Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Karena Tidak Semua Anak Bisa Seperti Susi Pudjiastuti atau Agus Mulyadi

Arief Balla oleh Arief Balla
12 Juli 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Sekolah di mana memang bukan jadi patokan seorang anak sukses atau tidak nantinya, hanya saja kita juga harus ingat tidak semua anak punya mental seperti Bu Susi Pudjiastuti atau Mas Agus Mulyadi.

Membaca tulisan Mbak Nia Perdhani “Masih Percaya Nasib Anak Ditentukan dari Sekolah Favorit atau Bukan?” tanpa pikir panjang saya ingin menjawabnya; iya Mbak Nia, saya percaya.

Enam tahun bersekolah di pelosok kampung dan enam tahun lainnya bersekolah di sekolah favorit di kota memberi saya kepercayaan diri untuk bilang bahwa saya cukup pengalaman bilang “iya” untuk menjawabnya.

Saya sekolah dari kelas satu sampai kelas tiga di SD di kampung, nama kampungnya Mannanti, di Sulawesi Selatan. Di SD saya itu, masih banyak teman-teman saya yang telanjang kaki ke sekolah. Bajunya lusuh kekuningan dan kancingnya dijahit berkali-kali dengan warna benang berbeda-beda. Ada pula yang resleting celananya rusak dan hanya diikat dengan peniti sebagai gantinya. Ada pula yang celananya kelonggaran dan ikat pinggangnya dari tali ala kadarnya.

Naik kelas empat SD, saya pindah ke Kota Watampone, kota kelahiran Wapres Jusuf Kalla. Oh ya, jangan kira saya pindah ke kota karena orang tua saya kaya. Justru sebaliknya, bapak saya yang hanya pembuat gula merah menganggap pendidikan tidak terlalu penting, maka saya ikhlas saja saat orang lain yang cukup kaya mau membiayai sekolah saya. Tentu tidak gratis. Karena setiap subuh, setiap hari, saya harus bangun membersihkan, menyapu, mengepel rumah beserta pekarangannya yang luasnya hampir separuh lapangan sepak bola.

Saya juga harus siap sedia setiap waktu disuruh ke sana ke sini. Suka tidak suka yah harus suka. Yah memang demikianlah harga yang harus dibayar untuk seorang yang lahir dari keluarga miskin seperti saya.

Di kota itu, saya bersekolah di salah satu SD favorit.  Dan tebaklah apa yang terjadi. Saya, yang walaupun tak pernah menembus ranking dua besar di kampung, tercecer di peringkat akhir. Saya menjadi bahan ejekan. Di rapor tertulis angka merah untuk nilai sejarah. Wali kelas saya menulis di catatan untuk wali saya alias donatur saya, “Harus lebih giat belajar.”

Sedih sih. Tetapi saya juga sadar. Saya harus bersaing dengan anak-anak orang kaya yang tiap hari minum susu yang bukan susu kental manis dan makan bergizi setiap hari. Untungnya, lingkungan kelas yang kompetitif mendorong saya untuk belajar lebih keras lagi. Sampai akhirnya saya bisa nangkring di ranking kedua di semester terakhir.

Dengan modal inilah, saya diterima di sekolah SMP terfavorit di saat itu. Bahkan saya beruntung bisa masuk kelas unggulan. Siswa-siswa terbaik dari SD seantero kota dikumpulkan dalam satu kelas itu. Setiap kenaikan kelas akan ada beberapa yang terlempar ke kelas lain digantikan dari kelas yang dianggap unggulan kedua.

Lagi dan lagi, teman-teman saya adalah anak-anak orang kaya. Bahkan beberapa di antaranya adalah anak-anak pejabat dan pengusaha kaya. Ketika perkenalan, teman-teman saya menyebut rupa-rupa pekerjaan orang tuanya. Dari Kepala Kejaksaan, Kepala Dinas, Kepala Sekolah, Pengusaha Kain, sampai kemudian giliran saya: Seorang Petani.

