MOJOK.CO – Saya adalah anak penjual nisan di Jombang. Sebuah profesi dengan banyak stigma miring. Salah satunya bersekutu dengan iblis. Serem sih.
Jika ada profesi menyeramkan yang harus dijadikan film horor, itu adalah penjual batu nisan. Profesi menyeramkan lainnya terlalu sering muncul dalam film horor indonesia. Misalnya semacam pemandi jenazah, supir ambulance, hingga penggali kubur.
Jadi, tolong sampaikan ke Joko Anwar atau sutradara horor tersohor lainnya. Sebagai anak penjual batu nisan dan kijing, saya cukup iri. Bagaimana tidak, stigma yang melekat tidak kalah menyeramkan dibanding profesi lainnya.
Selama hidup, stigma sosial sebagai anak penjual batu nisan tidak bisa dipisahkan. Tanpa malu saya mengakui bahwa saya dibesarkan dari berjualan batu nisan dan kijing. Barang-barang yang dianggap menyeramkan dan lekat dengan kematian.
Selayak penjual lainnya, rumah saya dikelilingi barang dagangan tentunya. Namun, yang mengelilingi rumah saya adalah batu kijing dengan berbagai macam. Mulai harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Hidup bersama stigma sebagai anak penjual batu nisan dan kijing
Jika anak kecil bisa membanggakan pekerjaan orang tuanya, saya tentu sebaliknya. Jika anak kecil bisa dengan gagah berkata. “Tak laporin ayahku yang polisi, loh!” atau “Tak laporin ayahku, loh! Ayahku presiden!” aduuuhhhh. Bayangkan jika saya berkata seperti itu. “Tak laporin ayahku, loh! Biar kamu dipendem batu nisan.” Bisa runyam masalahnya. Bisa-bisa jadi kasus dan saya tidak punya teman.
Beranjak dewasa, seperti bayang-bayang, stigma itu terus mengikuti. Seorang teman pernah memberitahu saya bahwa ada teman kami yang ketakutan saat main ke rumah saya. Saya tentu paham, apa yang dia takutkan. Karena cuma satu alasan paling logis, saya dianggap tinggal di kuburan. Sedikit berlebihan sih, tapi memang begitu kenyataannya.
Seumur hidup saya tinggal di rumah yang dikelilingi batu kijing, tapi tidak ada seram-seramnya. Tidak ada gangguan dari makhluk halus atau iblis yang saya temui.
Toh, ini hanya sekadar batu biasa, bukan batu yang dikasih jimat atau semacamnya. Satu-satunya yang seram adalah saat tidak laku. Ya apalagi yang seram dari penjual yang dagangannya tidak laku? Dapur tidak bisa ngebul. Kalau yang ngebul batu kijing, nah itu baru agak horor.
Banyak orang meninggal = rezeki lancar?
Selama saya hidup sebagai anak penjual batu nisan dan kijing, ada satu pertanyaan yang menyebalkan:
“Kalau banyak orang meninggal, keluargamu jadi banyak rejeki dong?”
Sungguh pertanyaan semacam ini sudah sering sekali saya dengar. Tanpa harus mencatat jumlahnya, saya yakin, pertanyaan itu muncul lebih banyak dari jumlah umur saya sekarang. Demi Tuhan, saya sudah muak menjelaskan jawaban dari pertanyaan tersebut.
Saya akan menjelaskannya tanpa kalian harus menanyakannya. Tidak ada hubungannya orang meninggal dengan rezeki keluarga saya. Jika ada, mungkin skalanya akan kecil sekali.
Bahkan di daerah tempat saya, beberapa desa sudah menyiapkan batu nisan untuk proses pemakaman. Jika nantinya ingin dilakukan proses renovasi makam, itu tidak bisa dilakukan dengan cepat. Biasanya proses penggantian batu nisan dengan batu kijing yang lebih besar dilakukan setelah melewati 1.000 hari. Itu saja tidak semua makam bisa dibangun batu kijing di atas makamnya.
Saya harap kalian bisa paham dengan jawaban saya. Jadi jika kalian bertemu dengan saya atau anak penjual nisan lain, tidak perlu basa-basi dengan pertanyaan konyol semacam itu lagi.
Keluarga saya bersekutu dengan iblis?
Ada pengalaman paling aneh muncul dari teman saya. Saat itu, saya masih duduk di bangku SMA.
Saya masih ingat betul saat teman saya tiba-tiba menanyakan apakah keluarga saya bersekutu dengan iblis. Awalnya itu hanya gurauan semata. Setelah saya melihat wajahnya, dia mengatakannya dengan ekspresi yang cukup serius.
Perkara jualan batu nisan dan kijing, rumah yang dikelilingi batu kijing, keluarga saya dicap sebagai penganut satanis. Dengan pelan-pelan saya menjelaskan bahwa ini hanya jualan. Saya memastikan tidak ada ruang khusus untuk pemujaan dan gambar pentagram di lantai rumah saya.
Tidak ada juga ritual dengan lilin merah atau gambar kepala kambing menempel. Sepertinya teman saya terlalu banyak menelan teori konspirasi. Hingga temannya dianggap satanis. Kalau keluarga saya satanis, kenapa saya tidak tajir seperti cerita-cerita konspirasi lainnya? Ah, sial!
Seperti halnya bisnis lain, penjual nisan juga memiliki tantangan
Meskipun terlihat menakutkan, bisnis batu nisan dan kijing sama seperti bisnis-bisnis lainnya. Sependek umur saya, ada beberapa tantangan yang bisa menyelamatkan bisnis keluarga ini. Maklum, jual batu nisan dan kijing merupakan bisnis warisan kakek dari garis keturunan ibu saya.
Tantangan yang harus dihadapi adalah larangan pembangunan batu kijing. Di beberapa makam, terpampang dengan besar larangan mengkijing makam. Tentu sebagai anak penjual nisan dan batu kijing, ini sebuah masalah yang besar.
Tidak patah arang, dengan prinsip selagi masih orang indonesia, semuanya bisa dilobi. Solusi yang diberikan adalah membangun makam saat malam hari. Inilah satu-satunya hal horor yang terjadi kepada anak penjual nisan dan kijing seperti keluarga saya.
Selain kucing-kucingan dengan perangkat desa, kami juga kucing-kucingan dengan makhluk halus penghuni makam. Saya rasa, sudah termasuk bisnis yang ekstrem di dunia nyata maupun dunia tak kasat mata. Tantangan demi tantangan terus muncul, namun bisnis ini masih bertahan hingga sekarang… bukan karena banyak yang meninggal yaaa….
Penulis: Deby Hermawan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Nasib Memaksa Tinggal di Rumah Dekat Kuburan, Sampai Ada Makam di Dapur Rumah Warga Jogja dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.