Ketua DPP PDIP, Puan Maharani, dan Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP yang sekaligus Ketua DPD Jawa Tengah, Bambang Wuryanto atau kerap dipanggil Bambang Pacul, memberi pesan politik yang terang kepada publik bahwa PDIP tidak menghendaki Ganjar Pranowo menjadi Capres PDIP.
Akankah hal ini membuat karier politik Gubernur Jawa Tengah selama dua periode itu tamat?
Sebetulnya desas-desus tidak akurnya Ganjar dengan mayoritas pengurus PDIP sudah santer terdengar sejak beberapa waktu lalu. Tapi makin seringnya nama Ganjar moncer di berbagai survei, tampaknya ketegangan itu makin memuncak.
Makin meningkat popularitas dan elektabilitas Ganjar, makin memanas situasinya. Hingga satu letupan terjadi di partai berlambang banteng bermoncong putih ini.
Pernyataan terang Bambang Pacul, ditambah pernyataan implisit Puan Maharani, jelas bisa dianggap suara PDIP secara “resmi”.
Bambang mengatakan Ganjar sudah kebablasan, Puan menyatakan kalau sebaiknya pemimpin tidak hanya populer di medsos saja melainkan harus kerja nyata bersama rakyat. Apalagi terang-terangan Ganjar tak diundang dalam forum pengarahan penguatan soliditas partai menuju pemilu 2024, yang dihelat di Jawa Tengah.
Ada beberapa hal yang perlu dilihat dengan cermat dalam fenomena ini. Bagi seorang pejabat Gubernur seperti Ganjar Pranowo, wajar jika dia ingin menjadi salah satu kandidat calon presiden.
Dia telah mengantongi beberapa hal penting. Ganjar memimpin salah satu provinsi paling padat penduduknya di Indonesia, yakni Jawa Tengah, sehingga lebih mudah mendapatkan eksposur yang kuat dari sisi media.
Dia juga punya kemampuan komunikasi yang khas, yang membuatnya lebih mudah untuk mengerek popularitas.
Selain itu, Ganjar juga aktif di berbagai kanal media sosial. Maka tidak heran, nama Ganjar tidak pernah lepas dari lima besar setiap kali ada survei dirilis. Bahkan beberapa bulan ini, selalu masuk tiga besar bersama Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
Ganjar tahu persis, popularitas dan elektabilitas adalah modal penting untuk mendapatkan tiket pencapresan.
Namun pernyataan Bambang Pacul juga benar adanya. Popularitas dan elektabilitas tidak akan berguna banyak jika tidak ada tiket yang diberikan oleh partai. Selain itu, PDIP dikenal sebagai partai dengan kader yang tunduk kepada pimpinan, yang dalam hal ini adalah ketua umum PDIP Megawati. Dan PDIP punya mesin partai yang tangguh dan teruji.
Megawati memang tidak menyatakan apa-apa terkait Ganjar, tapi duet Puan dan Bambang jelas bisa ditafsirkan sebagai suara Megawati. Puan adalah anak biologis dan anak politis Megawati, sedangkan Bambang Pacul dikenal sebagai salah satu orang kepercayaan Megawati.
Lalu apakah dengan letupan awal ini, Ganjar akan menurut atau akan melawan? Karier politik Ganjar di PDIP jelas sudah sangat lama, bahkan sejak mahasiswa, dia sudah tergabung dengan GMNI yang berafiliasi dengan PDI (yang kelak berubah menjadi PDIP).
Ganjar tahu persis jeroan partai tersebut, termasuk soliditas dan kepatuhan yang tegak lurus terhadap keputusan partai dan ketua umumnya. Kalau Ganjar melawan, dia mungkin bisa saja tersingkir dari PDIP.
Di sisi lain, Ganjar belum memiliki mesin politik yang kuat selain mesin politik partai. Ganjar tahu persis, kemenangannya dalam dua kali tarung di Pilgub Jawa Tengah, terutama yang pertama kali, jelas didukung penuh oleh mesin partai PDIP yang sangat solid di provinsi yang memang dari dulu menjadi basis pendukung PDIP.
Dalam konteks itu, Ganjar bisa saja bersikap melunak. Jika dia kembali bisa diterima oleh para pengurus PDIP, mungkin akan punya potensi meniti jalur politik lain pasca-purna menjabat gubernur dua kali. Mungkin jadi menteri, atau mungkin jadi pejabat strategis partai, atau posisi lain.
Tentu ada kemungkinan lain, Ganjar akan melawan dengan melompat pagar. Bagaimanapun, selain mengantongi popularitas dan elektabilitas, Ganjar masih akan menjabat gubernur Jawa Tengah selama dua tahun (berakhir pada pertengahan 2023).