Mereka, teman-teman saya yang cerdas, selalu dibanggakan guru ke kelas-kelas lainnya. Langganan juara lomba kabupaten sampai utusan ke tingkat provinsi. Saat itu saya pikir wajar, kami memang memiliki segalanya. Fasilitas belajar yang lengkap, guru-guru terbaik, plus dengan murid-murid bibit unggul.

Persaingan yang ketat memotivasi saya untuk belajar lebih keras lagi. Sebab saya sadar, saya tidak punya modal setara seperti teman-teman saya. Pada akhirnya ini membuat saya harus bekerja lebih keras dibandingkan teman-teman saya. Saya sadar, anak miskin seperti saya memang perlu distimulasi oleh lingkungan sekitarnya agar mau belajar lebih keras. Jadi, saya pikir lingkungan yang sulit itu di sisi lain justru jadi berkah tersendiri untuk saya.

Begitu tamat SMP masalah bukannya selesai, malah semakin jadi masa-masa tersulit. Saya memang berhasil merangsek tiga besar dan pintu sekolah SMA favorit terbuka lebar. Apa daya, saya tidak punya biaya lagi. Di sisi lain, saya juga sudah tidak sanggup tinggal menumpang lagi.

Dengan terpaksa saya harus kembali ke kampung. Saya terpaksa melanjutkan ke sekolah yang baru berdiri dua tahun. Jangankan laboratorium, di sekolah ini perpustakaan pun tak punya. Ruangan kelasnya juga baru tiga. Salah satu kelasnya bahkan separuhnya terpaksa dipakai untuk kantor.

Iklan

Kondisi ini membuat saya kembali berada di lingkungan dengan teman-teman yang jauh berbeda dengan di kota. Saya tidak lagi memiliki keinginan untuk belajar lebih keras. Lingkungan membuat saya berleha-leha. Tak ada semangat untuk berkompetisi. Informasi-informasi soal lomba yang bisa meningkatkan gengsi sekolah juga sangat terbatas. Bahkan untuk membaca cerpen dan puisi di koran setiap hari minggu pun tak bisa.

Di sekolah itu, saya memang juara sekolah sampai tamat. Sempat juga saya mewakili sekolah olimpiade tingkat kabupaten walau tidak pernah berhasil. Meski begitu, saya masih merasa semakin tertinggal perihal pengetahuan, informasi, dan kesempatan dengan teman-teman SMP saya yang dulu.

Selepas SMA, saya semakin menyadari ketertinggalan saya. Ketika teman-teman SMP dulu dengan lancar dan mudah diterima di jurusan-jurusan favorit di kampus-kampus terbaik, saya tergopoh-gopoh dan susah payah mendaftar sana sini. Barangkali sama seperti susahnya menulis untuk bisa menembus Mojok.

Melihat di depan mata kepala saya sendiri bahwa masa depan teman-teman SMP yang kelihatannya lebih cerah membuat saya enggan untuk kalah. Semangat untuk belajar keras agar bisa seperti mereka mendorong saya untuk belajar lebih keras lagi.

Sudah berhasilkah saya? Saya tidak tahu. Sebab berhasil atau sukses itu kan relatif. Namun, bagi orang udik dan miskin seperti saya, meraih beasiswa dan menikmati pendidikan sampai ke luar negeri adalah keberhasilan tak ternilai harganya. Bahkan melebihi karya-karya Andrea Hirata.

Saya tahu betul, sekolah atau kampus favorit memang bukan penentu nasib. Tak ada garansi kesuksesan di sana. Tetapi sekolah dan kampus favorit menyediakan kesempatan lebih besar. Favorit atau tidaknya sekolah beserta ketersediaan fasilitasnya memang bukan satu-satunya penentu nasib masa depan anak. Itu sebabnya akan ada orang-orang yang berhasil seperti Steve Jobs, Bill Gates, Mark Zuckerberg, atau mungkin Susi Pudjiastuti dan Agus Mulyadi yang cuma sempat sampai bangku SMA.

