata Akidah
Ulil Abshar Abdalla

Ulil Abshar Abdalla

Cendikiawan muslim.

Artikel Terkait

Cerita Mereka yang Berhasil Stop Main Judi Online Setelah Kehilangan Segalanya: Kalah Puluhan Juta, Ingin Resign dari PNS, Tapi Bisa Taubat Gara-Gara Grup Facebook.MOJOK.CO
Esai

Tentang Sebuah Kampung yang Ketagihan Judi Togel

4 Januari 2024
Tuhan, Mengapa Saya Terlahir Menjadi Manusia Seperti Ini? MOJOK.CO
Kilas

Tuhan, Mengapa Saya Terlahir Menjadi Manusia Seperti Ini?

25 Desember 2023
Mungkin Tuhan Menamparku, Cinta Perempuan itu Bukan Untukku. MOJOK.CO
Kilas

Mungkin Tuhan Menamparku, Cinta Perempuan itu Bukan Untukku

4 Juni 2023
Tuhan Itu Apa
Esai

Bapak, Tuhan Itu Apa?

14 Januari 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.