Itu artinya, dia masih akan mendapatkan sorotan lampu dari publik dalam waktu yang cukup lama. Sehingga makin bisa mengerek popularitas dan elektabilitasnya. Dan di tahun 2023 itulah, tahun yang akan menentukan siapa yang bakal lolos diusung oleh para partai untuk menjadi capres dan cawapres.
Pada saat yang menentukan itu, Ganjar bisa saja lompat pagar, keluar dari PDIP lalu merapat ke partai lain dengan modal yang dia miliki, entah sebagai capres atau cawapres. Masalahnya adalah sampai sekarang hanya tinggal sedikit partai yang belum punya calon dari internal partai: PKS, Nasdem, dan PAN.
Rasanya tidak mungkin Ganjar dicalonkan oleh PKS karena jelas berbeda “ideologi politik”. PAN rasanya juga akan sulit menerima Ganjar. Satu-satunya kemungkinan adalah Ganjar merapat ke Nasdem lewat jalur konvensi.
Itu pun tidak mudah bagi Ganjar, karena kemungkinan jalur konvensi itu diikuti juga oleh Anies Baswedan dan Ridwan Kamil, atau mungkin tokoh-tokoh lain. Konvensi itu jadi sesak bagi Ganjar.
Apalagi, Nasdem juga tidak punya cukup kursi untuk membawa calon sendiri. Nasdem butuh partai lain. Bisa satu, bisa juga dua. Itu artinya Nasdem harus punya jaminan bahwa tokoh yang menang konvensi sekaligus juga tokoh yang bisa diterima oleh partai lain yang akan diajak berkoalisi.
Pilpres 2024 nanti memang akan menjadi pilpres yang sangat rumit bagi para kandidat yang punya tingkat popularitas dan elektabilitas tinggi. Karena sangat mungkin, mereka semua tidak mendapatkan tiket dari partai politik. Kecuali Prabowo Subianto. Bisa saja yang berlaga nanti justru tokoh-tokoh yang tidak punya popularitas dan elektabilitas yang cukup.
Sampai saat ini misalnya, Golkar masih kukuh mengusung Airlangga Hartarto. Hal yang wajar mengingat perolehan suara Golkar pada pileg 2019 cukup tinggi sehingga punya nilai tawar yang kuat.
PKB juga sudah mulai memanaskan mesin untuk kembali mengusung Cak Imin. Sementara Demokrat, belakangan ini di berbagai survei, baik Demokrat maupun AHY sebagai ketumnya, mulai merangkak naik yang tentu akan menambah rasa pede bagi AHY dan Demokrat.
Saya menduga Ganjar akan melakukan “satu-strategi-dua-taktik”. Sebab bagaimanapun, Ganjar adalah politikus berpengalaman. Dia akan menggunakan strategi buying time, dengan dua taktik.
Pertama, dia akan mengerem untuk sementara berbagai manuver untuk mengerek popularitas sembari melakukan negosiasi ulang atau islah atau apa pun itu agar tidak disapih oleh PDIP.
Taktik kedua, adalah dengan diam-diam membangun pasukan darat yang bisa menambah bobot untuk melakukan tawar-menawar politik jika saatnya tiba, sekaligus sebagai mesin pemenangannya.
Waktu dua tahun, masih sangat cukup untuk seorang Ganjar membangun pasukan darat di berbagai titik di Indonesia. Tentu saja tidak mungkin akan sekuat mesin partai politik. Setidaknya Ganjar punya pasukan darat non-partai.
Artinya, tensi serangan udara dikurangi, gerak serangan darat diperkuat dan masif. Sebab kalau serangan udara terus digencarkan, maka jegalan dari partainya akan makin keras. Dan itu tidak baik buat Ganjar.
Dengan strategi dan taktik seperti itu, siapa tahu arah angin berubah di lingkar PDIP. Jika pun tak ada perubahan, setidaknya dia tetap bisa bertahan dalam lingkaran permainan karena sudah punya pasukan darat yang akan mendukungnya. Kalau soal popularitas dan elektabilitas, lebih mudah digeber lagi karena sudah punya modal kedua hal itu. Tinggal dipanaskan lagi.
Menurut saya, Ganjar tidak akan melawan arus. Sebab arus itu terlalu kuat dan bisa membahayakan karier politiknya. Tapi dia juga tidak akan membiarkan diri diseret arus. Dia akan siapkan sekoci terbaik selama masih cukup punya waktu. Dia tidak akan banyak muncul di permukaan dulu, dan akan lebih banyak menyelam.
Ketika menyelam itulah, dia sedang melakukan gerakan yang sesungguhnya. Gerakan yang sebelumnya belum sempat atau belum maksimal dia kerjakan.
BACA JUGA Prabowo Kandidat Paling Potensial Menang Pilpres 2024, tapi… dan tulisan KEPALA SUKU lainnya.