Pertanyaannya, apa semua orang memiliki sikap mental seperti mereka? Belum tentu. Kalau asal ikut-ikutan dengan langkah-langkah mereka, seorang anak salah-salah bisa dianggap gegabah dan bisa saja berakhir sia-sia. Terkesan heroik di depan, tapi cuma jadi cerita kebanggaan semu untuk dongeng penuh penyesalan di belakang.

Itulah yang membuat saya di satu sisi senang dengan sistem zonasi sekolah sekalipun masih banyak kekurangannya. Hanya karena alasan sederhana, agar anak-anak orang kaya di kampung saya tidak lagi sibuk mengirim anaknya ke kota dan meremehkan sekolah-sekolah di kampung mereka sendiri.

Di sisi lain saya juga khawatir, apakah pemerintah mampu melaksanakan dengan paripurna ide zonasi ini. Seperti misalnya memastikan kualitas lingkungan (dalam hal ini sekolah) guna memberikan akses pendidikan terbaik bagi anak-anak di mana pun mereka berada.

Sebab sependek pengalaman saya selama ini, semuanya adalah tentang seberapa besar kesempatan yang disediakan oleh lingkungan beserta fasilitas sekolah yang memadai.  Dibandingkan cerita-cerita berhasil seperti Susi Pudjiastuti atau Agus Mulyadi itu, sebenarnya jauh lebih banyak anak-anak yang gagal karena memang sekolah tidak menyediakan fasilitas yang cukup untuk mereka.

Pada titik tertentu, hal ini bisa saja berpengaruh pada cara pikir keluarga anak-anak tak mampu bahwa sekolah adalah pilihan berisiko tinggi. Dianggap semakin membuat hidup makin sulit, tidak berpengaruh banyak, ya wajar kalau kemudian dianggap tidak penting.

Pada akhirnya, dari tulisan ini saya hanya berharap, semoga sistem zonasi ini bisa semakin mengurangi cerita anak-anak yang harus mengalami kehidupan seperti saya. Sebab saya yakin, setiap anak—di mana pun mereka berada—mereka semua istimewa dan berhak mendapat fasilitas pendidikan yang merata. Karena satu hal yang saya yakini; tidak semua anak di negeri ini bisa seperti Susi Pudjiastuti atau Agus Mulyadi.

Terakhir diperbarui pada 12 Juli 2018 oleh

Tags: Agus MulyadiBill Gatesfavoritjusuf kallaKepala KejaksaanMark ZuckerbergMojokolimpiadepemerintahsekolahSMASMPSteve Jobssulawesisulawesi selatanSusi PudjiastutiWatamponezonasi
Arief Balla

Arief Balla

Sedang Studi Master di Southern Illinois University Carbondale, Amerika Serikat.

Artikel Terkait

Guru tak pernah benar-benar pulang. Raga di rumah tapi pikiran dan hati tertinggal di sekolah MOJOK.CO
Ragam

Guru Tak Pernah Benar-benar Merasa Pulang, Raga di Rumah tapi Pikiran dan Hati Tertinggal di Sekolah

8 November 2025
Mempertanyakan ‘Marriage is Scary’ Bersama Lya Fahmi dan Agus Mulyadi di Festival Mojok 2024
Video

Mempertanyakan ‘Marriage is Scary’ Bersama Lya Fahmi dan Agus Mulyadi di Festival Mojok 2024

26 Oktober 2024
Pekan Olahraga Nasional (PON) Sudah Saatnya Dihapus Saja MOJOK.CO
Esai

Muncul Banyak Kecurangan, Pekan Olahraga Nasional (PON) Menjadi Pesta Olahraga yang Sebenarnya Tidak Lagi Dibutuhkan

17 September 2024
Katharina Stögmüller Belajar Sirkus Pernikahan dari Agus Mulyadi
Video

Katharina Stögmüller Belajar Seni Memahami Kekasih dan Sirkus Pernikahan dari Agus Mulyadi

3 September 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.